16-a : Kenyataan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ma, kok tumben ya, tamunya banyak banget? Bukannya cuma pesta ulang tahun pernikahan aja, ya?" Agni tak bisa mencegah pertanyaan itu sedari tadi. "Nggak kayak tahun-tahun kemarin."

"Ya ... acara ulang tahun seperti tahun-tahun lalu juga, Ni."

"Tapi ini rame banget loh, Ma."

Banyaknya tamu yang berdatangan membuat Agni sedikit keheranan. Jelas acara tahun ini lebih meriah dibanding tahun lalu yang hanya mengundang saudara terdekat atau anak yatim untuk sekedar syukuran. Kali ini benar-benar bebeda.  Memang ada beberapa yang Agni kenal sebagai saudara oma-opanya, sisanya ia hanya bisa menduga jika mereka adalah kolega sang Opa.

"Kamu tau sendiri, kalau Mama nggak sedekat itu dengan omamu," jawab Gladis seraya menyesap minumannya. 

Acara memang sudah dimulai sedari tadi, bukan acara formal sebetulnya. Hanya sekedar syukuran atas kelangsungan pernikahan mereka dengan potong tumpeng, yang berbeda adalah banyaknya tamu yang hadir selain anak panti asuhan dan yatim piatu.

Agni menghempaskan tubuhnya ke punggung kursi. Ia sedikit bosan dengan acara tahunan ini. berandai-andai jika saja ada Satya di sini, mungkin tak akan terasa membosankan. Apalagi dengan sikap dingin yang terang-terangan ditunjukan sang Opa sedikit banyak membuat Agni tak nyaman, meski Oma Intan berlaku ramah, hanya saja Agni merasakan benteng tak kasat mata yang membatasi interaksi antara mereka.

Semenjak kecil, ia memang jarang sekali diajak ke rumah sang Nenak, baik oleh Gladis ataupun Nara. Jika pun ia tengah mengunjungi rumah besar, itu hanya bersama Nara yang ke sana. Mamanya hampir tak pernah mau ikut, kalau bukan untuk acara keluarga saja. Oma Intan memang terkesan ramah atas kedatangannya jika sesekali main, tapi omanya tak pernah mau berlama-lama berdekatan dengannya. Oma Intan akan lebih memilih untuk menyibukan diri, daripada menemaninya bermain.

 Omah Intan memang menyambutnya, tapi hanya sekedar itu saja. Tak ada pelukan hangat ataupun ciuman sayang seperti Nenek Satya, sahabatnya.

Satya selalu bercerita jika ia berkunjung ke rumah neneknya, dia selalu diperlakukan seperti raja. Apa saja akan dilakukan neneknya agar Satya senang dan betah tinggal di rumah, perlakuan Oma Intan berbanding terbalik dengan nenek sahabatnya itu. Walau tak ada perkataan yang menusuk hati, tetap saja Agni merasakan perbedaan itu.

Agni mengadu kesakitan kala tanpa sengaja kakinya terinjak oleh salah satu karyawan katering, yang membuat lamunannya buyar.

"Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja." Gadis itu membungkuk beberapa kali, guna meminta maaf terhadap Agni yang sudah menatap nyalang ke arahnya.

"Kalo jalan mata dipake! Jangan meleng. Kaki gue sakit bego!" umpat Agni tak terima jika akibat keteledoran karyawan tersebut. Ia terlampau kaget hingga tanpa sengaja minumannya tumpah dan membasahi gaun koktail merah muda yang ia pakai. "Dasar sialan!"

"Agni cukup!" Peringat Gladis mendengar umpatan anak gadisnya.

"Bete tau, Ma. Liat, nih, baju aku jadi basah, kan. Gara-gara karyawan nggak guna ini." Kali ini ucapan Agni menarik perhatian para tamu lainnya.

Sedangkan si karyawan hanya bisa menunduk. Gadis dengan seragam hitam putih terlihat ketakutan juga malu, karena dipermalukan di depan umum. Belum lagi umpatan yang ditujukan Agni kepadanya.

Tanpa aba Agni mengambil gelas berisikan air di atas nampan yang dibawa si pelayan. Sesaat ia akan menyiram ke arah pelayan wanita itu, tapi merasakan kalau tangannya dicekal. Betapa kagetnya Agni mendapati Nirbita pelakunya. 

"Lo!" geram Agni seraya menatap Nirbita dan bergantian dengan ketiga pemuda kembar yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Bisa nggak, sih, lo lebih sopan sama orang lain? Dia kan udah minta maaf. Nggak usah diperpanjang lagi."

"Ngapain lo di sini? Lo tuh orang asing. Nggak ada yang ngundang lo ke sini."

Ingin rasanya Bita tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Agni. Siapa sebenarnya orang asing di sini?

"Agni! Sudah!" Kali ini Gladis tak bisa membiarkan Agni berkelakuan bar-bar seperti ini.

"Tapi ... Ma. Anak haram ini bikin mataku sakit. Lagian dia itu—"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat bebas di pipi Agni. Ia yang tak siap menerima tamparan itu, sedikit terhuyung kebelakang. Saat ingin mengamuk, tapi begitu melihat wajah memerah Intan ia mengurungkan niatnya. Nyalinya mendadak menciut. Ia menyadari kalau mulutnya sudah membawa masalah kali ini.

"Berani kamu ngatain cucu saya! Siapa di sini yang berstatus anak haram? Kamu!"

"Ma, cukup!" Kali ini Nara tak bisa tinggal diam. Ini aib keluarganya. Ia tak mungkin membongkar aib keluarga di tengah-tengah pesta seperti ini.

"Diam kamu, Nara!" Bentakan Intan membuat semua orang menatap penuh tanda tanya kepada pemilik acara.

"Mama nggak terima cucu Mama dikatain anak haram. Mereka hadir di tengah-tengah pernikahan orang tuanya. Mereka anak yang sah di mata hukum dan agama."

"Ma, stop!" Kahiyang tak bisa membiarkan semuanya seperti ini. "Mereka cucu-cucu Mama. Nggak ada yang bisa menyangkalnya. Ini lagi banyak tamu, Ma. Jangan begini." Bela Kahiyang dengan tatapan memohon pada Intan.

Intan terang-terangan menghunuskan tatapan murka dan kebencian yang menjadi satu. Sedari awal ia bisa menahan semua gejolak tak mengenakan jika harus berdekatan dengan Agni. Ia selalu menyugesti dirinya, jika Agni bukanlah orang yang patut dipersalahkan. Seorang anak tak bisa memilih siapa orang tuanya, juga bagaimana ia ada dan dilahirkan.

Akan tetapi melihat tingkah Agni yang dengan seenaknya mengatai Nirbita sebagai anak haram, membuat nalurinya sebagai seorang nenek tak terelakan. Ia tahu perkataannya akan melukai Agni, tapi Intan lebih peduli akan perasaan cucunya.

Sedangkan Agni. Jangan tanya bagaimana piasnya wajah gadis yang seumuran dengan Nirbita.  Karena Intan sudah muak dengan semua kelakuan Agni yang menurutnya sudah sangat keterlaluan.

Kahiyang sedikit menyeret Intan agar menjauhi Agni, juga memberi kode melalui tatapan matanya kepada si kembar akan mengikuti dirinya.

"Masuk ke kamar, Agni." Titah Nara tanpa bisa dibantah.

Gladis tak pernah menyangka jika putrinya akan berkata sekasar itu, juga dengan sikap Intan yang terang-terangan mengibarkan bendera kebencian.

Ia tahu putrinya itu tengah menahan isakan, karena dipermalukan oleh orang dianggap sebagai omanya sendiri sekaligus merasa ketakutan. Baru kali ini ia melihat Oma Intan semurka itu padanya.

Agni menelungkup dan menimbun kepalanya dengan bantal, berharap jika tangisannya tidak terdengar. Ia benar-benar merasa sakit hati. Pantas saja tidak ada nama Abdi Mahesa yang tertera di belakang namanya. 

Ia tidak pernah tahu kenapa omanya membentangkan tembok tinggi padanya. Intan tak terlihat membencinya, tapi juga tak terlihat begitu menyukainya. Hari hal abu-abu yang Agni rasakan akhirnya terkuak.

Gladis tak bisa menyembunyikan kesedihannya atas perlakuan Intan terhadap dirinya juga Agni, hanya saja. Ah ... sudahlah. Ini mungkin karma baginya karena telah merusak rumah tangga Nara dan Kahiyang.

Sedangkan di bawah sana, Intan dengan berbangga hati mengumumkan kehadiran mereka berempat sebagai cucu dari keluarga Abdi Mahesa.

Sekaligus usaha Intan guna mendekatkan Kahiyang dan Nara, agar kembali rujuk. Meski ia tahu mungkin usahanya kecil kemungkinan akan berhasil, tapi Intan optimis jika keluarganya bisa kembali seperti semula.

______________ 

Surabaya, 4 November 2022

-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro