9. Kisah Mereka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menemukan Lintang duduk sendirian di meja pantry saat turun ke dapur, tak mengurungkan niat Kahiyang membuat teh tubruk jahe seperti kebiasaannya selama ini. Ia bahkan mengangsurkan cangkir lain pada Lintang yang matanya mengikuti ke mana Kahiyang bergerak.

"Kok belum tidur, Jeng?" Kahiyang mendudukan dirinya tepat di samping Lintang, kemudian menyesap pelan teh jahenya.

"Masih kepikiran, Mas." Kembali menyesap tehnya, Kahiyang lalu meletakan kembali cangkir miliknya dan mengikuti arah pandang Lintang yang menatap kompor. "Mas Lin masih ada rasa sama Mbak Gladis?"

Lintang menoleh cepat seraya melotot tak percaya pada adiknya ini. "Ngaco kamu, Jeng."

Kahiyang mengangkat kedua bahunya. "Ya, mana aku tau, Mas. Kali aja masih ada, kan?"

"Mungkin masih ada, tapi samar. Posisinya udah tersingkir sama ibu'e Ambar, Jeng."

Dulu ... Kahiyang tanpa sengaja mendapati foto Gladis ada di dalam bingkai foto di kamar Lintang, saat ia tengah membersihkannya. Pada akhirnya terbukalah semua tabir yang selama ini tertutupi, jika ia dan Lintang sama-sama menjadi korban patah hati dari Nara dan Gladis.

Ada sedikit rasa sesal dalam hati Kahiyang, menyanyangkan jika pria sebaik Lintang disia-siakan. Setelah kejadian itu, Lintang benar-benar menutup diri pada wanita manapun. Hingga kehadiran Saraswati, mampu membuka hati Lintang.

Begitu ia diboyong oleh Hendrik ke Solo, Kahiyang seolah mendapatkan oase di tengah gurun pasir. Ia mendapatkan sosok Lintang sebagai kakak tiri, juga kedua adik seayahnya. Hal itu jelas membuat Kahiyang benar-benar bersyukur, kalau ia tak sebatang kara di dunia ini.

Bisa dibilang, hanya ia yang bergender perempuan dalam keluarga Hendrik Sutarman sebagai anak. selain ibu tirinya kedua adiknya sama-sama berjenis laki-laki. Jadilah ia diperlakukan layaknya seorang anak kesayangan yang apa Kahiyang inginkan akan langsung terlaksana.

Apalagi, di masa kehamilannya dan tahap mengidam mulai menunjukan taring. Seluruh keluarga dibuat heboh, hanya karena ia menginginkan buah rambutan yang pada saat itu bukan musim buah yang hampir menyerupai buah leci.

Lintang begitu sigap menghadapi ngidamnya, bahkan tak segan-segan mengontak teman semasa kuliahnya yang berada di Malaysia, guna menanyakan keberadaan rambutan yang mungkin sekiranya ada di sana.

Seminggu kemudian, Kahiyang disuguhkan sekardus rambutan yang kulitnya memerah sempurna. Membuat air liur Kahiyang menetes tanpa bisa ditahan. Ah, masa bodo dengan jenis rambutan ini. Asal ngidamnya terpenuhi, Kahiyang sudah merasa begitu bahagia.

Apalagi ketika Bu Anjar menyodorkan semangkuk manisan rambutan, dengan taburan jeruk limau dan ulekan cabe yang menghiasi benar-benar menguji indera pencecap Kahiyang untuk langsung menerkamnya.

Sejak saat itulah, Kahiyang tak membatasi interaksinya terhadap keluarga baru saja ia dapatkan. Kecuali pada Lintang, ia masih sedikit sungkan untuk bermanja-manja ria pada sosok yang ternyata pernah andil dalam masa lalunya.

"Kamu kali yang masih ada rasa sama Nara." Giliran Kahiyang yang melotot, bahkan ia meninju pelan lengan Lintang.

Memainkan pinggirannya cangkirnya dengan gerakan memutar, pandangan Kahiyang sama menerawangnya seperti Lintang dan berujung dengan kekehan singkat. "Aku nggak tau, Mas, apa rasa itu masih ada apa nggak. Tapi ngeliat mereka bersama masih memunculkan kesakitan itu. Nggak mudah buat aku ngelupain yang udah terjadi di masa lalu, bahkan rasanya sama sakitnya, Mas ...," Kahiyang menghela napas panjang, "Aku udah coba berdamai sama luka-luka itu, tapi tetap aja rasanya sakit saat ngeliat mereka berdua yang ... terlihat baik-baik aja. Sedangkan aku berdarah-darah untuk menyembuhkan lukaku."

Kahiyang menghapus jejak air mata yang jatuh dari ujung matanya, lalu menatap Lintang yang menunduk menatap cangkir teh yang berada dalam rengkuhan kedua tangannya. "Cepet atau lambat ... aku emang harus ngadepin mereka, kan? Nggak selamanya aku harus sembunyi dengan dalih menyembukan lukaku. Delapan belas tahun, Mas, aku sembunyi. Aku udah nggak mau sembunyi lagi."

Delapan belas tahun ia berjuang menyembuhkan luka-lukanya, ia tak mau jika harus kembali ke titik di mana keterpurukan menghantam. Sekeras apa pun ia berusaha menutupinya, tapi tak akan pernah tertutup sempurna.

Setitik air mata kahiyang jatuh dari ujung matanya, begitu ia mengingat semua perjuangannya untuk berdamai dengan semuanya. Denyutan itu kembali datang, sama sakitnya seperti dulu, atau bahkan tak berkurang sama sekali.

Usapan lembut di pipi Kahiyang membuatnya terhenyak dari lamunan. Tak ada ucapan apa pun yang terlontar dari Lintang. Pria itu hanya diam dan menghapus jejak air mata di pipi Kahiyang.

Seolah terhipnotis dengan tatapan teduh milik Lintang, Kahiyang justru betah menatap lamat-lamat sepasang mata hitam pekat di seberangnya. Semakin lama wanita berpiyama itu seakan ikut tenggelam dalam gelapnya tatapan Lintang.

"Ayah ...." Panggilan Ambar dari dalam kamar membuat keduanya tersadar.

Canggung dan salah tingkah menjadi hal pertama saat mereka memutuskan tatapan mereka. Lintang berdeham sebentar, lalu menyesap cepat teh jahe miliknya.

Tanpa ucap, Lintang bergegas menghampiri kamar putrinya yang terbuka lebar dengan sosok Ambar yang setengah ngantuk berdiri di ambang pintu. Meninggalkan Kahiyang yang masih terduduk linglung dengan apa yang barusan terjadi.

Kenapa dadanya jadi berdebar, sih?

○●○●○●○

13.30

Kahiyang baru saja melepas stetoskop, begitu melihat jarum jam melalui arlojinya dan menyadari kalau Ia telat makan siang.

Setelah membereskan meja kerjanya, Kahiyang beranjak dari duduknya. Rencananya ia akan makan siang kemudian meninjau sebentar lokasi pembangunan proyek HI-Mart. Kebetulan pasiennya hari ini sudah habis, juga tak mempunyai janji temu dengan pasien lain.

Kahiyang berjingkat kaget. Mendapati sosok lelaki berstatus mantan suaminya, tengah duduk di bangku tunggu depan pintu masuk ruangan prakteknya.

"Mas Ian?"

Seperti ada yang memanggil namanya, lelaki berkemeja biru laut dengan dasi dongker motif garis-garis keemasan itu mendongak. Senyum segaris terbit di bibirnya, mendapati wanita yang ditunggunya sedari tadi tengah memandangnya.

"Kahiyang," panggil Nara langsung berdiri.

Banyak perubahan dalam diri wanita di depannya ini. Tak ada lagi tampilan ndeso dan sederhana saat mereka menikah dulu. Tergantikan dengan Kahiyang yang terlihat modis dan fashionable. Jelas sekali aura kedewasaan dan kesan anggun bersejajar sekaligus.

"Bisa kita bicara, Yang?" pinta Nara dengan mimik wajah penuh harap.

Mengigit bibir bawahnya, Kahiyang sejenak berpikir. Antara mengiyakan atau menolak ajakan Nara.

Lima belas menit. Kediaman menghinggapi mereka berdua yang berakhir terdampar di cafe seberang rumah sakit tempat Kahiyang bekerja.

Nara lebih memilih diam dengan kepala menunduk, sedangkan Kahiyang menyesap pelan Latte panasnya sembari melihat lalu lalang kendaraan di luar.

"Yang-" Kahiyang menghentikan ucapan Nara dengan tangannya.

"Ajeng! Panggil Ajeng, Mas. Kahiyang yang dulu udah mati." Nara menelan ludahnya, mendapati interuspi langsung dari Kahiyang.

Secara tersirat Kahiyang menegaskan pada Nara, bahwa dirinya yang dulu telah mati. Berganti dengan sosok yang baru.

Sejujurnya, iya tak ingin kembali terlena akan kehadiran sosok Nara dalam kehidupannya. Pemenggalan 'Yang' dari namanya, seolah-olah itu pemenggalan dari kata 'sayang'. Dan ia cukup risih mendengar panggilan itu. Terlebih Nara yang memanggilnya.

Nara berdeham, mengembalikan suaranya yang sempat hilang kala Kahiyang memotong kalimatnya.

"Apa yang mau Mas Nara omongin?" tanya Kahiyang menatap lurus ke arah Nara.

"Yang! Eh, Jeng. Aku ... mau ... nggak tau dari mana memulainya." Kahiyang mengangkat sebelah alisnya melihat kegugupan Nara.

"Mas ... mau minta maaf sama kamu."

"Untuk yang mana, Mas?" tanya Kahiyang mengangkat sebelah alisnya.

"Untuk semuanya, Mas yang udah nyakitin kamu berkali-kali. Mas yang nggak pernah ada disaat kamu butuh, juga ... maaf karena membuatmu berjuang sendirian mengandung si kembar."

Dulu sekali ... Kahiyang memang mengharapkan kata maaf terlontar dari mulut Nara, selain itu ia sangat ingin diperjuangan layaknya wanita juga seorang istri. Namun, sayangnya bukan ia yang diharapkan Nara dalam hidup dan pernikahannya.

Sekarang saat ia mendapatkan kata maaf, Kahiyang bahkan tak tersentuh sama sekali. Rasa ingin memaafkan selalu ada, tapi ketika kata itu terucap. Kahiyang merasakan kesesakkan yang membuatnya tak mampu bernapas dengan benar.

Menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, Kahiyang membuka matanya dan menemukan Nara tengah menatapnya dengan raut wajah khawatir.

"Yang, kamu baik-baik saja, kan?"

"Aku nggak pernah baik-baik aja setelah hari itu, Mas."







◎○◎○◎○◎○

Surabaya, 5 Oktober 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro