13. Sumpah Demi Apa?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nirbita menyimpan sendok-garpunya di atas piring yang sudah tandas isinya, kemudian mengusap pelan bibirnya dengan tisu.

"Ah, kenyangnya." Adu Nirbita seraya mengelus perutnya yang membuncit karena terisi makanan.

Ah, papanya Agni memang jago memilih restoran. Sarang Oci memang tak pernah terbantahkan menyajikan seafood dalam balutan rasa masakan khas Manadonya.

Ia bahkan menghabiskan lima biji perkedel jagung sama seporsi sup ikan-yang ia sendiri tak tahu jenis ikan apa-dan tengiri bakar bumbu rica.

Untungnya papanya Agni men-skip menu udang, karena ia alergi dengan hewan laut tersebut. Astaga! Rasa-rasanya ia ingin nambah sup ikan itu lagi, rasa gurih kaldu ikan juga rasa asam yang berasal dari tomat benar-benar membuat lidah Bita ketagihan.

"Om boleh nambah sup ikannya lagi, nggak?" tanya Nirbita tanpa malu dengan senyum cengengesan.

"Tentu aja." Setelahnya Nara kembali memangggil pelayan resto dan memesan sup yang sama seperti yang Nirbita makan tadi.

Oh, nikmat mana lagi yang dipungkiri jika di depannya tersaji makanan seperti ini. Pikir Nirbita seraya melahap potongan besar daging ikan yang ia sendok dari mangkuknya. Fix! Menu ini telah menjadi favoritnya mulai saat ini.

Ketika mengangkat wajahnya, netra Nirbita bersitubruk dengan netra kelam milik Nara. Membuat Nirbita menghentikan kunyahannya. Tatapan kelam itu mengingatkannya pada sorot mata milik saudara kembarnya, Juna. "Sama ...," ujar Bita lirih tapi masih bisa Nara dengar.

"Ya? Eh, apa? Apanya yang sama?" tanya Nara seraya berdeham menyembunyikan kegugupannya, karena kedapatan menatap lama putrinya.

"Oh ... nggak om." Nirbita tersenyum lalu kembali mengunyah daging ikannya. "Sorot mata om ... mirip sama Juna," imbuh Nirbita tersenyum tipis, kemudian menelan makanannya.

Ah, sodara kembarnya itu. Mengingat Juna selalu membuat Nirbita tersenyum seperti orang gila. Meski terlihat dingin di luar sebenernya adiknya itu laki-laki yang hangat. Bahkan bisa lebih konyol, jika mereka bertiga bersekutu menggerjainya.

Mereka kembar berempat. Semenjak lahir hingga di usia tujuh belas tahun, mereka hidup berdampingan. Meski dialah yang menjadi saudara sulung, tapi tugas itu justru Arjuna yang mengembannya. Adik pertamanya itu, selalu memosisikan diri menjadi seorang lelaki dewasa sebagai penganti ayahnya.

Ngomong-ngomong soal ayah, Nirbita menerbitkan wajah sendunya jika mengingat pemilik DNA miliknya juga ketiga saudara kembarnya.

Ia hanya mengatahui namanya, tapi tidak dengan rupanya. Bagaimana pria itu? seperti apa pria itu? Ia dan saudaranya merasa clueless siapa sebenarnya sosok si ayah.

Melihat wajah Nirbita yang berubah sendu membuat hati Nara mencelos. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya itu.

Nara berusaha menampilkan senyumannya, bagaimana tidak mirip, karena memang Juna dan ketiga saudara kembarnya adalah darah dagingnya. Tenggorakan Nara mendadak sakit, seolah menelan duri yang tersangkut di sana. Bahkan tak ada satu pun kata yang bisa ia ucapkan, apalagi suaranya. Ia benar-benar merasa tercekik.

Melihat ragam ekspresi yang berubah-ubah dari muka Nara, tak ayal membuat remaja itu mengerutkan kening kebingungan sekaligus berpikir. Ada apa dengan papanya Agni. "Om nggak papa?" tanya Nirbita jelas menunjukkan wajah kebingungan.

"Eh, oh ... maaf! Om malah bengong sendiri." Nara berusaha menormalkan suaranya seraya menyunggingkan senyum.

Suara Nara tertelan kembali di tenggorakan, begitu mendengar dering ponsel Nirbita. Segera gadis berjaket kulit itu meraih ponselnya dari dalam saku celana, dan mengangkatnya tepat di depan Nara.

"Iya, Bun? Oh, Bita lagi makan siang. Deket aja kok. Kenapa? Balik ke rumah lagi dong? Iya deh, Bita balik. Okeh! Siap bosque!" Nirbita menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celana jinnya, dan menatap Nara sembari tersenyum.

"Bundamu?" Nirbita menganggukan kepalanya. "Kenapa?" Ada nada tak biasa terselip di sana, ketika Bita menyebutkan Bundanya.

Apa hanya pikirannya saja? Tapi tadi Bita mendengar jelas jika ada nada bahagia di sana, jangan lupakan mimik wajah papanya Agni yang tiba-tiba kembali cerah. Setelah tadi sempat mendung.

"Ehm ... Om mau anterin Bita ke rumah, nggak?" tanya Nirbita pelan. "Nanti Bita balik pake taksi ke rumah sakitnya, Om cukup anterin Bita ke rumah aja."

"Boleh. Om juga pengen tahu rumah kamu." Senyum Nirbita terbit tanpa bisa dicegah. Ah, dia bisa hemat ongkos taksi kalo begini ceritanya. Secara bunda tercintanya telah memangkas hampir 40% uang sakunya hanya karena ia ketahuan membolos. Ah, sial!

"Tentu. Ayo kalo gitu. Om mau bayar dulu ke kasir." Berdua mereka berjalan beriringan.

Di dalam mobil hanya keheningan yang tercipta, baik Nara atau Nirbita sama-sama merasa canggung. Mereka tak sedekat itu hanya untuk membangun sebuah obrolan.

Nirbita yang merasa sungkan, sedangkan Nara tenggelam bersama euforianya karena berdekatan dengan salah satu anaknya.

"Ehm ... om boleh tanya?" Nara mengeluarkan suaranya.

"Tanya aja, Om."

"Ehm ... apa Bita sama Agni dekat di sekolah?" tanya Nara dengan hati-hati.

Mendengar nama Agni di sebut, membuat Nirbita spontan mendengkus tak suka. Mengingat rival abadinya itu sontak menumbuhkan rasa sinis dan malas secara mendadak menghinggapi Bita.

Nirbita menarik nafas pelan, "Kita nggak seakrab itu, Om. Bisa dibilang kita musuhan. Bita juga nggak tau apa alesan Agni benci banget sama Bita." Nara melirik sebentar disela-sela fokusnya menyetir. "Selain itu ... Agni selalu ngehina Bita dan adik-adik Bita dengan sebutan anak haram," lirih Nirbita yang masih bisa didengar oleh Nara.

Mendengar lirihan Nirbita, membuat Nara menekan pedal remnya mendadak. Membuat kepala remaja tanggung itu membentur dashboard mobil.

"Kenapa ngerem dadakan, sih, Om?" tanya Bita mengelus keningnya.

"Maaf ... maaf, tadi ada kucing tiba-tiba nyebrang." Nara kembali memacu pelan mobilnya membela jalanan Ibukota yang untungnya siang ini tak terlalu macet, meski dibilang padat ketika makan siang menyapa.

Bagai menelan besi panas. Tenggorokan Nara kembali terasa sakit begitu ia ingin mengeluarkan pembelaan, bahwa dia dan saudaranya bukanlah anak haram seperti yang dituduhkan.

Quadruplet adalah anak yang sah di mata hukum dan agama.

Setelah itu tak ada lagi percakapan, hingga mobil SUV Nara berhenti tepat di depan rumah Nirbita.

Tak dipungkiri, Nara begitu terlihat bahagia begitu mengetahui di mana Kahiyang dan anak-anaknya tinggal. Namun, kebahagiaan itu langsung surut seketika, saat ia mengingat bahwa Kahiyang sudah menikah dengan Lintang.

Sialan!

Sirna sudah keinginannya untuk memulai semuanya dari awal. Nirbita menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, melihat Nara yang diam melamun di belakang kemudi seraya memandangi rumahnya. Ia tahu, jika tadi papanya Agni mendengar lirihannya. Itu kenapa tiba-tiba pria berpenampilan setelan kemeja itu menginjak rem tiba-tiba.

Ia jadi salah tingkah, pasti. Karena menjelek jelekkan anak di depan papanya sendiri. Siapa tahu habis ini papa Agni jadi marah padanya.

Kalo marah harusnya dari tadi, yekan?

"Masuk dulu, Om. Sebagai ucapan terima kasih udah traktir makan siang sekaligus nganterin pulang." Tak ada jawaban. Sialan! Kali ini Nirbita mati kutu. "Segelas kopi kalo Om mau," tawar Nirbita yang kali ini mengambil atensi pria itu.

Mengangguk pelan, Nara akhirnya melepas sabuk pengamannya. Diikuti oleh Nirbita yang sama-sama turun dari mobil.

Sepi.

Hal pertama yang Nara dapati begitu memasuki rumah Kahiyang. Khas istrinya sekali jika Kahiyang menyukai perabotan rumah tangga yang minimalis. Bahkan sofa ruang tamu, juga ornamen-ornamen yang tertempel di dinding mengesankan jika pemilik rumah adalah pribadi yang sederhana.

"Bita! Kamu nggak usah bikinin Om kopi. Ambil apa yang diperintahkan oleh kahi ... eh, bundamu. Setelah itu Om antar lagi ke rumah sakit." Hampir saja ia keceplosan memanggil nama Kahiyang. Nirbita hanya mengangguk, dan segera berbelok arah menuju lantai atas.

Nara menyusuri tiap jengkal isi ruang tamu minimalis itu, hingga tatapan Nara tertumbuk pada jejeran pigura foto yang tertata apik di dinding.


Hampir semua isi pigura itu adalah foto si kembar, tak jarang mereka berfoto bersama Kahiyang juga Lintang. Apalagi melihat potret di mana Lintang tengah mengendong salah satu diantara si kembar ketika mereka bayi, juga Kahiyang dan Lintang sama-sama mengendong bayi si kembar masing-masing di kedua tangannya.

Ya Tuhan. Ia benar-benar iri.

Ia tak ada di sana saat momen itu terjadi. Seharusnya dia lah yang berada di posisi Lintang, mengendong dan membuai anak-anaknya. Ia bahkan melewatkan tumbuh kembang mereka.

Tak ingin lebih sakit hati lagi, Nara kembali menelusuri bingkai-bingkai foto selanjutnya.

Nara tersenyum melihat potret mereka berempat yang dirangkai menjadi satu frame. Kemudian ia kembali menemukan foto Quadruplet saat masih balita, tentu dengan senyum menggembang di wajah masing-masing, membuat Nara tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya.

"Anak-anakku," lirih Nara dengan suara yang bergetar. Ia meraih sebuah frame foto yang berisi empat bayi yang sedang mandi di dalam bathup seraya menggosok gigi.

Nara tertawa miris, mendapati semua foto yang berisi tumbuh kembang darah dagingnya. Diambilnya foto tersebut dan mengusapnya perlahan dengan tangan yang bergetar. Matanya lansung berkabut dengan dada yang bergemuruh hebat. Tak kuasa lagi ia membendung air matanya yang sudah menganak sungai.

"Anak-anak Ayah," lirih Nara mendekap erat pigura tersebut, bersamaan dengan jebolnya air mata Nara. Membekap mulutnya rapat-rapat ia tak mau Nirbita mendengar tangisannya.

"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah," gumam Nara pilu, masih mendekap foto tersebut.

Melihat foto masa kecil darah dagingnya, yang pertumbuhannya saja tak pernah ia saksikan. Membuat Nafas Nara kian sesak. Berkali-kali ia menggumamkan kalimat yang sama dalam hatinya, "Maaf, Nak ... Maafkan Ayah," ujar Nara pilu sambil memeluk foto yang usang itu.

Nirbita terpaku di tempatnya. Ia tidak salah dengar, kan? Kenapa Papa Agni menangis sambil mengucap kata maaf pada fotonya dan saudara-saudaranya?

Ini ....

Nggak mungkin, kan? Kalo gue sama Agni sodaraan?

○●○●○●○●

Makasih udah mau baca, ditungguin pula. 😀😀

Surabaya, 15 Oktober 2022
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro