Peralihan menuju Chapter Bonus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti judulnya, ini Chapter peralihan menuju chapter bonus. Sebaiknya dibaca dlu sebelum ke chapter bonus:3

Oke, selamat membaca~

Harusnya Jakurai tahu, orang sinting mana yang memaksa masuk ke kamar praktiknya tanpa antrian pasien dan setelah jam praktiknya selesai. Lagipula status orang ini pun bukanlah pasien.

Hifumi? Ah, bukan. Pria itu tadi sudah datang sebentar lalu pulang lagi. Jakurai menghela napas seraya memijit kening. Ditatap sebentar pria yang duduk di hadapannya sebelum mulai menyelidik.

"Samatoki, ada apa kamu kesini?"

Bukan menjawab, pria sangar satu ini justru membuang muka. Jakurai jadi terpaksa mengulik lagi.

"Apa kau habis terlibat perkelahian? Tapi sepertinya tubuhmu tidak ada yang terluka. Ah, kalau dipikir lagi hampir tidak mungkin ya kau terluka saat terlibat perkelahian."

Kali ini yang bersangkutan mendecak. Rupanya ia telah menyerah dan memutuskan menjadi lawan konversasi bagi dokter bertubuh jangkung ini.

"Mana mungkin. Aku kesini karena ingin melepaskan diri dari kegilaan."

Kening Jakurai mengerut. "Kegilaan?" ulang pria itu.

"Yah, kegilaan yang kudapat dari Ikebukuro. Aku mau ngungsi sebentar," jawab Samatoki santai.

Jawaban itu membuat Jakurai terkejut sekaligus curiga. "Jangan-jangan kamu berkelahi dengan Ichiro-kun, ya?"

Lagi, helaan napas. Kali ini cukup panjang. "Aku habis diserang setan!"

Jakurai jadi tambah bingung. Apa maksudnya Ikebukuro punya geng hantu? Bukan, maksud Jakurai bukan hantu yang itu, tapi istilah geng preman yang sifatnya rahasia dan tersembunyi bak hantu.

Tahu kebingungan Jakurai, Samatoki melanjutkan, "Si dua bocah dakjal itu, pintar sekali mereka cari muka di depan Ichiro!"

Oh, sekarang Jakurai kurang lebih paham apa yang terjadi.

Niatnya menjemput sang pujaan hati, begitu sampai ia malah disambut pemandangan tidak mengenakkan.

"Maaf, ya, Samatoki. Aku ngga sengaja keceplosan nyebut mau pergi denganmu tadi. Mereka jadi manja begini..."

Ugh. Alisnya berkedut mendapati dua gadis belia menggelayuti lengan Ichiro lengket dengan tatapan permusuhan. Tanpa bertanya pun Samatoki tahu mata mereka berkata "Menjauh dari Onee-chan kami, dasar kuda jejadian!"

Samatoki kontan mencak-mencak saat itu juga.

"Saat itu aku terpaksa mengalah dan masuk saja ke rumah mereka. Ichiro sedang masak saat adik-adik bangsatnya itu mengerjaiku habis-habisan di ruang tengah," lanjut si Yakuza yang hanya disambut anggukan sekali dari Jakurai.

Si surai putih kembali melanjutkan, "Apes banget si Ichiro malah dateng pas aku mau jitak tuh dua setan. Ngadulah mereka! Aku juga yang kena semprot. Batal sudah niat ngapelin doi. Huh! Harusnya aku jadi bawa Rio dan Jyuto saja tadi, biar ada pawangnya!"

Jakurai elus dada, sebentar kemudian menepuk pundak Samatoki tanda simpati.

Lagi-lagi, keluh kesah meluncur disertai dumelan kasar, "Cih! Cuman gara-gara adek-adeknya itu langsung batal kencan denganku. Dasar siscon akut!"

"Sendirinya juga brocon parah."

"Hm? Apa Sensei mengatakan sesuatu?"

"Nggak, bukan apa-apa."

Tunggu, sejak kapan mereka berdua berhubungan lagi? Jakurai baru tahu.

"Kalian sejak kapan mulai pacaran lagi?" kekepoan hati yang terlaksana lewat ungkapan lisan tanpa rem meluncur mulus dari bibir Pak dokter. Samatoki mendengus, sedikit pongah soal keberhasilannya.

"Tiga pekan kemarin tahu-tahu dia muncul di markasku, menghajar habis semua yang ada disana dengan alasan salah satu anak buahku menculik adiknya. Taunya cuma salah paham. Bukan diculik tapi si Rio ngajak kemping adik bungsunya. Dasar!"

Gelengan maklum dari Jakurai, "Dari dulu kalau sudah menyangkut adik Ichiro-kun memang cepat panas, ya..."

"Siscon akut emang."

"Kamu juga brocon."

"... Sensei, aku yakin kau barusan mengatakan sesuatu..."

"Tidak, perasaanmu saja. Lalu, pada kesempatan itu kalian balikan?"

Kedik bahu sebagai pembuka jawab, "Tidak semudah itu. Aku masih harus berjuang mati-matian lagi karena dia masih sakit hati. Sulit tahu, Sensei."

Jakurai sempat bingung karena setelah itu Samatoki terdiam cukup lama. Mata ruby-nya yang biasa menatap tajam sekarang terlihat sendu.

"Aku mencoba gigih dengan terus mengikutinya, rutin datang ke rumahnya, dan memberi hadiah-hadiah kecil. Tapi seperti yang Sensei tahu juga, perempuan bebal macam apa bocah itu. Aku tak lantas menyerah. Lebih tepatnya, aku memutuskan berhenti menyerah. Aku sadar kehidupanku hancur tanpa dirinya. Karena itu dengan cara apapun, aku ingin gadis itu kembali padaku..."

Sekarang ganti batin Jakurai yang sibuk bertanya, Kemana perginya rasa gengsi yang selalu membayangi sosok Samatoki? Didengar begini ceritanya jadi menyedihkan.

Ia sadar wajah kecut pria barbar ini menjelaskan semuanya. Meski Jakurai tidak tahu detailnya, kejadian dua tahun lalu amat sangat membuat Ichiro hancur sampai trauma. Sejak kejadian malam itu...

Malam yang sama dengan tragedi kandas kisah kasihnya.

"Dua hari lalu adalah puncaknya," akhirnya Samatoki kembali bicara, "di tepi pelabuhan Yokohama, ia tumpahkan semua kekesalan dan sumpah serapah untukku. Disaat aku dengan nekat terang-terangan memintanya kembali padaku. Sambil memukuliku, bocah itu berderai airmata. Sensei, aku sudah membuat dia menangis dua kali. Benar-benar sampah, kan?"

Jakurai hanya bisa diam. Tak ada penyangkalan, pun pembenaran.

Penuturan si kuda putih masih berlanjut, "Harusnya aku diceburkan saja ke laut saat dia bilang akan memberiku kesempatan kedua. Bisa kau bayangkan? Setelah semua kelakuan bejat yang kuberikan padanya rupanya dia masih tak bisa melupakanku! Apa aku memang pantas mendapatkan orang seperti dia? Bahkan setelah itu ia minta maaf karena membentak dan memukuliku. Dasar bodoh! Aku pantas mendapat lebih buruk dari itu."

Mereka berdua hampir tenggelam dalam melankoli. Ya, kalau saja Jakurai tidak dengan cepat berdehem dan mengalihkan pembicaraan.

Memang, pria ini cukup terbiasa menjadi tempat curhat mantan rekan timnya itu. Sejak dulu pun dia sudah sering dimintai saran.

Tapi sekarang lain persoalan. Dikiranya cuma Samatoki yang punya rencana? Dia juga, dong. Ini akhir pekan. Jakurai bukan orang lowong yang rela durasi malam minggunya terbuang hanya karena seorang sadboy yang gagal kencan.

"Maaf, Samatoki-kun, tapi apa kau masih lama berada disini? Sayang sekali tapi aku harus segera pergi," Jakurai 'mengusir' secara halus.

"Ah, maaf, Sensei. Aku jadi membahas sesuatu yang tak penting seperti ini dan membuat Sensei ngga bisa segera pergi ngapel ke Shibuya."

Jakurai menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. "Tidak, tidak masalah. Eh tapi sebentar, darimana kau tahu..."

"Hmph! Itu mudah," Samatoki mencibir, "Meski Sensei bilangnya benci setengah mati sama si cebol itu, ujung-ujungnya ternyata gagal move on juga. Nah, aku benar, kan? "

Bermain dengan bolpoin di jemari, sang dokter terlihat bimbang. Tak butuh waktu terlalu lama untuk menunggunya menjawab, "Kau pasti menganggapku konyol."

Samatoki membalas dengan kedikan bahu. Jakurai memijit kening sejenak. Hembus napas lelah terdengar setelahnya. "Aku tidak mengerti," ujar dia, "aku pikir aku sudah benar-benar membencinya. Tapi akhir-akhir ini aku selalu ingin melihat wanita itu. Awalnya aku rasa aku hanya kepikiran karena urusanku dengan dia belum tuntas.Tapi, makin kesini aku merasa kurang. Aku tidak suka saat dia menatap penuh kebencian padaku. Aku tidak suka caranya menghindari bicara denganku. Rasanya semakin runyam."

"Bucin," celetuk Samatoki, "bibit-bibit bucin."

"Maaf, itu kaca di pojokan nganggur tuh."

Samatoki terdengar menggerutu. Jakurai lalu mencondongkan tubuh ke arah si yakuza ubanan. "Tapi aku masih heran, kenapa kamu bisa tahu kalau akhir-akhir ini aku rutin ke Shibuya? Bukankah kamu di Yokohama? Main pun ke Ikebukuro, kan?"

"Gausah stalking pun keliatan jelas, tahu."

Samatoki tak bisa menjelaskan dengan baik ekspresi aneh tak tertebak yang Jakurai tunjukkan. Tapi intinya, pasti ada rasa kaget dan bingung bercampur emosi lain yang ia sendiri tak tahu apa itu.

Jadi, Samatoki memilih untuk langsung menyambung kalimatnya, "Sensei kira tingkah Sensei itu tidak mencolok? Bahkan Rio yang selalu jadi bolang pun tahu setiap malam minggu Sensei pasti rutin ke tempat dia. Tapi saranku, sih, malam ini jangan dulu."

"Hm? Kenapa begitu?"

"Karena tadi kulihat dia datang ke tempat Ichiro saat aku mau kesini."

-

-

-

Kadang Ramuda heran. Bagaimana bisa Ichiro kelihatan lebih 'tua' dari dia. Maksudnya, hei! Apa-apaan ukuran besar itu padahal dia masih terbilang dibawah umur? Oh, ayolah, Ramuda jadi tidak kelihatan seperti wanita dewasa!

Ia pun sedikit berkeluh kesah, "A~ah~ kenapa, sih, Yamada bersaudara ini cantik-cantik semua?" Mana bodi juga aduhai semua gini.

Bahkan si bungsu Saburo badannya lebih berisi dan ukurannya juga lebih besar. Ramuda jadi curiga, jangan-jangan ini yang dinamakan kekuatan gen?

Kalau iya, dia juga mau jadi keluarga Yamada.

Jiro yang baru keluar dari dapur menghibur, "Eh, tidak, kok, Ramuda-san juga cantik. Imut banget pula!"

"...Jiro-chan..." Ramuda jadi terharu. Ukh, sudah cantik, baik pula. Mereka bertiga memang malaikat!

Niat hati ingin mengunyel-unyel si tengah urung karena si sulung segera bertanya, "Jadi, ada apa malam-malam mengunjungi kami, Ramuda?"

Sembari menggaruk pipi, gadis--wanita bersurai pink itu terkekeh kecil, "Aku... Mau main sebentar. Sekalian ngungsi."

Manik hetero Ichiro menatap bingung. "Mengungsi? Apa ada yang terjadi dengan rumahmu?"

"Ah, ya... Begitulah. Omong-omong, tadi aku lihat Samatoki keluar dari sini. Apa dia baru nantang gelud?" Ramuda mengalihkan topik dengan cepat.

"E-ehh? B-bukan, kok..." Ichiro sedikit gelagapan. Melihat reaksi gadis itu, Ramuda jadi menyunggingkan senyum jahil.

"Oh, begitu, toh... Kalian balikan?"

Wajah yang semerah tomat hingga ke telinga itu sudah cukup menjawab pertanyaan Ramuda, membuat ia semakin gencar menggoda Ichiro.

"Waa~h, selamat, yaa! Aku senang sekali kalian pacaran lagi! Duh, jadi kangen liatin kalian berdua bucin-bucinan kayak dulu..."

Sengotot apapun Ichiro menyangkal, ia memang tidak pandai berbohong. Lihat saja tingkahnya yang langsung panik dan wajahnya semakin memerah malu. Imut sekali. Duh, Ramuda kan jadi makin gemas ingin terus meledek.

"A-ah... Ngomong-ngomong, b-bagaimana dengan Jakurai-sensei?"

Ups! Ichiro langsung mengatup mulut rapat-rapat dengan kedua tangan selesai mengucap pertanyaan itu. Oh, tidak. Ini gawat. Ia terlampau panik sampai lupa dan salah ucap.

Benar, kan? Sekarang keceriaan Ramuda terlihat luntur. Wajah imut wanita bersurai pink itu mulai menggelap.

Buru-buru Ichiro mengoreksi ucapan barusan, "M-maaf, Ramuda. A-aku lupa kamu dan Sensei... Err..."

Aih, melihat tingkah Ichiro yang mencicit tak enak hati itu membuat Ramuda tidak tega marah-marah. Sekarang, wajah gelapnya malah berganti menjadi sendu.

"Tidak apa-apa... Kalau boleh jujur, sebenarnya aku kemari karena mau curhat juga soal itu," ujar Ramuda lesu.

Iya, tidak mungkin dia curhat sama Gentaro. Selain bakalan diledek, ketemu suaminya, Daisu, pasti merepotkan. Salah-salah dompet Ramuda bisa menipis lagi hanya dalam hitungan menit. Intinya, curhat di tempat mereka bukannya meringankan beban pikiran, malah nambah beban pikiran.

Curhat di kediaman Yamada jauh lebih aman. Isinya bidadari-bidadari suci nan baik soalnya. Entah kalau di mata Samatoki tapi.

Terlihat alis Ichiro bertaut heran. "Curhat? Soal... Jakurai-sensei?" kali ini ia lebih hati-hati dalam bertanya.

Sebuah anggukan, lalu Ramuda sibuk memilin salah satu ujung twintail-nya. Satu helaan napas sebagai pembuka, Ramuda siap memulai sesi kisahnya.

"Akhir-akhir ini rasanya aku diteror Pak tua itu," ia mengadu. Ichiro sontak terkejut. Sosok Jakurai yang memasang wajah menyeramkan sambil meneror sama sekali tak terbayang dalam benaknya.

"Sensei meneror? Mana mungkin. Sensei, kan, orangnya lembut sekali!"

Helaan napas lagi dari Ramuda. Ia bersungut-sungut, "Pak tua itu baik dan lembut ke semua orang, asal bukan aku. Kau dengar? Asal bukan aku. Rasanya cuma aku yang dia perlakukan berbeda."

Iya juga. Sekarang Ichiro baru berpikir lagi. Ia kira malam itu hanya dia dan Samatoki yang ribut. Tapi nyatanya, hubungan dua orang ini juga rusak. Padahal sebelum masalah itu terjadi, mereka begitu lengket dan saling melengkapi. Ichiro betah saat mengamati Ramuda asyik mengepang rambut Jakurai, atau ketika wanita itu masih kesulitan mengukur tubuh Jakurai saat minta dibuatkan baju baru padahal ia sendiri sudah berjinjit naik kursi.

Jujur saja, kabar mereka berpisah bersamaan dengan insiden dia dan Samatoki bikin hati tak rela. Sangat disayangkan. Padahal, menurutnya mereka pasangan yang menggemaskan.

Ichiro sendiri paham, kemelut yang terjadi diantara mereka lebih dalam dan rumit dari yang ia dan Samatoki alami. Carut marut pertikaian mereka saja terlihat menyeramkan karena ada adegan saling bunuh begitu. Ichiro bergidik ketika membayangkan lagi kejadian itu.

Yang semakin mempersulit, baik Jakurai maupun Ramuda enggan saling ungkap. Beda dengan dirinya dan Samatoki yang adu bacot, dua orang ini tak banyak bicara dan cenderung tertutup. Entah karena banyak yang disembunyikan, atau tak ada yang ingin dibicarakan, Ichiro tak paham.

Yang jelas sekarang, sepertinya masalah kembali muncul setelah dua tahun berlalu tanpa huru-hara berarti. Mari kita dengarkan dulu saja lanjutan kisah wanita mungil penganut mode lolita ini.

"Kami selalu berjumpa tiap malam minggu. Awalnya cuma 'tidak sengaja' papasan di jalan. Waktu itu aku cuma berpikir, 'ngapain Pak tua ini di Shibuya?' Tapi semakin lama semakin kelihatan kalau dia sengaja. Malahan akhir-akhir ini dia sering terlihat berdiri di depan rumahku dan menunggu! Aku jadi takut kan lama-lama."

Mengerjap sekali, lalu dua kali. Ichiro mencerna setiap rinci cerita yang ditutur Ramuda.

Jakurai-sensei... Selalu ketemu Ramuda... Jauh-jauh dari Shinjuku ke Shibuya... Setiap malam minggu...

Entahlah, Yamada sulung ingin mengatakan sesuatu, tetapi masih dirundung bimbang.

Hingga akhirnya terdengar celetuk Saburo yang tak melepas tatap dari gawainya, "Mungkin Sensei lagi caper padamu, Ramuda-san? Jangan-jangan Jakurai-sensei kena clbk kayak si setan kuda itu."

Yamada bersaudara -- minus Saburo yang bodo amat -- yakin sekali pipi sang tamu sempat bersemu kemerahan kala mendengar jawaban si bungsu. Namun, itu hanya sekian detik karena berikutnya ia kembali murung.

"...Mana mungkin. Dia pasti gila kalau benar begitu."

Memang bohong kalau dibilang Ramuda sudah tak ada rasa pada orang itu. Nyatanya, sampai saat ini ia masih belum menemukan pengganti yang cocok untuk sang mantan. Kalau bisa, ia masih ingin berada di sisi dokter jenius itu.

Tetapi di sisi lain, ia tahu diri bahwa itu tak pantas. Ramuda paham, betapa dosa yang ia lakukan pada Jakurai tak mungkin ditebus segitu mudah. Sang dokter membencinya, pun ia yang turut membenci pria itu atas apa yang terjadi.

Ah, padahal semua salahnya sendiri.

"...Aku yakin Pak tua itu sedang menyelidikiku," kata dia, "Apa yang terjadi pada asisten yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu pasti yang memancingnya kembali mencariku. Ia ingin tahu tentang kebenarannya. Tidak salah lagi..."

Tiga bersaudara masih dalam mode mendengarkan. Tak mungkin mereka tidak tahu insiden itu. Jakurai terlihat begitu terpukul. Dan saat itu Ramuda...

"Entahlah," tukas Ichiro sambil tersenyum tipis, "aku memang tidak mengerti apa yang terjadi diantara kalian. Aku juga tidak memaksamu untuk mengumbar yang sebenarnya terjadi. Tapi aku cukup paham, kau pasti punya alasan sendiri untuk melakukan itu, kan?"

"Ichiro..."

Sekarang tangan digenggam oleh sang mantan rekan. Senyum gadis yang lebih muda terlihat melebar. "Aku rasa, Jakurai-sensei juga berpikir seperti itu. Dan kurasa, apa yang Sensei lakukan akhir-akhir ini bukan pertanda buruk. Sesuatu yang baik bisa saja terjadi dalam waktu dekat, kan?"

Ah, begini lagi. Ia berakhir dihibur juniornya. Terkadang, ada saat dimana Ramuda merasa bersalah. Yang lebih muda selalu tahu bagaimana menyelamatkannya. Entah itu Ichiro, Gentaro, bahkan Daisu bisa memahami dan bersikap lebih dewasa untuk membantunya yang acapkali kenakak-kanakan.

"Nah, sekarang," Ichiro berdiri. Ramuda mengerjapkan mata penuh tanya. Selagi memperlihatkan senyum percaya diri yang jadi kebanggaannya, Ichiro mengulurkan tangan.

"Karena sudah selarut ini, kuantar sampai Shibuya, ya?"

***

Belom. Ini belom selesai. H3h3

Chapter bonus setelah ini. Oiye, ini kubikin si kuda jadi brocon, yish. Soalnya ya... Hem. Sama-sama siscon kurang sedep aja.

Nemu menjadi tamvan--

Dan sedikit bonus fling posse genderbend untuk klean semua

Okey, berikutnya chapter bonus. Yeaaaayyy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro