20 : untitled

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nara, kamu ngapain duduk di sini?" Gladis menyalakan saklar lampu.

Nara tengah duduk di sofa single yang mengarah langsung ke teras depan rumah, dengan posisi ruangan gelap. Ia tidak tahu kenapa akhir-akhir ini Nara terlihat menghindarinya, terbukti sejak seminggu lalu Nara tak pernah pulang ke rumah.

Setelah semua yang telah terjadi, hubungan mereka menjadi lebih berjarak lagi.  Gladis tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki segala yang sudah ia rusak, bahkan ia pun tak tahu harus memulai dari mana?

"Apa kamu bahagia, Dis?" tanya Nara yang akhirnya memecah keheningan di antara mereka. "Apa kamu bahagia karena berhasil membuat hidupku seperti pecundang, Dis?"

"Apa maksudmu, Nar?" Gladis berusaha memegang lengan Nara, tapi pria dengan penampilan acak-acakan itu justru menjauhkan tangannya agar tak bersentuhan dengannya. 

"Kamu mabuk, Nar?" Gladis pikir Nara sudah mulai mabuk, melihat gelagat aneh sahabatnya ini.

"Kenapa kamu lakukan ini sama aku, Dis?"

"Apanya?"

"Kenapa kamu hancurkan hidupku seperti ini, Dis?"

"Kamu ngomong apa sih, Nar. aku nggak ngerti."

"Aku ketemu sama Lintang ... dan semua kebusukanmu. Aku udah tau semuanya. Kenapa, Dis?" Gladis membeku di tempatnya. Ia tahu cepat atau lambat, Nara akan menanyakan hal ini.

"Nar ... aku ...." Kali ini tenggorokan Gladis seperti ada yang menyumpalnya, membuat wanita berpakaian piyama itu begitu susah payah menelan ludahnya sendiri.

Gladis tahu masa lalu ini akan selalu mengikutinya. Sama seperti bangkai, serapi dan selama apa pun tersimpan akan tercium juga baunya.

"Apa salahku, Dis? Apa nggak cukup dengan aku selalu ada di sisimu, kamu juga menghancurkan hidupku?" Pertanyaan bernada pelan itu justru terasa lebih menusuk di relung hati Gladis.

"Nara ...."

"Aku mencintaimu. Seenggaknya itu yang aku yakini dulu. Aku selalu ada di sampingmu, kapan pun dan di mana pun kamu membutuhkanku. Aku bahkan nggak peduli sama Kahiyang yang seharusnya aku prioritaskan. Tanpa peduli perasaannya, aku selalu saja membuatnya kecewa." Nara menyugar rambutnya dan berdiri membelakangi Gladis yang masih terduduk diam di sofa. 

Mengembuskan napas panjang, Nara memilih kembali menatap keluar jendela yang kini berhiaskan gerimis. Membuat suasan hati Nara semakin berantakan. "Aku tidak mengacuhkan istriku demi kamu. Aku selalu batalin janjiku sama Kahiyang demi kamu. Apa pun akan aku lakuin demi kamu. Bahkan aku rela menikahimu dan mengabaikan Kahiyang juga demi kamu. Apa pun itu ... aku akan ngelakuinnya dengan sukarela demi kamu. Tapi apa yang aku dapat?Ketulusanku kamu balas dengan kelicikan."

Tenggorokan Gladis tercekat hebat, saat Nara mengatakan kebenaran yang selama ini ia tutupi. ditatapnya punggung Nara yang tak lagi setegap biasanya. Ia seakan bisa melihat beban yang selama ini Nara pikul, sedangkan dirinya sama sekali tak bisa membantu. 

"Nara ... aku ...." Gladis beranjak dari duduknya dan berusaha mengapai Nara, tapi justru hempasan keras yang diterima. Sedikit membuat tubuh Gladis terhuyung dan menabrak guci  yang berdiri tak jauh dari tempatnya tadi hingga pecah terberai.

"Aku baru tahu, kalo ternyata bukan Lintang pergi ninggalin kamu. Justru kamu yang mendorongnya pergi. Padahal sudah jelas-jelas dia yang akan bertanggung jawab." Nara tersenyum sinis menatap wajah pias Gladis yang masih berdiri dengan tubuh yang sedikit gemetaran.

Tatapan tajam Nara yang membuat tubuhnya gemetar. Belum pernah Gladis mendapatkana tatapan seperti itu dari sang sahabat. Ia tahu bahwa kesalahannya tak lagi bisa dimaafkan.

"Jelasin ke aku, Dis. Apa maksudmu dengan menghancurkan hidupku seperti ini? Apa salahku?" Teriakan Nara membuat Gladis tidak bisa menahan derai air matanya.

"Nara ... aku ...."

"Aku yang bertanggung jawab sama anakmu, tapi aku sendiri yang nelantarin darah dagingku. Bagian mana dari hidupku yang belum kamu hancurin, Dis?" Nara menjambak rambutnya sendiri dan menggeram tertahan.

Gladis hanya bisa menangis, tanpa bisa menyangkal apa yang dikatakan Nara. Semua perkataan Nara benar adanya. Semua ini terjadi karena kesalahan dan kegoisannya.

"Aku bajingan! Aku Ayah yang berengsek! Aku Ayah nggak berguna!" Gladis tersentak kaget melihat Nara menghantamkan pukulan ke dinding.

"Nara, stop!" Gladis mencoba menghentikan Nara, mengabaikan pecahan kaca yang terinjak kakinya, Gladis meraih tubuh Nara agar tak lagi menghantamkan kepalannya ke dinding hingga terjerembab bersamaan ke lantai.

"Maafin aku, Nar. Maafin aku. Aku yang salah. Kamu Ayah yang baik, kamu nggak berengsek. Kalo aja aku nggak egois kamu bakalan bahagia sama Kahiyang dan anak-anakmu." Gladis memeluk kepala Nara di sela-sela tangisannya. "Aku yang egois. Aku yang nggak siap kehilangan kamu. Cuma kamu satu-satunya tumpuanku, kamu sandaranku. Aku nggak mau kehilangan kamu." Lanjut Gladis yang sudah berderai air mata.

"Kahiyang ... maafkan aku. Aku salah. Jangan hukum aku seperti ini. Aku mohon ... kembali sama aku, sama anak-anak kita. Bita, Juna, Raka, Abi ... maafin Ayah, Nak. Maaf." Racauan Nara yang diiringi isak tangis itu terdengar memilukan di telinga Gladis.

Gladis sendiri ikut terisak bersama Nara, menyadari keegoisannya di masa lalu justru menghancurkan orang yang paling ia sayangi.

Andai saja ia bisa memutar waktu. Ia akan menerima tanggung jawab dari Lintang dan membiarkan sang sahabat bahagia dengan keluarganya, pun ia yang juga bahagia dengan Lintang dan Agni.

Ini bukan bahagia yang ia inginkan. Bukan seperti ini yang diimpikannya.

"Maafin Ayah ... aku mohon, Yang, kembalilah."

Racauan Nara berhasil menancapkan sembilu di dada Gladis. Menyadarkan dirinya jika selama ini ia yang sudah merusak semua hal bahagia yang seharusnya sama-sama mereka raih bertahun-tahun lalu.

Berandai-andai pun Gladis tak pernah mampu mengembalikan apa yang sudah ia renggut. Hidupnya sekarang hanya digerogoti oleh perasaan bersalah yang kian hari kian menggunung. Ia bahkan belum bisa mengurai satu persatu gulungan perasaan bersalahnya itu.

Malam ini, kemarahan dan kesedihan Nara menyadarkan Gladis jika ada banyak hal yang masih bisa ia perbaiki meski persentasenya sedikit. Paling tidak ia ingin membantu sahabatnya yang sudah mengorbankan banyak hal untuknya dan Agni. 

Mungkin dengan begini sedikit bisa mengurangi rasa bersalahnya.

✩★✩★✩★✩

Nara lelah.

Lelah dengan drama kehidupan yang tidak berkesudahan seperti ini. Setelah insiden mabuknya beberapa malam lalu, hubungannya dengan Gladis menjadi tak tersentu lagi.

Nara lebih memilih tinggal dikediaman orang tuanya, dari pada harus tinggal satu atap dengan sahabatnya itu. Ah, atau ia bisa menyebutnya dengan mantan sahabat.

Hidupnya benar-benar kacau sekaligus hancur.

Kehilangan anak dan istri, membuat babak kehidupan Nara semakin miris saja. Apalagi desakan untuk segera melayangkan gugatan cerai santer terdengar, hingga membuat pikiran Nara kian semerawut.

Bisakah ia memperbaiki kesalahannya? Paling tidak demi anak-anaknya. Meskipun si kembar tahu jika ia adalah Ayah kandung mereka, tetap saja tidak akan mengubah apa pun yang terjadi saat ini.

Namanya kadung cacat di mata keempat anaknya. Kebodohannya membuat ia kehilangan keluarga kecilnya. Lalu ia harus menyalahkan siapa? Gladis? Meski mantan sahabatnya itu mempunyai andil dalam kehancuran hidupnya, tapi Nara sendiri tak bisa mengelak jika ia yang lebih berperan besar. Semua salahnya, dan akan tetap menjadi kesalahannya.

Andai ia lebih pintar, mungkin begini jalan ceritanya. Seribu pengandaian pun tak akan merubah apa pun. Semua sudah terlanjur rusak.

Layar ponsel Nara menampilkan sederet nomor yang tak dikenal tengah berkedip beberapa kali, menggantikan tampilan wallpaper yang berisi keempat anaknya. Foto yang ia minta dari Kahiyang.

Memilih mengabaikannya, Nara menggeletakkannya begitu saja di meja kerjanya yang ada di dalam kamar dan memilih bersandar di kursi.

Tapi sepertinya si penelepon tak pantang menyerah, terhitung ini yang ketiga kalinya layar ponselnya berkedip-kedip menampilkan nomor asing yang sama. Tidak tahukah jika sekarang dirinya sedang ingin menyendiri dan meratapi nasip naasnya.

Dengan kejengkelan yang menghunus, Nara akhirnya mengangkat panggilan tersebut. Berniat ingin menyemburnya dengan makian, justru suara dari seberang sana membuat jantung Nara anjlok ke dasar perut dan membuatnya menahan napas saking kagetnya.

"Ayah ... tolong. Cepetan ke sini. Aku butuh Ayah."



🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Sidoarjo, 21 November 2022
-Dean Akhmad- 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro