1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perkenalkan, namaku Sabila. Usiaku 26 tahun.

Meski saat ini aku sudah resmi menjadi seorang istri dan hidup tentram di ibu kota, namun sejatinya aku berasal dari dunia yang berbeda.

Bukan, bukan alam gaib. Maksudnya, aku lahir dan tumbuh dari pelosok desa, di salah satu kabupaten di Timur pulau Jawa.

Rumah masa kecilku bersisian dengan kebun dan sungai. Kata orang-orang desa, habitat itu sangat ideal untuk dihuni dedemit.

Namun toh keluargaku menempatinya juga, tidak ragu kohabitasi dengan 'mereka' sebab kami yang agamis ini percaya bahwa Allah maha kuasa dan maha melindungi.

Sedari kecil, aku dan sepupu-sepupuku sering sekali didongengi oleh Mbah Kung, kakek kami yang dulunya berprofesi sebagai dalang wayang, tentang makhluk-makhluk mistis seperti glundung plecek, gumuk panggang, hantu muka rata, sampai setan api banaspati yang tak pernah absen dari deretan kisah pengantar tidur kami.

Tujuan Mbah Kung adalah untuk membuat cucu-cucunya lebih berani.

Namun, efeknya malah berbalik terhadapku. Aku yang paling bungsu dan penakut, tumbuh menjadi pribadi yang paranoid.

Suatu hari menjelang magrib, saat aku masih berusia 12, ibu pernah menyuruhku mengangkat jemuran.

Di halaman, aku berpapasan dengan salah satu sepupuku, Mas Ainul, dan langsung memintanya untuk membantu. Tanpa menjawab omonganku, dia langsung bergerak.

Karena selesai lebih dulu, aku pun masuk dengan gunungan cucian bersih di pelukan lengan, membiarkan Mas Ainul memberesi sisa jemuran yang tinggal sebaris di halaman.

Anehnya, beberapa saat kemudian aku melihat sepupuku itu keluar dari arah ruang tengah.

"Loh, Masnul? Kok di sini? Jemurannya sudah semua?" tanyaku.

Dia malah mengernyit bingung. "Kamu itu ngomong opo tho? Wong aku habis dari kamar mandi."

Deg!

"Masnul jangan bercanda ah, nggak lucu!" ucapku. Pasalnya, dia memang sepupu yang paling jahil dan suka menakut-nakuti.

Alih-alih meladeniku, Mas Ainul malah mengibaskan tangan seakan aku baru saja melontarkan candaan tak lucu. Aku pun menghela napas. Mungkin ini memang akal-akalannya saja, seperti biasa.

Saat hendak menaruh jemuran bersih yang kubawa, aku terperangah karena di salah satu kursi ruang tamu sudah terdapat tumpukan jemuran yang tadinya tak ada.

Oke, meskipun iseng luar biasa, setidaknya Masnul sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Demikian, aku tak habis pikir bagaimana dia bisa berpindah tempat sebegitu cepat untuk menjahiliku, dan berakting dengan meyakinkan seakan-akan dia benar-benar tidak tahu menahu.

Ah, dasar Masnul!

Keesokannya aku menceritakan hal ini pada ibuku, yang kemudian menyebarkan ke seisi rumah. Masnul masih mengelak, berkata bahwa bukan dia yang mengangkat jemuran.

Mbah Kung berpendapat bahwa kejadian petang itu adalah ulah dari perwujudan genderuwo, namun aku lebih memilih untuk percaya bahwa itu ulah iseng Masnul saja.

Aku enggan mengakui bahwa aku sempat bersisian dengan makhluk halus, apalagi sampai bisa mengangkat benda fisik seperti cucian bersih.

Selama ini, dedemit hanya merupakan dongengan Mbah Kung saja. Nah, kalau ternyata mereka benar-benar nyata, aku harus gimana?

Tidak, tidak, tidak. Ini semua ulah Masnul. Aku percaya Masnul yang menjahiliku.

Lebih masuk akal begitu, bukan?

**

[449 Kata]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro