15 : Akhirnya Bertemu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita berusia senja itu berkali-kali meremat tangannya sendiri, saking gugupnya. Intan juga sesekali menyesap lemon tea pesanannya, tak peduli jika Nara mengingatkan padahal mereka baru setengah jam berada di restoran.

"Ma, jangan gini." Nara mengenggam tangan Intan yag sedikit berkeringat.

"Mama gugup, Nar."

Aku lebih gugup lagi, Ma. Gimana reaksi mereka kalo tau aku ayah kandungnya.

"Maaf, telat!" Nara mengangkat kepalanya spontan, begitu mendengar suara lembut milik Kahiyang. Nara dibuat terkesima dengan dadanan Wanita yang sudah berumur tiga puluh enam tahun ini.

Kahiyang hanya menggunakan kemeja putih sepaha, dengan lengan yang disingsingakan hingga ke siku, dan dipadu dengan celana jin berwarna biru dongker. Semakin membuat kesan fresh dan terlihat lebih muda.

Kenapa ia baru menyadari jika istrinya ini semakin terlihat cantik, seiring bertambahnya usia.

Nara berdeham pelan untuk menghilangkan kegugupan yang tiba-tiba naik menjadi dua kali lipat daripada yang tadi. Ia tak bisa memungkiri jika bersitatap dengan Kahiyang membuat darahnya mendesir hebat. Belum lagi detak jantungnya yang menggila, hanya karena melihat wanita dengan rambut sebahu itu tersenyum begitu manis.

Delapan belas tahun ia lewatkan, tanpa sedikitpun mengetahui bagaimana keadaan wanita yang masih berstatus istrinya ini. Dia bertumbuh menjadi sosok yang sempurna di matanya.

Ia tahu penyesalan saja tak akan pernah cukup, jika hanya untuk menebus semua kesalahan karena sudah menelantarakan istri dan anaknya. Apa pun akan ia lakukan asal keempat anak kembarnya, juga Kahiyang mau memaafkan kebodohannya di masa lalu.

Iya, hanya memaafkan.

Jika boleh ia ingin menarik kembali Kahiyang beserta anak-anaknya dalam hidupnya lagi, tapi saat ia mengingat kesalahan fatal tersebut. Angan-angannya mengabur menjadi debu. Ia tak berani berharap lebih.

 Sungguh ia begitu menyesali semuanya, pria berkemeja dongker itu bahkan menarik gugatan cerai dan menyobeknya malam itu juga. Ketika ia mengetahui jika Kahiyang pergi menghilang.

Bukan ia tak mau mencari keberadaan istrinya. Sungguh ... ia sudah berusaha sekuat tenaga. Nara kehilangan jejak Kahiyang begitu saja, tanpa bisa ditelusuri. Belum lagi keterbatasan waktu dan keuangannya yang saat itu hanyalah seorang pegawai biasa.

Bukan ia tak mau meminta bantuan orang tuanya, tapi Nara sadar diri jika ialah yang harus ekstra kerja keras dalam menemukan istri dan anak yang masih dalam kandungan tersebut.

Dua tahun pertama sama sekali tak membuahkan hasil, ia bahkan sudah sering kali keluar kota hanya sekedar mencari keberadaan Kahiyang. Tentu dengan cara manual. Dirinya bukan orang kaya dengan kekayaan yang tak kan pernah habis, setiap sebulan sekali Nara akan mengambil cuti dan pergi ke kota lain guna mencari Kahiyang. Menanyakan pada setiap orang yang ia lewati dengan menunjukan foto Kahiyang muda.

Sampai lima tahun berlalu, Nara merasakan putus asa. Sekecil apa pun info semua berujung kebuntuan. Ia tak bisa menemukan Kahiyang.

Bertekad kuat, Nara kembali menata hidupnya. Mengambil alih usaha yang sudah ia rintis bersama para teman-teman masa kuliahnya, hingga Nara bisa mengembangkan bidang usaha yang awalnya hanya sebuah biro arsitek kecil hingga sebesar sekarang.

Kesuksesan telah di raih, tapi ada kekosongan di hidup Nara yang tak bisa ditutup-tutupi. Nara merindukan kehadiran istrinya, yang telah ia dorong pergi dengan tangannya sendiri.

"Bun,"

Suara itu mengaburkan bayangan masa lalu Nara, hingga membuat pria berumur empat puluh lebih itu mendongak dan menatap empat remaja yang masih menggunakan seragam sekolah.

Jantung Nara sontak berdetak kencang, tanpa bisa dikondisikan. Seolah-olah ingin melompat dari rongga dadanya. Pria yang berusia hampir setengah abad itu menegakkan punggungnya begitu matanya menatap satu persatu remaja tersebut.

Anak-anaknya.

Delapan belas tahun.

Ia melewatkan semuanya.

"Kalian ... apa kabar?" Anak-anakku Nara hanya bisa menambahkannya dalam hati. Bibir Nara kelu hingga tak mampu mengucapkan satu kata pun. Memaksakan suara yang tertahan di tengorokan demi mendapatkan jawaban apa pun.

Tatapan Kahiyang terlihat datar, kala pandangan mereka saling bertubrukan. Ia sama sekali tak mengerti apa yang sedang wanita itu pikirkan. Berharap saja bukan skenario terburuk yang ia bayangkan. Walaupun demikian, kahiyang tetaplah kahiyang. Dia pasti bisa menjaga tingkah lakunya.

Intan tengah menarik lengan kemeja Nara, meminta perhatian putra sulungnya agar ia mengerti akan situasi yang tiba-tiba menegang dan canggung.

"Nara ... mereka ... astagfirullah..." Intan berdiri dan merenggut mereka satu per satu dalam pelukannya. Air mata bahagia tampak berlinang di ujung matanya.

Sama halnya dengan Kahiyang. Dia berusaha menahan segala emosi yang sedari tadi ia tahan agar pertahanannya tak jebol.

.

.

.

Intan tak pernah sebahagia ini setelah delapan belas tahun dilalui. Selama itu pula ia hanya bisa diam-diam meratapi dan menangisi kepergian Kahiyang, menantunya.

Wanita paruh baya itu sungguh tak menduga sebelumnya, kalau akan mendapatkan empat cucu kembar sekaligus. Jadi Intan berinisiatif untuk memperkenalkan Quardtuplet ke khalayak umum sebagai cucu sah Abdi Mahesa.

Keputusan Intan bertepatan dengan dengan pesta ulang tahun pernikahannya yang kelima puluh tahun. Ia sengaja tak memberitahukan alasan, kenapa ia mengundang Kahiyang dan keempat cucunya. Karena ingin memberi pesta kejutan untuk mereka.

Rumah sudah disulap sedemikian rupa, taman belakang sudah beralih fungsi menjadi tempat acara outdoor yang nyaman bagi siapa saja.

Intan hanya mengundang beberapa teman dekat dan kolega mereka saja, tak terkecuali mengundang Gladys dan putrinya.

Jika menuruti ego, Ia masih sangatlah marah dan kecewa dengan apa yang sudah putranya dan Gladis lakukan. Akan tetapi sebagai seorang ibu, ia tak bisa tak menghiraukan Gladis yang notabene adalah anak dari sahabat karibnya.

Orang tua Gladis meninggal saat gadis itu berusia sepuluh tahun, menjadikan dirinya seorang yatim piatu. Hal itulah yang menggedor nurani Intan untuk menampung Gladis yang pada akhirnya berteman baik dengan Nara.

Baik Kahiyang pun Gladis, memiliki kedudukan berbeda dalam keluarga Abdi Mahesa. Jika Kahiyang adalah menantu kesayangannya. Sedangkan Gladis dan Nara adalah putra-putrinya. Bukan seperti itu yang Intan bayangkan, hingga gadis yang ia besarkan layaknya putri sendiri justru penghancur rumah tangga sang putra.

"Mama ...." sebuah suara feminim membuyarkan lamunan Intan. Ada Gladis yang sudah berada di sampingnya.

"Kapan kamu datang?" tanya Intan dengan suara yang ia buat sedatar mungkin.

"Baru saja, Ma. Ngomong-ngomong selamat ulang tahun pernikahan yang lima puluh." Gladis menyerahkan sebuah bingkisan kecil yang berhiaskan pita besar menyelimuti kotak tersebut.

"Ehm ... makasih." Intan sedikit memaksakan senyum di hari bahagianya ini.

"Jeung Intan!" Seruan namanya menginterupsi percakapan antara Gladis dan Intan yang terlihat jelas sangat canggung itu.

Gladis hanya bisa tersenyum kecut, mendapati sikap Intan yang masih bersikap datar padanya. Ia tahu kesalahannya dulu mengoreskan luka yang sama besar dengan milik Kahiyang. Ialah penyebab luka hati seorang ibu yang merasa dikecewakan dengan sikap pengecutnya dulu.

Andai ia bisa kembali mengubah waktu.





☘🌷☘🌷☘🌷☘🌷☘🌷☘

Surabaya, 21 Oktober 2022
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro