3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

A/N: bab ini mengandung adegan hohohihe, hanya boleh dibaca kalau kamu udah punya KTP. oke?

**

Kisah romanku dan Hardi berjalan lancar luar biasa. Berpacaran selama tiga tahun, kami kompak seakan membagi satu isi kepala yang sama.

Hardi sangat rasional, bisa memberikan solusi tanpa terbawa emosi. Sementara aku, yang terlalu sering takut dalam mengambil keputusan, seperti mendapat tembok tumpuan yang bisa diandalkan.

Orang-orang bilang kami memang cocok, aku yang penurut dan Hardi yang memiliki jiwa kepemimpinan pekat. Kami seperti paket komplit yang siap diikat tali pernikahan.

Dengan karir Hardi yang melejit terus, restu keluargaku pun bisa dikantongi dengan mulus. Kami pun menikah dua tahun lalu, dan kini kami sedang menjadi pejuang garis dua, berencana mendapatkan buah hati yang ternyata sulitnya luar biasa.

Kami adalah pasangan yang optimis, sebab dokter bilang sistem reproduksiku dan Hardi normal dan sehat. Aku dan suamiku itu gencar bereproduksi dan menjalankan promil (program hamil) yang disusun oleh dokter dengan senang hati.

Saat hari raya idul fitri tiba, aku ditemani Hardi mudik ke kampung halamanku di desa.

Di sana kami disambut dengan hangat oleh keluargaku. Hardi terutama, disayang bagai anak lanang sendiri. Sepupu-sepupuku, termasuk Masnul, juga bersemangat mengajaknya cangkruk (nongkrong) hingga larut malam setiap hari.

Saat itu aku memandangi ponsel dengan resah, jam digital di sudut menunjukkan angka 11. Sudah hampir tengah malam.

Pada layar datar itu, terbuka aplikasi kalender menstruasi, lengkap dengan notifikasi yang menunjukkan bahwa hari ini aku berada di puncak ovulasi.

Telurku sedang matang-matangnya, siap dibuahi, tapi... rasanya tidak nyaman melakukan 'itu' di rumah keluarga besar ini.

Ah, aku dilema.

Segera ku-screenshot layar gawai itu dan mengirimnya ke Hardi. Aku memantau dari ruang tamu, memperhatikannya yang sedang duduk berkeliling di teras rumah sambil bermain kartu gaple dengan saudara-saudara lelakiku.

Beberapa detik berlalu, akhirnya ia terlihat meraba saku celana, mengeluarkan ponsel.

[Gimana? Apa mau di-skip aja bulan ini? Ngga enak sama orang rumah...] pesanku pada Hardi.

Dia lantas membalas:

[Aduh, sayang banget kalau kelewat. Udah nabung sebulan, aku juga udah makan taoge setengah kilo, masa nggak jadi? 🙁]

Aku tertawa kecil membaca pesan itu. Kulirik posisi Hardi yang ternyata sudah balas menatapku dengan mata memelas. Ah, lucunya suamiku ini.

Buru-buru kuketik balasan.

[Ya udah. Nanti aja ya, agak maleman, kita coba cari waktu yang pas.]

Setelah bertukar pesan, kami kembali beradu tatap.

Sambil mengantongi ponsel, Hardi memberikan senyum nakal yang penuh isyarat, membuat lututku lemas seketika.

Duh, belum apa-apa sudah deg-degan. Betapa cintanya aku dengan lelaki itu.

Demi meredakan grogi, aku pergi ke dapur untuk minum air. Setelah itu, aku mengambil toples kue favoritku, lidah kucing, untuk camilan di dalam kamar.

Aku berencana menunggu Hardi sambil rebahan, men-scroll sosial media sekaligus merilekskan diri.

Tak sampai sepuluh menit, pintu kamar tamu yang menjadi ruangan kami itu terbuka pelan. Hardi berdiri di sana, menatapku.

"Lho, udahan cangkrukan-nya, Yang? Tumben cepet..." Aku tersenyum basa-basi.

Alih-alih menjawab, suamiku berjalan cepat dan mengelus rambutku. Aku menerima belaian itu, membiarkan tangannya menelusuri pelipis dan turun ke tulang pipi, berakhir di rahang dan membelai sisi bibirku.

Waduh. Rasanya jantungku menggedor dada. Hardi biasanya langsung sat-set-sat-set saja kalau hendak bercocok tanam, tidak pernah memberikan gestur manis seperti ini.

Tak membuang kesempatan, aku langsung menyosor suamiku itu, memberikan servis paling baik dan totalitas yang pernah kulakukan sejauh ini. Rasanya aku gelap mata, sangat berhasrat pada Hardi sampai-sampai lupa membaca doa. Sekadar basmalah pun tidak lewat dari mulutku.

Ibadah batin itu hampir saja sempurna, kalau saja Hardi bisa bertahan lebih lama. Tak lebih dari lima menit sebelum suamiku itu mencapai batas. Rasa-rasanya dia kembali menjadi perjaka tanggung saja.

Tapi sudahlah, yang penting tujuan tercapai, ladangku sudah dibuahi, dan aku merasa senang karena kali ini sentuhan Hardi terasa lebih affectionate terhadapku.

Jujur, aku jadi merasa dicintai. Sangat, dicintai.

Setelah berpakaian lengkap, Hardi mendekat dan mengecup keningku, gerakan manis yang jarang sekali ia lakukan, sebelum berjalan keluar kamar tanpa berkata apa-apa sama sekali.

Sepertinya dia akan langsung bersih-bersih di kamar mandi.

Sementara aku sendiri masih terkapar di atas ranjang, tenggelam menikmati afterglow.

Lihat saja, waktu nanti di rumah, kalau dia terus memperlakukanku semanis ini, aku akan menghabiskan stok 'pabrik taoge' Hardi sampai bangkrut!

Setelah beberapa saat mengumpulkan tenaga, aku mengambil celana dalam yang tercecer di sisi ranjang dan memakainya.

Tiba-tiba pintu kamar kembali terbuka. Hardi buru-buru masuk dan menutup pintu lagi, menguncinya.

"Fyuh.. akhirnya bisa melipir juga aku Yang. Yuk ah?" ucapnya setengah berbisik.

"Hah?" Aku bingung luar biasa. Intuisiku berkata ada yang salah.

"Ayuk... quickie aja, ya? Jangan berisik juga, aku nggak enak sama sodara-sodaramu." Suamiku itu mulai membuka kancing celananya.

Seketika keningku pening. Rasanya seperti dihantam palu godam. Aku langsung terduduk, ambruk di sisi ranjang, lemas memikirkan apa yang baru saja terjadi.

Kalau Hardi baru datang sekarang, lalu tadi itu... siapa?

**

[728 Kata]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro