11. Narayan Abdi Mahesa?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menatap Kahiyang dari balik pintu kaca di dapur, Arjuna seakan tahu jika sesuatu telah terjadi. Lima belas menit berlalu, bundanya duduk di gazebo yang berada tepat di atas kolam ikan, tapi sama sekali tak menyentuh gelas tehnya.

Meletakkan botol minumnya, Arjuna memutuskan untuk menghampiri Kahiyang yang memang sedang melamun.

"Bun." Panggilan Arjuna menyeret Kahiyang kembali ke realita.

"Ehm ... kenapa, Mas?"

"Bunda yang kenapa?" tanya balik Arjuna, yang kemudian duduk di samping Kahiyang dengan menekuk kaki kirinya dan membiarkan kaki kanan mengantung ddi pinggiran gazebo. "Bunda ngelamun."

Percuma menutupi hal sepenting ini dari Arjuna. Menghela napas panjang, Kahiyang memutar tubuhnya menatap putra keduanya dan memandang intens. "Bunda ... ketemu sama Nenek kalian."

"Nenek," beo Arjuna. "Nenek kapan ke sini?"

"Bukan Nenek Anjar, Mas, tapi Nenek Intan."

"Nenek Intan?" Mengerutkan kening sejenak. Pasalnya yang ia tahu, dia hanya punya Eyang Uti dan Eyang Kakung yang saat ini tinggal di Solo. Akhirnya Arjuna paham siapa yang bundanya maksud dengan Nenek Intan.

Tatapan Arjuna diangguki pelan oleh Kahiyang.

"Terus gimana?" Arjuna merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kahiyang.

Tanpa dikomando, Kahiyang reflek kepala Arjuna. Menyusupkan kelima jemarinya di antara helain rambut tebal milik putranya.

Untuk ukuran laki-laki, rambut Juna masuk dalam kategori lembut meskipun tebal. Kahiyang seakan deja vu. Ingatannya kembali pada memori saat Nara sering kali merebahkan kepalanya di pangkuan Kahiyang dan menenggelamkan wajah dalam perut datarnya.

Menyurai pelan, Kahiyang menikmati kelembutan helaian rambut Nara hingga pemiliknya tertidur. Kini kembali terulang, hanya tergantikan oleh sosok Arjuna dalam pangkuannya.

Jujur saja, ia masih takut menyebutkan status Nara di depan Juna. Walaupun dia tahu jika Nara adalah ayahnya. Kahiyang takut akan melukai perasaan anak-anaknya.

"Nenek ... ingin ketemu sama kalian." Kahiyang mengigit bibir bawahnya. Ada kegugupan tercipta di sana.

Ia tak tahu reaksi apa yang ditunjukan oleh ketiga anak kembarnya yang lain, saat mengetahui siapa ayah mereka.

"Kenapa Nenek pengen ketemu sama kita?"

"Nenek ingin melihat gimana rupa cucu-cucunya."

"Bukannya Nenek udah punya Agni, kenapa mau ketemu kita segala?"

"Kalian juga cucunya."

"Yakin Bunda mau ngomongin ini sama yang lainnya?" Kali ini Arjuna mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius.

Sejujurnya ... Kahiyang tak yakin.

Kahiyang tahu mereka berempat tak pernah menanyakan secara langsung ke mana sang ayah pergi. Namun, suatu malam saat di Solo. Ia mendapati anak bungsu Mahesa menangis, mengadu pada kakak-kakaknya bahwa ia di olok sebagai anak haram yang tak punya Ayah.

Ia tak menyangka hal seperti itu menimpa anak-anaknya. Mereka punya akta kelahiran dengan nama Narayan Abdi Mahesa yang tertulis jelas di sana.

Mereka bukan anak haram.

"Mereka juga harus tahu hal ini, Mas. Kalo Ayah kalian masih hidup dan dia ...."

"Apa maksud, Bunda?" Suara Nirbita tiba-tiba menginterupsi percakapan mereka.

Kahiyang yang kaget, langsung berdiri tanpa menghiraukan Arjuna yang masih berada di pangkuannya.

"Apa maksud, Bunda? Kalo Ayah masih hidup?"

Ya Tuhan!

"Jadi kamu tahu siapa ayah, Jun?" tanya Nirbita dengan tatapan nyalang ke Arjuna.

Arjuna mengendikkan bahunya, "Aku sempat ketemu, nggak sengaja juga."

"Dan kamu nggak ngomong apa-apa ke kita, Mas?" timpal Raka mendelik.

"Sialan kamu, Jun!" umpat Nirbita.

"Bita! Jaga bicaramu." Kahiyang tahu bahwa putri satu-satunya ini begitu mewarisi sisi Nara yang keras kepala dan emosian.

Nirbita bukanlah remaja tanggung yang penurut, jika itu bersinggungan dengan apa yang ia yakini. Bahkan dengan Kahiyang sendiri saja, Nirbita agak tertutup.

Jika biasanya anak perempuan lebih dekat sang ibu, justru Nirbita terasa begitu menjaga jarak dengan dirinya. Malahan Nirbita terkesan lebih dekat dan manja kalau bersama Lintang.

Sedari kecil mereka sudah membiasakan diri memanggil Lintang dengan sebutan Ayah, karena tak adanya sosok kepala keluarga dalam tatanan keluarga kecil mereka.

Lintang sendiri, lebih merasa nyaman dipanggil Ayah daripada dipanggil Pakde. Walaupun intinya sama-sama pria tua, tapi Ayah terdengar lebih elegan dan membanggakan.

Sama halnya dengan Ambar yang terbiasa memanggil Kahiyang dengan sebutan Bunda, karena sedari lahir anak itu sudah tak memiliki figur Ibu semenjak ia dilahirkan ke dunia ini.

"Kenapa bunda nggak cerita? Kenapa cuma Juna yang tau? Apa bunda nggak anggep aku, Raka sama Abi anak Bunda?" cecar Nirbita tak terima.

Kahiyang tercekat, tenggorokannya terasa sakit. "Bita ... dengerin Bunda dulu, Mbak."

"Kenapa Bunda bohong?"

Menatap satu persatu wajah keempat anaknya. Kahiyang bertekad untuk mengatakan semuanya. Menghela napasnya perlahan. Ia coba merangkai kata untuk menjelaskan semuanya.

"Kita masuk! Bunda akan jelasin semuanya."

Keempat anak kembarnya mengikuti langkah Kahiyang, yang kemudian duduk di atas sofa panjang di ruang tengah.

Tanpa dikomando Raka dan Abi duduk bersimpuh di kaki Kahiyang, meletakkan kepala mereka di pangkuan sang Bunda masing-masing. Sedangkan Nirbita dan Arjuna memilih duduk di samping Kahiyang dan mendaratkan kepala mereka di pundak bundanya yang tengah duduk di sofa.

Diusapnya sayang satu persatu kepala keempatnya.

"Bunda nggak berniat bohong sama kalian, apalagi sama kamu, Mbak. Bunda minta maaf banget kalo pada akhirnya justru bikin kamu sakit hati."

"Abi bukan anak haram, kan, Bun?" tanya Abi pelan. Dirinya pun menahan napas sebentar sebelum melontarkan pertanyaan itu.

Kahiyang menatap putra bungsunya ini. Ia paling tahu, bagaimana sakit hatinya Abimanyu diejek sebagai anak haram. Selama delapan belas tahun dia dan ketiga saudara kembarnya tumbuh tanpa kehadiran figur Ayah.

Bagi mereka Kahiyang adalah sosok ibu dan ayah sekaligus. Meski ia bisa mendapatkan sosok ayah dalam diri Lintang, tetap saja Abi dan saudaranya membutuhkan ayah kandungnya mereka.

Mereka ingin seperti anak-anak lainnya. Ingin digendong di pundak ayahnya, menginginkan lelaki penyumbang DNA mereka hadir ketika masing-masing tampil dalam sebuah acara yang mengikutsertakan mereka, juga lomba-lomba yang berakhir dengan kemenangan.

Mereka juga ingin merayakan ulang tahun yang dihadiri oleh ayahnya, tak apa meski tak ada kado. Asalkan ayahnya hadir ketika mereka ulang tahun saja itu sudah cukup.

Sayangnya harapan memang tak seindah kenyataan. Keinginan sederhana meraka tak pernah dikabulkan oleh Tuhan. Hingga mereka berusia tujuh belas tahun, Tuhan tak sekalipun mengembalikan Ayah mereka.

Jadi mereka terpaksa menelan semua pahit dari harapan yang tak terkabul dan mencoba berlapang dada jika mereka tak pernah punya Ayah.

"Kalian bukan anak haram," jelas Kahiyang menelusupkan jemarinya di antara rambut tebal milik Raka. "Bunda sama Ayah kalian menikah karena dijodohkan. Saat itu ibu baru berusia dua puluh tahun.

Apa yang bisa dimengerti oleh remaja seperti, Bunda? Ada yang mau menikahi Bunda aja itu cukup membuat Bunda bahagia." Raka mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arah Kahiyang dengan kepala mendongak ke atas.

"Apa bunda bahagia sama pernikahan itu?" tanya Nirbita menyorot langsung pada Kahiyang dengan tatapan sendu.

"Kalian sudah besar. Bisa menilai sendiri, seperti apa pernikahan Bunda dulu."

"Jadi ...."

"Jangan benci Ayah kalian. Meski mustahil bagi Bunda kalo harus kembali bersinggungan dengannya lagi."

"Apa ada wanita lain, Bun?" Terka Nirbita.

"Ayahmu mencintai sahabatnya. Bisa dibilang mereka bersahabat sejak kanak-kanak."

"Bullshit-lah persahabatan tulus antara pria dan wanita. Salah satunya pasti bakalan punya perasaan." Kali ini Raka yang mengumpat secara terang-terangan.

"Ayahmu nggak tahu keberadaan kalian, saat bunda pergi ninggalin dia. Cuma Nenek kalian yang tahu."

"Nenek?" Abi membeo.

"Iya, Nenek. Kalian punya Kakek dan Nenek selain Eyang Uti dan Akung yang di Solo."

Arjuna hanya diam, memeluk lengan Kahiyang sembari menyender dibahu bundanya. menyimak apa yang Kahiyang coba jelaskan pada ketiga saudaranya.

"Seminggu yang lalu, Bunda ketemu Ayah kalian. Dia datang ke rumah sakit tempat Bunda praktek dan ngajak bicara. Nggak banyak yang kita obrolin karena Bunda sendiri masih berat kalo harus berdekatan lagi sama dia. Lalu ... Bunda mutusin buat ketemu Nenek kalian."

Susana mendadak hening.

"Mau gimana pun, itu Nenek kalian. Dia berhak tau kalo dia punya cucu. Nenek kalian girang banget waktu tau kalo dia punya cucu langsung empat, Nenek nggak berhenti muji-muji kalian. Apalagi Bita, duh ... sampe Nenek bilang 'liat, deh, Bita cantik banget'." Kahiyang terkekeh geli, tapi tidak dengan keempat anaknya.

"Nggak lucu, ya?" Kahiyang hanya bisa nyengir kuda, ia merasa kikuk di tatap empat pasang mata sekaligus.

"Jadi siapa Ayah kita, Bun?" Kahiyang menahan napasnya, begitu Nirbita melontarkan pertanyaan intinya.

Siapa ayahnya?

Kahiyang bahkan belum siap melihat reaksi ketiga anaknya, jika tahu siapa sebenarnya ayah mereka.

"Mas, bisa minta tolong ambilin tempat file-file yang ada di lemari, Bunda." Titahnya pada Arjuna yang langsung berdiri.

Arjuna memasuki kamar Bundanya, tak lama kemudian ia menyerahkan tempat file yang dimaksud Kahiyang. Lalu memberikan satu persatu lembaran dokumen yang di dominasi warna hijau, dan sudah dilaminating.

"Kalian anak yang sah, di mata hukum dan agama. Kami memang bercerai sebelum kalian lahir. Cuma ... kalian tumbuh tanpa figur seorang ayah."

Mereka serentak menatap akte kelahiran masing-masing. Membaca perlahan keterangan yang tertera di sana.

Benar saja, mereka anak yang sah di mata hukum dan negara. Betapa girangnya Nirbita, Raka, dan Abi mengetahui mereka punya ayah.

"Narayan Abdi Mahesa," eja Nirbita pelan.

Jadi itu nama ayahnya.


★✩★✩★✩★✩★

Surabaya, 11/10/22
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro