19 : Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Namanya Agni Saravina Mahardika." Pria berkemeja merah marun itu menggurungkan niat menyesap kopi hitam pesanannya tanpa menatap Nara. Lintang tertegun sebentar lalu kembali melanjutkan meminum kopinya.

"Ah, jadi dia perempuan ... dan ... namanya Agni?" kali ini giliran Nara yang menghentikan sesapannya dan menatap Lintang tak percaya.

"Jadi kamu tau kalo Gladis hamil waktu itu?" Lintang mengangguk kecil dan melanjutkan menyesap kopinya lagi.

"Ya! Aku udah tau, tapi sahabatmu itu lebih milih kamu untuk bertanggung jawab atas bayinya. Bukan aku yang notabene adalah ayah kandungnya."

"A-apa?" Nara terbelalak kaget, mengetahui kebenaran yang tak pernah ia ketahui selama ini. "Jadi ... selama ini?" Nara mengepalkan kedua tangannya yang berada di atas paha. Mencoba menghalau amarah yang mendadak muncul begitu mengetahui kebenaran yang selama ini tak diketahuinya tentang Gladis.

Lintang ingin tertawa saja melihat wajah bodoh Nara begitu ia melemparkan bom atas realita yang sudah ia simpan rapat-rapat. Tidak ada gunanya juga ia terus-terusan menyimpannya, karena sekarang semuanya sudah membusuk tanpa ada lagi yang bisa diselamatkan.

"Ya ... itulah kenyataannya, Nar."

"Tapi ... kenapa Gladis nggak pernah ngomongin hal ini?"

"Menurutmu? Kenapa sahabatmu itu menyembunyikan hal sebesar itu ... darimu?" Nara menggeleng, karena memang ia tak pernah tahu hal tersebut. "Bodoh kamu, Nar."

Nara terkekeh masam. Ya ... ia memang bodoh.

"Ndak ada yang namanya persahabatan antara pria dan wanita. Salah satu akan ada yang nyimpen perasaan. Mungkin Gladis memang pacaran sama aku, tapi kamu nyadar ndak? Kalo waktu Gladis lebih banyak dihabiskan sama kamu, dibandingin sama aku yang pacarnya."

Ya, Nara menyadari hal itu.

"Kamu tau secinta apa aku sama Gladis dulu?" Ya, Nara tahu secinta apa Lintang pada Gladis. Acap kali sahabatnya itu membatalkan kencan bersama Lintang, hanya untuk menghabiskan waktu dengannya. Dan pria ini hanya pasrah dan manut saja.

"Aku harus berkali-kali mengalah karena Gladis lebih memprioritaskanmu, daripada aku kekasihnya. Belum lagi segala pujian tentangmu yang keluar dari mulut Gladis membuatku semakin di ambang batas kesabaran. Pria mana yang mau dibanding-bandingkan? Tapi aku jadi pria bodoh yang terus mencintainya." Lintang mendengus menyadari betapa bucinnya dia dulu.

Nara hanya diam dan menyesap kopinya perlahan.

"Aku pernah ngemis sama sahabatmu itu, tapi dia tetap kekeuh sama pendiriannya. Segala cara aku lakukin termasuk menikahinya saat itu juga, agar aku ndak kehilangan ibu dan anakku. Ndak ada Ayah yang rela kehilangan anaknya, termasuk aku." Lintang kembali menyesap kopinya, seraya menatap keluar jendela.

"Aku terus berusaha mengubah keputusan gila Gladis. Segala upaya dan dayaku nyatanya ndak bisa meruntuhkan keputusan sepihaknya. Lalu aku harus gimana? Aku sudah menjatuhkan harga diriku di hadapannya, tapi dia sama sekali ndak menghargainya. Jadi aku putuskan untuk menyerah dan pergi."

Nara tak bisa bersuara mengetahui hal ini, setelah apa yang dibeberkan Lintang. Ada sebuah batu besar yang seakan menyumpal tenggorokannya juga hatinya yang lagi-lagi merasakan denyutan perih itu.

Betapa brengseknya ia dan sang sahabat. Nara tak pernah tahu tentang keputusan Gladis yang lebih memilihnya untuk bertanggung jawab akan kehamilannya, daripada Lintang yang notabene adalah Ayah kandung si bayi.

"Kisahku dan Gladis udah selesai, Nar. Begitu juga antara kamu dan Kahiyang. Berakhir ketika kamu menerima permintaan Gladis tanpa pikir panjang, bersamaan dengan keputusanmu mencampakan Kahiyang."

Ya. Dirinyalah yang sudah mencampakan Kahiyang dan keempat anaknya, hanya demi tetap di samping Gladis. Membesarkan anak orang lain, tapi menelantarkan anak kandungnya sendiri.

Miris sekali rasanya.

Kenapa bisa terbalik seperti ini? Kalau saja dulu ia mampu menelaah ulang perasaannya, mungkin kisah mereka takkan serumit sekarang.

Lintang menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi kafe dengan bersendekap menatap keluar jendela, sedangkan Nara terpekur menatap titik semu di atas meja. Menatap kosong cangkir kopi yang tinggal separuh isinya.

"Lalu kehamilan Gladis, membuatku bersemangat untuk kembali memperjuangkannya. Membayangkan hidup bahagia dengan orang yang dicintai merupakan impianku, apalagi kehadiran bayi kami. Semuanya tampak sempurna, kan? Sayangnya ndak bagi Gladis."

Nara mengikuti arah pandang Lintang yang menatap pada keempat remaja tanggung yang sedang asik bercengkrama. Tiba-tiba saja matanya mulai mengembun melihat keakraban keempat bersaudara di luar sana.

"Aku bodoh, kan? Ninggalin mereka demi apa yang dulu aku yakini adalah cinta sejatiku. nyatanya aku udah lama kehilangan rasa itu, setelah kepergian Kahiyang."

"Bucin sama bego ndak jauh beda, Nar. Dan ... ya, kita sama-sama pria yang jadi bodoh gara-gara cinta."

"Yang benar adalah kita benar-benar dibodohi," timpal Nara yang ikut menatap interaksi anak-anaknya.

"Mereka memiliki ikatan persaudaraan yang solid. Juna selalu menempatkan diri sebagai si sulung, menggantikan Bita yang terkadang masih labil dan bersikap kekanak-kanakan. Belum lagi Raka yang selalu saja menjahili sodara-sodaranya, yang paling kalem tentu saja Abi. Tapi  dia lebih cenderung pendiam dan ndak banyak bertingkah."

Nara tersenyum kecut menyadari jika pria di depannya ini lebih mengetahui banyak hal tentang anak-anaknya, sedang ia yang sebagai Ayah kandung sama sekali tidak tahu menahu hal yang paling sederhana dari mereka.

"Apa mereka begitu merepotkan? Saat mereka bayi?" Tenggorokan Nara tercekat hebat, menyadari jika ia sudah melewatkan fase-fase krusial anak-anaknya.

"Seingatku ndak terlalu merepotkan, ada Bapak sama Ibu yang siap jagain mereka. Istriku juga membantu sebelum kami memiliki Ambar. Selama Kahiyang nerusin kuliahnya, jadi kami bahu membahu membesarkan mereka."

"Istri?" Nara menoleh cepat ke arah Lintang yang masih saja betah memandang ke arah si kembar.

"Kahiyang sodara tiriku," jawab Lintang tanpa menatap Nara.

Bolehkan Nara bersorak gembira? Karena ternyata apa yang dipikirkannya selama ini tak pernah terjadi. Lintang adalah Paman mereka, bukan Ayah sambung mereka. Ada kelegaan yang menyeruak dalam dada Nara.

"Apa lagi yang mau kamu ketahui?" Nara menggeleng pelan, tapi matanya tak pernah pergi dari keempat anaknya yang sedang bersenda gurau.

Benar kata Lintang.

Raka paling rame, terbukti selalu saja menjahili Arjuna dan Abimanyu dengan Nirbita sebagai patner in crime-nya. Raka dan Bita selalu tertawa melihat wajah jutek Arjuna, sedangkan Abi hanya tersenyum simpul melihat tingkah saudaranya yang lain.

Ah, andai ia bisa memutar waktu. Mungkin dirinya takkan semerana ini karena teramat menginginkan berdekatan dengan mereka.

"Kebahagiaan anak-anak lebih penting, dari pada kisah asmara kita. Jalan mereka masih panjang. Tinggal gimana caranya kita mengarahkan mereka biar ndak ngikutin kesalahan orang tuanya dulu."

Iya, benar. Kebahagiaan anak-anaklah sekarang yang terpenting. Mungkin kisahnya dengan Kahiyang memang sudah berakhir bertahun-tahun yang lalu, tapi kisah antara Ayah dan Anak tidak akan pernah usai.

Kini Nara tahu apa yang harus ia lakukan, guna memperbaiki segalanya. Meski tak benar-benar bisa memperbaiki apa yang sudah ia rusak, seperti hubungannya dengan Kahiyang. Namun, ia masih bisa menyelamatkan hubungannya dengan anak-anak.

Mencoba mengikhlaskan mungkin menjadi salah satu solusinya, walau Nara tahu benar jika rasanya akan begitu menyakitkan. Karena sebuah kehilangan, tak kan pernah mudah. 

.

.

.

.


Semoga kalian suka, sebagai teman sahur kalian.

-Dean akhmad-

14 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro