2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kejadian makhluk gaib yang menyamar sebagai kerabat dekat kami pun menjadi topik yang timbul tenggelam di perbincangan keluargaku.

Mendadak ada saja cerita yang menyambung, entah itu dari teman sekolah ibu, kejadian di kantor pakde, atau pengajian di rumah tetangga bude.

Rasanya cerita-cerita itu memberikan validasi bahwa apa yang aku alami ini adalah hal yang lumrah, nyata, dan... mengkhawatirkan.

Aku sempat menanyakan pada ibu, apakah tidak bahaya jika ada makhluk yang bisa memanipulasi wujud fisiknya, menipu kita?

Dan jawaban yang diberikan ibuku tak jauh-jauh dari 'manusia adalah makhluk paling sempurna, tidak perlu takut, dan kita punya Allah'.

Aku paham tujuan ibu untuk memberikan kesan aman, menenangkan. Namun tak ayal satu pikiran menyisip dan mendekam di alam bawah sadar; mereka ada di dekat kita.

Hal itu mengubah hidupku, membuatku merasa seperti selalu ada yang mengikuti, menyebabkan aku anti ke mana-mana sendiri.

Saat ke kamar mandi pun aku punya kebiasaan baru, yakni buang air dengan paha yang kututup rapat.

Rasanya risih sekaligus merinding ketika membayangkan ada satu sosok hitam, tinggi, dan tak terlihat yang memantau dari sudut kamar mandi.

JIka malam gelap atau momen mati listrik, aku akan berteriak memanggil keluargaku dan meminta mereka menemaniku tidur semalaman.

Sungguh, aku hidup dalam keterbatasan dan ketergantungan dengan orang lain. Hari demi hari, tahun demi tahun.

Sampai akhirnya aku bertemu dia, lelaki kota bernama Hardi. Suamiku.

Kami berkenalan melalui teman organisasi di kampus. Katanya, Hardi dan aku kemungkinan cocok karena shio dan zodiak yang mendukung, juga weton yang kompatibel. Aku curiga ini akal-akalan mereka saja, yang mungkin diam-diam sedang bertaruh apakah bisa menjadikan aku, gadis desa, akhirnya berpacaran dengan salah satu teman mereka.

Merasa sedikit curiga dan skeptis, akhirnya aku mengiyakan usul mereka hanya karena penasaran dengan sosok 'Hardi' yang mereka bangga-banggakan setengah mati itu.

Ternyata, dia malah membuatku benar-benar terpana.

"Itu kalau nggak salah, namanya separation anxiety. Kamu kasihan banget ya, ditakut-takuti sama keluarga sendiri sampai ngebentuk paranoia begitu, padahal dasarnya dari hal yang nggak masuk akal... ah, bahaya juga ya, ngedidik anak pakai cara nakut-nakutin gitu."

Kalimatnya sukses membuatku terperangah. Rasanya seperti menemukan kunci jawaban.

Aku yang sudah nyaman mengobrol dengan Hardi, baru saja menceritakan sumber ketakutan masa kecilku. Kala itu aku berstatus sebagai mahasiswi tingkat akhir di salah satu PTN ibu kota, sementara Hardi menjadi volunteer tetap di salah satu biro Psikologi.

"Kalau kamu nanti punya anak... berarti nggak akan pakai cara nakut-nakutin seperti keluargaku itu, dong?" tanyaku.

Hardi menggeleng yakin. "Nggak. Itu cara instan dan kuno untuk ngelarang anak buat ngelakuin ini-itu. Aku lebih memilih menjelaskan sebab-akibat secara logis pada anak-anakku kelak, agar mereka bisa berpikir dan mengambil keputusan sendiri."

Maka begitulah, hatiku tertambat. Pada Hardi, aku menemukan rumah dan kenyamanan, keamanan, bebas dari rasa takut.

Benar kata orang, bahwa jodoh saling melengkapi.

Tapi sayangnya, kisahku tidak berhenti sampai di sini.

**

[446 Kata]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro