14 : Rasanya?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku bantuin ya, Bun," ucap Nirbita mengambil alih piring yang sudah diberi sabun cuci dan membilasnya perlahan dengan air yang mengalir dari keran.

Sejenak mereka berdua hanya diam tanpa obrolan dengan melalukan ritme kerja yang sudah tercipta. Kahiyang yang menyabuni, Nirbita yang membilasnya.

"Kamu kenapa, Mbak?" Akhirnya Kahiyang bersuara. Memecah keheningan di antara ia dan putrinya.

Nirbita menghentikan aktivitasnya sejenak, kemudian kembali melanjutkan membilas piring dan menaruhnya di rak piring kecil yang tepat berada di sampingnya.

Ya, Kahiyang merasakan perbedaan pada diri Nirbita. Anak gadisnya itu agak pendiam sekarang, dan ia tak tahu apa yang menyebabkan kediaman Nirbita.

Beberapa hari ini pun, Kahiyang juga tak nampak raut ceria dari putrinya tersebut. Nirbita yang biasa heboh ketika hari baru menyapa, bahkan tak segan-segan mengerjai adik-adiknya saat sarapan dengan menambahkan cabe atau garam pada nasi goreng milik Raka pun yang lainnya.

Sudah semingguan ini Kahiyang melihat Nirbita hanya mengaduk-aduk sarapannya.

"Bun ...."

"Hem," sahut Kahiyang yang ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan cuci piringnya.

Melap tangannya yang basah, Kahiyang menghadap ke arah putrinya yang justru melamun menatap aliran air yang keluar dari keran bak cuci piring. Melihat itu, Kahiyang mematikannya. Sebagai ibu ia tahu ada yang salah dengan putrinya ini.

"Ke belakang duluan, Mbak. Bunda mau bikin teh. Haus."

Kahiyang membawa dua mug berisi cokelat panas dengan topping marshmallow yang hampir meleleh, ke teras belakang rumah. Menemukan putrinya tengah duduk di atas ayunan, wanita paruh baya tersebut menyodorkannya pada sang putri. Kahiyang menggurungkan niatnya membuat teh. Sepertinya cokelat hangat lebih cocol untuk suasana hati sang putri.

"Diminum, Mbak. Cokelat bisa balikin mood kamu." Seraya mendudukan diri di ayunan satunya.

Di teras belakang ada pohon trembesi yang cukup rindang dengan dahan yang kuat, para lelaki di rumah ini membuat tiga ayunan. Dua yang bersebelahan dan satu lagi mencelat di seberang pohon yang memiliki dahan yang kuat.

Ada tiga wanita di rumah ini. Lintang dan ketiga anak lelakinya sengaja membuatkannya agar ketiga wanita itu bisa memainkannya bersamaan, seringnya Kahiyang duduk di ayunan seberang.

"Kamu kenapa, Mbak? Nggak biasanya pendiam gini?" tanya Kahiyang usai menyeruput cokelat hangat miliknya.

Sedangkan Nirbita ia hanya memainkan pinggiran mug yang tertumpu di pahanya. "Bun ... Papa Agni itu ... Ayah Bita, kan?"

Kahiyang hampir tersedak minumanannya sendiri mendengar penuturan putrinya. "Mbak ...."

"Seminggu yang lalu ... Bita gak sengaja ketemu sama Om Nara. Awalnya aku pikir hanya basa-basi karena anaknya satu sekolah, dan makan siang bareng. Lalu Om Nara nganterin Bita ke rumah, karena Bunda nyuruh ambil barang. Disitu ... Bita liat Om Nara nangis. Meski tanpa suara, Bita tau kalo Om Nara nangis sambil meluk foto kita berempat."

Tengorokan Kahiyang seperti tersiram lahar panas, begitu menyakitkan hingga tak mampu mengeluarkan suaranya. Sungguh penuturan putrinya karena bertemu dengan Nara membuat Kahiyang tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Ya Tuhan!

Tak ada dalam pikiran Kahiyang jika Nirbita dan Nara akan bertemu, walau tanpa direncana sekaligus. Nyatanya takdir selalu punya cara tersendiri untuk mempertemukan pemilik DNA anak-anaknya dengan sang darah daging.

Dua perempuan beda generasi itu hanya bisa diam, larut dalam lamunannya masing-masing.

Nirbita sendiri, berusaha mengulang memori seminggu kemarin saat ia menemukan Papa Agni tengah menangis dengan memeluk pigura berisi potret dirinya dengan ketiga saudaranya.

"Narayan Abdi Mahesa," panggil Nirbita pelan. Sedangkan pemilik nama langsung menolehkan kepala begitu mendengar namanya dipanggil.

Lelaki itu sendiri terlonjak kaget dengan wajah memucat. Ia tak menduga jika Nirbita sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan yang sukar ia mengerti.

"Nir-bita ...."

Bukannya menjawab, Nirbita hanya diam membisu tanpa memutus pandangannya dalam memindai keseluruhan wajah pria berusia hampir setengah abad ini.

Rahang yang masih terlihat tegas dengan bulu-bulu halus menyertainya. Alis tebal yang sedikit berantakan, membingkai pas wajah pria yang Bita ketahui adalah Papa dari musuh bebuyutannya di sekolah.

Jangan lupakan guratan halus di sekitar mata, menandakan bahwa usia tua telah mengerogotinya. Hanya saja tersamarkan dengan kaca mata yang mengantung pas di hidungnya.

Ah, Bita baru menyadari jika tatapan mata pria itu sangat mirip dengan milik Arjuna. Satu hal yang baru Bita ketahui ... jika cetakan wajah Arjuna begitu mirip dengan sang ayah. Padahal dia dan kedua adiknya lebih cenderung memiliki wajah sang Bunda yang kalem dan anggun.

Merasa diperhatikan Nara menghapus sisa-sisa airmatanya, dan mengembalikan pigura tersebut ketempatnya. Sungguh ia belum siap jika Nirbita mengetahui kebenaran akan siapa dirinya. Lebih-lebih jika putrinya tahu alasan dibalik ia meninggalkan Kahiyang dalam keadaan hamil.

"Nirbita ... Ayah ...."

"Aku udah selesai, Om." Potong Bita begitu saja dan berjalan mendahului Nara yang masih berdiri kaku di tempatnya.

Ada rasa sakit yang menohok dadanya. Saking terlampau nyeri, membuat napas Nara tersengal menyakitkan. Secara tak langsung Nirbita menolak kehadirannya dengan memanggil Om dan bukannya Ayah membuat Nara tersentak dalam angan-angan muluknya.

Sedangkan Nirbita sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa. Ia sungguh tak percaya jika Papa Agni adalah papa kandungnya. Lebih tepatnya adalah Bita menolak percaya hal itu.

Ia bahagia, sungguh. Karena pada akhirnya ia bertemu dengan ayah kandungannya. Hanya saja ... ia tak pernah menduga hal ini akan terjadi padanya.

Akan lebih baik ia bersikap tak tahu apa-apa, dan menganggap kejadian hari itu tak pernah terjadi. Sayangnya ... keinginannya tak pernah terwujud. Begitu Nara memberhentikan mobilnya tepat di depan lobi rumah sakit, pria itu menarik tubuh Nirbita dan memeluknya dengan erat.

Tentu saja hal itu membuat tubuh Nirbita kaku dalam pelukan Nara, tapi setelah itu justru gadis berusia enam belas tahun tersebut begitu menikmati kedua lengan besar Nara melingkupi tubuhnya yang kecil.

Getaran kecil begitu terasa dipundak Nirbita, saat ia tahu jika lelaki yang berstatus sebagai ayah kandungnya ini tengah menangis sesengukan di lekukan leher Nirbita. Lagi-lagi ia hanya bisa berdiam diri.

"Maafin Ayah, Bita. Maafin, Ayah. Ayah udah jahat sama kalian." Sepanjang pria itu menangis, hanya kata maaf yang dominan dia gumamkan.

Ya, ia tahu sejahat apa dulu ayahnya hingga Bundanya lebih memilih pergi tanpa mau menoleh lagi. Kemudian kenyataan jika ayahnya mempunyai keluarga lain, berhasil menyentak Nirbita ke dalam dunia nyata. Jika ia harus berbagi pria ini dengan anak ayahnya yang lain.

"Bita harus pergi ... Om." Sungguh lidah Nirbita terasa kelu saat akan mengucapkan kata ayah.

Nirbita mengurai pelukan Nara, dan menatapnya dengan sorot mata yang sendu. Demi Tuhan! Bita ingin memiliki Nara seorang untuk menjadi ayahnya, dan menjadi putri satu-satunya untuk Nara.

Ia tak ingin berbagi ayah dengan Agni, dan Bita begitu membenci kenyataan itu. Jika ia bukanlah satu-satunya putri Nara. Dengan senyum yang dipaksakan, Nirbita keluar dari mobil Nara. Memasuki lobi rumah sakit dengan terburu-buru, hingga ia tiba di belokan pertama Nirbita menghentikan langkah cepatnya.

Tubuhnya bergetar hebat, tak mampu lagi menahan gejolak yang menyesakkan di dada. Nirbita hanya bisa terduduk, menenggelamkan wajahnya di lipatan lututnya dan menangis hebat.

Gadis itu tak lagi bisa mendeskripsikan bagaimana keadaan hatinya. Semuanya camput aduk menjadi satu; kebencian, kerinduan, juga amarah. Perasaan itu sungguh membuat dada Nirbita sesak. Ia benci perasaan ini. Ia tak menyukainya. Ia tak mau merasakannya kalau tahu ini begitu menyakitkan.

"Ayah ... Bita pengen Ayah. Bita kangen Ayah," lirih Nirbita disela-sela tangisannya.

"Mbak ...." panggilan Kahiyang membawa kembali jiwa Nirbita yang melayang pada kejadian seminggu lalu.

"Bita nggak tau, Bun." Nirbita hanya bisa menundukan kepalanya, menatap kedua kakiknya yang melayang di udara lebih menenangkan daripada melihat reaksi Bundanya.

Hingga sebuah remasan terasa ditangannya, barulah Nirbita mampu mengangkat kepalanya. Menatap terkesiap ke arah sang Bunda yang justru menyunggingkan senyuman hangat khas kahiyang.

"Bun ...."

"Kamu udah gede, Mbak. Bunda juga nggak pernah ngajarin kamu dan adik-adikmu buat benci sama Ayah Nara. Kami memang nggak bisa sama-sama lagi seperti keluarga lengkap lainnya, tapi kami masih bisa menjadi orang tua kalian. Cuma memang jalannya aja yang beda. Terlepas dari masalah yang akhirnya membuat kami berpisah. Dia tetap ayah kalian.

Tanpa ayah, kamu dan adik-adik lainnya nggak pernah ada. Mungkin ada mantan suami, tapi nggak pernah ada mantan anak. Kalian tetep anak kandung Ayah. Mau menyangkal seperti apa pun itu, darah yang mengalir ditubuh kalian sama dengan yang dimiliki Ayah Nara."

Andai saja dulu ia mampu bertahan sedikit lebih lama, mungkin ia tak perlu melihat putri semata wayangnya ini menangis diam-diam hanya karena tak mempunyai figur Ayah dalam kehidupan mereka. Mungkin saja mereka berempat akan tumbuh dengan kasih sayang orang tua yang lengkap.

Kahiyang bahkan rela menjungkirkan langit, hanya agar melihat buah hatinya bahagia.





🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵

Surabaya, 18 Oktober 2022

-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro