4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perutku mual. Kepalaku berputar. Aku terduduk di atas kasur, sementara suamiku mulai sadar bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

"Yang? Lho, kenapa? Wajahmu pucat banget. Kamu sakit, ya? Duh... aku panggilkan Ibu aja, ya?" Hardi merepet panik sambil memegang pipi dan dahiku.

"Kamu panas," lanjutnya.

Aku hanya bisa mengangguk pasrah melepaskan Hardi ke luar ruangan. Pandanganku berkunang-kunang. Aku merebahkan diri di atas kasur. Pikiranku melayang ke plafon kamar.

Ya Allah, ya Rabb... apa yang barusan terjadi? Apa... yang barusan kulakukan? Dan dengan siapa aku melakukan itu, kalau bukan suamiku?

Karena masih panik dan lemas, aku tidak menyadari saat Hardi sudah kembali ke kamar bersama ibuku.

Obrolan mereka bagai dengungan saja di telingaku, terdengar putus-putus suara Ibu menanyakan 'Kenapa ini Sabila, Le? Kok bisa gini?' pada Hardi, juga suamiku yang menjelaskan ketidaktahuannya pada Ibu.

Beberapa saat kemudian, aku sudah lebih tenang ketika Ibu mengompres dahiku dan meminumkan teh hangat.

"Kamu nge-drop kayak e, Nduk. Kecapekan tah? Istirahat aja wis ...besok nggak usah ikut sowan ke dulur-dulur (mengunjungi saudara-saudara)."

"Nggak mau, Buk!" tegasku. Yang benar saja? Masa aku ditinggal sendiri di rumah ini, saat aku baru saja bersirobok dengan perwujudan genderuwo?!

"Ngg—anu... maksudnya, eman-eman (sayang), Buk. Lusa itu Bila sama Mas Hardi sudah balik ke Jakarta, masa jauh-jauh ke sini cuma diem di rumah? Lagian cuma sakit gini tok, paling dibawa tidur juga sembuh."

Argumen itu membuat Ibu menghela napas. "Yowes nek (kalau) kamu maksa. Tapi sekarang istirahat sing bener, ya? Langsung istirahat, ndak usah hape-an maneh."

Aku tersenyum mendapati perhatian Ibu. Pada momen itu, terbersit di pikiranku untuk menceritakan kejadian barusan padanya. Tapi sayangnya Hardi keburu masuk kamar sehingga aku mengurungkan niat. Aku merasa ini bukan saat yang tepat.

Entah bisa dikatakan apes atau untung, namun sepanjang sisa malam itu aku mengalami demam tinggi, sehingga Hardi tidak menagih 'jatah' yang tadinya sudah kujanjikan.

Malah, suamiku itu siaga mengganti kompres dan memijit kakiku, merawatku, mengajakku ngobrol sampai mengantuk.

Aku lega sekali selama berbicara ringan pada Hardi, sebab dengan mendengar suaranya, menandakan bahwa ini suamiku yang asli.

Ya, aku baru sadar kalau versi palsu Hardi (dan juga Masnul, bertahun-tahun lalu) tidak ada mengucapkan sepatah kata pun.

Sambil berbaring, aku memperhatikan wajah Hardi yang sudah terlelap. Saat itu hatiku jadi terenyuh. Aku merasa bersalah sekali kepadanya.

Rasanya seperti... baru saja menduakannya. Ah, tapi apa ini salahku? Bukannya ini terjadi di luar kehendakku?

Aku menimbang-nimbang langkah selanjutnya; apakah aku harus menceritakan kejadian ini pada Hardi, atau akan kusimpan sendiri sebagai rahasia seumur hidup? Kalau Hardi tahu, akankah dia terima? Atau... dia akan meninggalkanku?

Saat berada dalam dilema seperti ini, aku sering coba menempatkan diri di sepatu orang lain.

Kali ini, aku memposisikan diri jika aku menjadi Hardi. Jika pasanganku diam-diam 'diperkosa' oleh dedemit, bagaimana? Aduh, memikirkannya saja dadaku langsung sesak. Ini terlalu pelik.

Akhirnya kuputuskan untuk menunda memberitahunya saat kami pulang ke rumah saja.

Hari pun berganti. Subuh tiba. Suhu badanku masih sedikit hangat, tapi tidak separah semalam.

Setelah membangunkan Hardi untuk shalat sekaligus menemaniku mengambil wudhu. Sambil bergantian menunggu suamiku mengambil wudhu, aku mendengar suara-suara yang berasal dari dapur yang jaraknya lumayan dekat.

Ternyata, Ibu sedang memasak air panas dengan keadaan masih mengenakan mukena.

"Lagi buat apa, Buk?" tanyaku.

"Kopi ini, buat Bapak sama Pakde-mu. Eh, Hardi ngopi juga opo ndak? Kopi hitam mau tah dia?" balas Ibu. Entah mengapa nada suaranya terdengar lebih ceria dari biasanya.

"Kasih kopi sachet aja, Buk, atau kopi susu. Asam lambungnya nggak kuat kalau kopi hitam." Aku menjelaskan. "Ibuk sudah sholat subuh?" lanjutku.

"Wis (sudah). Kamu ndangan (cepetan) sholat toh, Nduk. Selak (keburu) habis subuh e. Ojo lali ngirim dungo sing akeh (jangan lupa berdoa yang banyak), minta keselamatan sama kesehatan buat jabang bayimu..."

Ibu berkata dengan senyum yang terarah pada perutku.

Astaga! Sepertinya ibu sudah menarik kesimpulan yang terlalu jauh!

Sambil berusaha mengkondisikan wajah senormal mungkin, aku pun menjawab 'Iya' sekenanya. Beruntung Hardi sudah selesai wudhu dan mengajakku ke musala.

Aku pun berpamitan dengan Ibu yang sedang mengaduk kopi. Dalam kepalaku sudah tersemat catatan mental untuk berbicara dengannya.

Ya. Ibuku adalah orang yang paling paham dengan hal mistis. Selain itu, dia harus jadi yang pertama tahu, agar tidak menyebarkan kabar miring tentang kehamilan fiktif cucu pertamanya.

**

[667 Kata]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro