10. Cucu Mama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keheningan menyelimuti keduanya, hanya suara penyiar radio yang sedang bercuap-cuap menghiasi perjalanan mereka. Seminggu berlalu, pada akhirnya Kahiyang menerima tawaran Nara untuk mengunjungi Intan—mama mertuanya.

Ia tak pernah bisa menolak jika berhubungan dengan Intan. Wanita yang sudah ia anggap seperti ibu kandunganya itu, akan selalu menjadi prioritas Kahiyang.

Nara sudah menceritakan keadaannya dengan Intan yang hingga kini masih merenggang. Sekuat apa pun dia berusaha merekatkan retakan yang dibuatnya tak pernah bisa dia lakukan. Harapan terakhir Nara adalah dengan mempertemukan Kahiyang dengan mamanya. Bahkan Nara tak segan-segan mengirimakan spam chat, agar Kahiyang mau bertemu dengan Intan.

Kahiyang kembali menegaskan pada Nara sebelum mereka berangkat, jika apa yang ia lakukan sekarang semata karena ia juga menyanyangi Intan seperti ibunya sendiri, meski mereka sudah tak ada hubungan lagi.

Memasuki pelataran rumah keluarga Mahesa kembali membawa Kahiyang pada kenangan masa lalu. Kilasan itu kembali hadir, berputar di dalam kepalanya. Di mana dulu masih menjadi pembantu keluarga ini bersama sang Ibu. Ada banyak kebahagiaan di rumah ini yang ia rasakan.

Delapan belas tahun berlalu, tak banyak perubahan yang terjadi di rumah besar ini. Semua tampak sama di mata Kahiyang seperti sebelum ia pergi. Mengembuskan napas panjang, sebelum mengikuti Nara memasuki rumah keluarganya.

"Buk Min, Mama di mana?" tanya Nara begitu disambut wanita paruh baya.

"Eh, itu, Den. Lho ... ini, kan, Non Iyang." Bukannya menjawab, Buk Min justru menubruk Kahiyang dan memeluknya. "Ya Allah, Nduk, kamu ke mana aja, toh?" tanya Buk Min yang mengurai pelukannya. Wanita dengan tahi lalat di pipi kanannya itu malah menitikkan air matanya seraya mengusap kedua bahu Kahiyang.

Lidah Kahiyang kelu, pelukan Buk Min jelas membuat Kahiyang tak bisa membendung air matanya sendiri. "Buk Min sehat?" Akhirnya ia bisa mengeluarkan suara meski terdengar serak.

"Alhamdulillah, Nduk, ibuk sehat."

Nara tak berhenti tersenyum. Dadanya benar-benar menggembang bahagia. Jika Buk Min begitu bahagia bertemu dengan Kahiyang, lalu bagaimana reaksi mamanya nanti. Ia sengaja tak memberi kabar kalau kedatangannya kali ini dengan membawa serta Kahiyang.

Delapan belas tahun, hubungannya dengan sang Mama tidak pernah bisa membaik. Itu semua karena ulah dan kecerobohannya. Meski tak sekejam di awal-awal dulu, tetap saja ia merasa tersiksa. Intan tak pernah mau berlama-lama jika berada dalam satu ruang dengannya. Bahkan untuk berbicara saja, mamanya hanya memberikan jawaban-jawaban singkat.

Hal itu terjadi hampir delapan belas tahun lamanya. Mamanya mungkin bisa memaafkan dan berdamai dengan kekecewaan yang ia torehkan, tapi tida dengan melupakan.

Nara tersentak mendapati tubuh Kahiyang sedikit oleng akibat terjangan dari Intan, yang tiba-tiba saja memeluknya. Untung saja ia bisa reflek menahan punggung Kahiyang, sebelum benar-benar terjungkal ke belakang.

Sekali lagi, Nara mendapati ketiga wanita beda generasi itu sama-sama menangis. Buk Min tak lagi memeluk Kahiyang, tapi wanita bertubuh gempal itu sesekali menyeka air matanya yang merembes dengan kain lap yang ia sampirkan di pundaknya. Sedangkan mamanya mengecupi seluruh wajah Kahiyang dengan tangisan yang sama pilunya terdengar di telinga Nara. Tak pelak ia pun menetesan air mata jua.

Betapa kejamnya ia dulu.

Duduk di sofa lainnya, Nara memilih untuk menikmati interaksi kedua wanita yang memiliki cintanya dengan porsi yang sama. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Kahiyang. Memang benar apa kata orang. Mantan akan selalu terlihat jauh lebih baik saat mereka sudah berpisah.

Kahiyang tetaplah Kahiyang yang dulu. Sekalipun banyak perubahan pada fisik dan penampilan, dia tetap berlaku hormat ke semua orang. Sifatnya tak berubah sama sekali.

"Setelah hari itu, Iyang ... pindah ke Solo, Ma." Jelas Kahiyang membersit ingusnya dengan selembar tisu. "Iyang ikut Bapak."

"Solo? Jadi ... Hendrik, masih hidup?" Intan jelas kaget mendengar kabar Kahiyang ikut ke Solo.

Setahu Intan, setelah beberapa tahun setelah donor ginjal itu Hendrik pergi meninggalkan Ibunya Kahiyang, saat itu Kahiyang masih anak-anak. Desas-desus yang beredar, Hendrik memang kecantol dengan wanita lain saat ia mengerjakan proyek di kota lain. Entah itu benar atau tidak.

"Yang ... Mama boleh liat cucu mama?"

Nara yang awalnya menatap layar ponselnya langsung mendongak menatap mereka bergantian.

Kahiyang menoleh sebentar pada Nara yang duduk di seberangnya, lalu kemudian merogoh sesuatu dari dalam tas tangannya. Setelah mengotak-atik sebentar, ia menyodorkan ponsel yang berisi potret ke empat anak kembarnya.

"Mereka ... cucu-cucu, Mama?" Kahiyang mengangguki.

Mata tua itu menatap bergantian dari Nara ke Kahiyang. Kembali lagi pada putranya, seakan meminta penjelasan pasti.

"Iya ... Ma. Mereka ... anak-anak Nara sama Kahiyang." Terselip rasa haru dan bangga bersamaan kala ia menyebut 'anak-anak Nara'. Membuat mata lelaki itu kembali berkaca-kaca.

"Mereka ... anak-anak Nara, Ma." Ulang Nara kali ini tak bisa menahan setitik air mata yang merosot dari pelupuk matanya.

Intan menghampiri putranya dan memeluk Nara erat. Mengelus punggung tegap itu. "Ya Allah, cucunya Mama, Nar. Mereka sudah besar-besar."

Lirihan Intan akhirnya menjebol pertahanan kahiyang, yang sedari tadi mati-matian menahan air mata agar tak lagi berjatuhan. Kembali Intan memandang layar ponsel Kahiyang, dan beralih pada Nara yang sudah menyeka airmatanya.

"Mereka kembar, Nar. Ya, Allah. Cucu Mama ada empat," guman Intan dengan nada begitu bahagia yang begitu kentara.

Lihatlah, bahkan kini giliran Kahiyang yang tak diacuhkan. Karena pasangan ibu dan anak itu malah asik memandangi foto keempat anaknya dan saling mengomentari satu-satu.

"Siapa nama mereka, Yang?" tanya Intan kembali duduk di samping Kahiyang dengan masih menggenggam gawai miliknya.

"Satu-satunya anak perempuan, namanya Nirbita Adzania Mahesa. Lalu yang nomer dua namanya Arjuna Abdi Mahesa." Tunjuk Kahiyang pada potret Arjuna yang memakai jumper berwarna hijau botol.

"Yang pakai kaos oblong ini, namanya Rakabuming Abdi Mahesa. Dan si bungsu memakai kemeja, dia Abimanyu Abdi Mahesa."

Mata Intan kembali berkaca mendengar penuturan lugas Kahiyang, tanpa menutupi nama Abdi Mahesa yang melekat pada cucu kembarnya.

"Nara." Ulang Nara menatap Kahiyang lamat-lamat

Kahiyang tersenyum simpul. "Kalo manggil mereka bersamaan. Nara." 

Sedangkan Nara, ia merasakan kebahagian yang menyeruak hingga ke ubun-ubun. Riak-riak itu bahkan mampu menenggelamkan kesakitan dan kepedihan Nara atas kehilangan sosok wanitanya ini selama delapan belas tahun lalu.

Hanya mendengar nama Abdi Mahesa tersemat di masing-masing anaknya, seolah-olah mendapatkan air segar di tengah padang pasir. Begitu menyegarkan dan mampu membasuh dahaganya selama ini.

Kahiyang merasa tak enak hati, sedari tadi mama mertuanya ini tak henti-hentinya menyeka air mata. Padahal ada andil dirinya, karena memisahkan seorang nenek dan cucu-cucunya. Kahiyang tetaplah wanita yang masih teramat menyayangi Intan layaknya ibu kandung sendiri.

Pertemuan dengan mama mertuanya adalah hal yang tak pernah ia pikirkan sekembalinya ke sini. Apalagi setelah drama tangisan dan permohonan maaf Intan atas nama Nara, membuat Kahiyang beberapa kali ikut menangis tadi.

"Makasih, Yang. Makasih," ucap Intan meraih tangan Kahiyang dan menggenggamnya erat. "Karena kamu sudah melahirkan dan merawat mereka, juga menjaganya dengan baik." Disela-sela isak tangis Intan yang kembali merebak, kembali ia meraih ponsel Kahiyang dan menatap lekat ke arah potret quarduplet yang sedang tertawa bahagia.

"Melahirkan mereka adalah kewajiban Iyang, Ma. Begitu juga merawat dan menjaga mereka."

Intan kembali menangis, meski tak sekencang di awal mereka bertemu setelah delapan belas tahun berpisah. Akhirnya ia bisa melihat cucunya, entah kebaikan apa yang sudah ia lakukan hingga mendapatkan anugerah cucu hingga langsung empat anak sekaligus.

"Maafin anak mama yang bodoh ini, Yang. Karena ulahnya cucuku nggak pernah bisa ngerasain kasih sayang seorang ayah."

Nara semakin menunduk, ucapan mamanya benar-benar menohok ulu hatinya. Ia sadar bahwa semua kenestapaan ini karena ulahnya. Terlebih ketika anak-anaknya bahkan tak mengenali siapa ayah biologis mereka, sungguh membuat hati Nara begitu sakit.

Mungkin rasa sakit ini yang Kahiyang rasakan? Ketika ia tak pernah menganggap keberadaan ibu dari anak-anaknya. Dulu ia hanya menganggap Kahiyang sekedar tempat ia mengosongkan kantong spermanya secara halal, juga tempat di mana ia butuh dilayani layaknya suami.

Jika memang rasanya sesakit ini, maka Nara akan menerimanya sebagai salah satu cara ia untuk menebus dosa yang pernah ia lakukan dulu.

Tak apa jika dirinya tak dianggap keberadaannya, asalkan ia bisa dekat dan melihat anak-anaknya. Mungkin adalah harga yang pantas baginya.

Ia akan terus mencoba untuk meluluhkan hati Kahiyang, kemudian anak-anaknya. Egoiskah ia jika menginginkan keluarga kembali bersama?

Nara tersenyum samar melihat rona bahagia tercetak di wajah mamanya. Senyuman bahagia yang bisa ia liat lagi selang delapan belas tahun berlalu. Setelah semua yang telah Nara lakukan.

Maka biarlah hari ini, ia cukup berpuas diri deni melihat rona bahagia dari wajah mamanya juga Kahiyang.

Mengerling kegiatan kedua wanita yang ia cintai, Nara memaksakan senyumannya melihat Intan tertawa mendengar cerita Kahiyang akan anak-anaknya.

Ah, anak-anaknya. Kapan ia bisa memeluknya dan dipanggil ayah oleh mereka.

Nara sudah mendapatkan buah dari perbuatan bodohnya, sisi kerakusannya dalam meminta. Padahal Tuhan sudah memberikannya istri yang ia butuhkan, bukan yang ia inginkan.

Jika saja ia bisa meraba perasaannya dulu, mungkin ia bisa hidup bahagia dengan keempat anaknya. Takdir memang kadang selucu itu, bahkan terkesan kejam.

Andai ia tahu penyesalan selalu datang di akhir.

●○●○●○●○

Maaf ya, kalo masih ada typo. Aku dah berusaha buat ngedit lagi. Ehehehhee, semoga syuka, gaes.

Surabaya, 7 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro