18 : Tak Lagi sama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup Agni berubah.

Begitu ia mengetahui siapa jati dirinya, membuat gadis itu menjadi pendiam. Agni lebih memilih menghindari Nara juga Gladis. Jujur saja ia kecewa dengan kenyataan yang terpampang jelas di depannya.

Pantas saja ia merasa heran dengan keduanya. Mereka suami istri tapi kenapa tidur di kamar terpisah? sepenglihatan Agni, hubungan orangtuanya baik-baik saja. Ah ... apa masih pantas ia memanggil Nara ayah? Sedangkan ia bukanlah anak kandung dari pria itu.

"Lo kenapa, sih? Sejak dari rumah Nenek lo kapan hari, jadi lebih diem aja?" Pertanyaan Satya membuat Agni akhirnya merespon.

"Nggak apa-apa." Tak mungkin juga ia menceritakan yang sesungguhnya.

Selama ini ia selalu mengatai Nirbita dan ketiga saudara kembarnya, tapi nyatanya ia sendirilah yang anak haram. Bahkan ia tak tahu siapa ayahnya.

Lalu siapa sekarang yang bernasib mengenaskan?

"Mau ngemall, nggak?" Agni menggeleng. "Gue mau nonton. Kali aja lo mau ikut." Lanjut Satya yang mengamati wajah tak semangat sahabatnya.

"Lo aja. Gue lagi males ngapa-ngapain." Selain meratapi nasib.

"Ya udah. Gue cabut dulu. Ntar Gery sama Dean ngamuk."

Agni menghela napas panjangnya, sedikit lega karena sahabatnya itu tak lagi mendesak apa yang terjadi di akhir pekan kemarin. Memilih berjalan kaki menuju halte bis, Agni memainkan kerikil yang beberapa kali ia injak dengan menendang-nendang kecil.

Ia selalu terbiasa menceritakan apa saja pada Satya, tak terkecuali bagaimana sikap dan perlakuan neneknya. Mau ditaruh di mana mukanya, kalo sampai Satya tahu kenyataan itu.

Ia tak sanggup kalo harus kehilangan sahabatnya, begitu tahu siapa dirinya. Sekarang yang ia punya hanya Satya. Mamanya pun tak bisa diharapkan, apalagi papanya. Lagian pria itu juga bukan papa kandungnya.

Mengetahui jika karena dirinyalah Nara meninggalkan si kembar empat dan ibunya, membuat sisi lainnya berontak. Haruskah ia bangga atau justru terlihat menyedihkan?

Kenapa harus orang lain yang mengakui dirinya, bukan ayah kandungnya? Setidak berharganya, kah, dia?

Ingin rasanya Agni menjerit, agar rasa sesak di dadanya menghilang. Menangis pun percuma, tapi nyatanya kesedihan seolah menari-nari di pelupuk mata.

Menendang dengan sepenuh hati kerikil yang tepat di depan kakinya, Agni langsung berjongkok menumpahkan airmatanya.

Gelombang kesedihan itu kembali mendera dirinya. Tangisannya pecah, tak bisa lagi ia membendung rasa sesak yang mengelayuti hati. Tumpah ruah, tanpa bisa dikendalikan.

"Kenapa nangis?"

Suara berat menerobos gendang telinganya, mengangkat kepalanya Agni justru melihat sepasang sepatu pantofel coklat yang mengkilat. Gadis berseragam abu-abu itu mendapati seorang pria berpenampilan parlente tengah memandanginya.

Pria yang Agni tafsir hampir seumuran Papa Nara kini malah berjongkok tepat di depannya, dan menyodorkan sapu tangannya.

Sedangkan Agni hanya bisa tertegun, yang ia lakukan justru mengamati lekuk wajah sang pria tersebut. Kerutan di wajah dan sekitar matanya memang terlihat samar, tapi tak bisa menyembunyikan jika umur sudah mengerogotinya perlahan.

"Jangan nangis di pinggir jalan, nanti kalo ada yang nyulik gimana?" Celutukan pria itu justru membuat Agni tersenyum kecut. Anehnya lelaki parlente itu justru terkekeh geli, kemudian menghapus jejak airmata yang tersisa di pipi Agni. Membuat gadis itu lagi-lagi tertegun.

Kapan terakhir kali papanya melakukan hal seperti dilakukan pria ini?

Kapan terakhir kali ia menangis?

Entah.

Agni pun lupa, atau bahkan ia tak pernah benar-benar merasakan kasih sayang seperti yang ditunjukan pria di depannya ini. Sesederhana menghapus air matanya misalnya.

Jika dirunut lebih teliti lagi, justru hidupnya terasa miris. Meski ia memilik figur lengkap orang tua, justru kasih sayang orang tualah yang tak pernah dirasainya bahkan dimilikinya secara utuh. Karena Nara tak benar-benar menunjukan rasa itu pada dirinya.

"Udah gede, jangan nangis lagi! Om ndak tau seberapa berat masalahmu. Semua orang pernah punya masalah, hanya saja ndak pernah mereka perlihatkan. Jadilah anak gadis yang kuat."

Hati Agni mendadak mendung kembali, mendapati tangan besar itu mendarat di atas kepalanya. Menepuknya pelan, lalu membelai lembut rambutnya lembut.

"Ayah," lirih Agni yang tak bisa membendung tangisannya lagi.

"Ssst! Kok, malah nangis lagi." Agni semakin terisak dalam tangisannya.

"Maaf, Pak Lintang. Saya terlambat datangnya." Tiba-tiba saja seseorang berseragam safari datang dan menghampiri Agni dan pria yang bernama Lintang tersebut.

"Nah, gadis cantik! Jangan nangis lagi, ya. Ntar ndak cantik lagi." Kembali tangan besar itu membelai rambut Agni yang setengah lepek gegara keringat dan sinar matahari. Namun, sukses membuat hati Agni berdesir hebat.

Agni merasakan kehangatan yang tadi menyelimutinya pergi begitu saja, saat lelaki tersebut beranjak dari duduk jongkoknya dan menghampiri pria berpakaian safari tadi.

Entah kenapa memandang punggung lebar itu menjauh memasuki mobil lainnya, membuat dada Agni semakin terasa sesak sekaligus merasa kehilangan.

Andai saja pria itu ayah kandungnya. Mungkin ... ia akan bahagia.

******************

Kegugupan kembali menerjang Nara tanpa ampun. Berada di samping gerbang sekolahan si kembar membuat jantung Nara berdetak tak keruan. Karena untuk pertama kalinya ia mendatangi mereka setelah identitasnya diketahui.

Jika saja keadaan tak sekacau saat ini, mungkin Nara akan menjadi ayah yang sangat bahagia juga bangga sekaligus. Mempunyai empat orang anak yang berusia remaja tak pernah terpikiran sebelumnya. Ia pikir dirinya akan menjadi ayah dengan satu anak, tapi ternyata Tuhan berbaik hati memberinya empat orang.

Nara hanya butuh kesempatan kedua untuk memperbaiki segalanya yang telah ia rusak, termasuk pernikahannya dengan Kahiyang.

Perkataan Arjuna tempo hari seakan menjadi bom atom dan meledakkan sisa kehidupan yang coba diperbaiki. Ia sama sekali tak menduga jika putra keduanya akan meminta dirinya untuk berpisah dengan Kahiyang.

"Anak-anak!" Seruan Nara menghentikan langkah keempat remaja yang selalu kompak dalam segala hal, termasuk pulang sekolah juga.

"Ayah," lirih Nirbita mendapati Nara berada di depan sekolahnya.

"Ngapain ke sini?" tanya Arjuna ketus.

"Ketus amat, Mas!" celutuk Raka yang mendapat delikan dari Arjuna.

"Ngapain Ayah ke sini? Agni udah pulang dari tadi kalo mau jemput," ujar Abimanyu yang kemudian sibuk dengan gawainya.

Mendengar salah satu anaknya menyematkan panggilan Ayah, tak urung membuat dada Nara dipenuhi sorakan gembira.

"Ayah ... pengen ketemu kalian."

"Oh! Kirain aja. Mau ngapain?" Kali ini Raka yang menyahutinya seraya menyugar rambutnya sehingga semakin berantakan.

Sedangan Arjuna mendengus sebal, mendapati reaksi kedua adiknya yang begitu santai menyapa Nara. Dirinya bahkan masih kesulitan menyebut kalimat tersebut. Tak tahukah mereka, jika pria yang mereka panggil Ayah ini telah membuang mereka dan meninggalkan ibunya.

"Bisa nggak kalo kita ngobrol sebentar?" Permintaan itu tak urung membuat Nirbita, Raka, dan Abimanyu menoleh serentak ke arah Arjuna.

Merasa di perhatikan, Arjuna kembali mendengus jengkel dan menatap mereka bertiga bergantian. "Apa?"

"Mau nggak?" tanya Raka langsung pada Arjuna.

Sedangkan Nara sendiri tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia tak menampik jika berharap jika si kembar akan menerima kehadiran dirinya. Paling tidak ia masih diijinkan berdekatan dengan mereka, meski terlambat.

Arjuna tak bisa menekan gemuruh dalam dadanya. Anggaplah ia remaja labil sekarang. Kemarin dirinya sendiri yang menyarankan perceraian itu, tapi ia juga tak memungkiri perasaan senang akan kedatangan Nara guna mencarinya dan saudaranya yang lain.

Ia pernah bermimpi, sepulang sekolah mereka dijemput langsung oleh ayah kandungnya. Walau terlambat delapan belas tahun sekalipun, akhirnya ia bisa merasakan hal seperti ini.

"Nara!"



Surabaya, 7 November 2022

-Dean Akhmad-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro