Bab 21 : Rumah Sakit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ayah!" Seruan dari suara feminim mengalihkan atensi Nara yang tengah kebingungan mencari keberadaan sang penelepon tadi.

"Bita."

Tanpa aba Bita merangsek ke dalam pelukan Nara dan terisak-isak, mengabaikan kedua adiknya Raka dan Abimanyu yang juga sama-sama diam membisu tak jauh dari tempatnya.

Nara memberikan isyarat dengan tangan agar mendekat, Raka dan Abi yang saling bertatapan akhirnya ikut masuk dalam dekapan Nara.

Meski tidak menangis sehisteris Nirbita, Nara tahu jika kedua putranya ini sama panik dan bingungnya. Hanya saja mereka tidak tahu harus berbuat apa.

"Ssst ... Ayah di sini." Nara menepuk bahu Nirbita yang tangisannya sudah mulai mereda.

Nirbita membersit ingusnya dengan punggung tangan kanan, lalu berganti menghapus sisa lelehan air matanya di pipi.

"Kalian kenapa? Kenapa bisa di rumah sakit?" tanya Nara mengusap kepala Raka dan Abimanyu bergantian, tapi hanya keterdiaman yang Nara dapati.

"Bita, kenapa?" Kali ini Nara memegang kedua pundak Nirbita, memberikan pandangan menyeselik ada apa gerangan hingga membuat putrinya menangis.

Nirbita menggeleng, kembali membersit ingusnya dengan punggung tangan yang lain. "Bita nggak apa-apa, Yah, tapi Arjuna yang kenapa-napa."

"Kenapa sama Arjuna?"

"Bang Juna harus dioperasi. Usus buntu kata dokter tadi." Raka menjawabnya seraya menyerahkan kertas persetujuan wali atas tindakan operasi Arjuna.

"Kok bisa? Lalui, di mana bundamu?"

"Bang Juna emang udah punya gejalanya, cuma bebal aja dia. Kalo Bunda lagi ke Solo bareng Ayah Lintang, Akung opname di rumah sakit gara-gara diabetesnya naik lagi." Keterangan dari Abimanyu memperjelas kealpaan Kahiyang sore ini.

"Kami belum ngabari Bunda," timpal Raka.

"Jangan dulu. Di mana sekarang, Juna?"

Nirbita yang tangisannya sudah berhenti, berjalan mendahului Nara dan berhenti di salah satu brankar yang ada di IGD.

Mata Arjuna memang terpejam, tapi bulir-bulir keringat dingin masih membasahi kening dan membuat rambut Arjuna kebasahan.

"Juna habis minum pereda nyeri sementara, sampe surat operasi di setujui. Secepetnya Juna harus di operasi, Yah."

"Yah ... Ayah ...."

Dada Nara mendesir hebat mendengar Arjuna memanggilnya Ayah, walau hanya sebatas igauan semata. Biar saja ia dikatakan kege-eran, setidaknya Nara merasa jika Juna juga menginginkan kehadiran.

"Jun ... Juna ... Kamu tahan bentar, ya, Jun. Ayah ngurus ini bentar."

Menatap ketiga anaknya secara bergantian, Nara membetulkan letak kacamatanya yang melorot. "Jangan dulu hubungin Bundamu, jangan bikin Bundamu panik sama keadaan Juna. Kalian tenang saja, ada Ayah di sini. Kasian Bundamu kalo harus kembali ke sini, dengan pikiran yang terbelah karena kondisi Akung dan Juna." Ketiganya mengangguk patuh tanpa berucap apapun. "Ya, sudah, Ayah urus ini sebentar ...," Mengacungkan kertas persetujuan operasi Arjuna. "Kalian tunggu di sini."

Nara tidak tahu harus bersyukur atau malah seharusnya ia merasa sedih. Orang tua mana yang tak nelangsa melihat buah hatinya tergeletak lemah tak berdaya seperti itu. Kalo boleh biar saja orang tua yang merasakan sakitnya, jangan anak-anak yang merasakan.

Dan bersyukur dengan adanya kejadian ini, Nara bisa berdekatan dengan keempat anak kembarnya walau belum sedekat ikatan ayah-anak yang sesungguhnya. Paling tidak keberadaannya bisa membuat anak-anak merasa terlindungi.

Meski bukan jalan seperti ini yang Nara mau.
.
.
.
Operasi Juna berjalan dengan baik. Setelah observasi Juna sudah bisa dipindahkan ke ruangan rawat biasa, dengan penunggu pasien hanya dua orang.

Nara sendiri sudah tidak bisa menyuruh ketiganya pulang ke rumah, biar dia saja yang menjaga Juna malam ini. Namun, sayangnya ketiganya juga kompak menolak usulan tersebut dan memilih berdiam diri di ruangan inap VVIP yang diminta Nara saat mengurus berkas.

Keheningan menyambut kedatangan Nara, sesudah Arjuna dipindahkan ke ruangan inap biasa dirinya memang berpamitan pulang. Selain mengambil perlengkapannya sendiri, Nara juga membawakan perlengkapan Juna. Ah, lebih tepatnya membeli.

Mana mungkin Nara lancang memasuki rumah Kahiyang begitu saja tanpa permisi. Selain untuk Juna ia juga membelikan ketiga anaknya yang lain.

Nara hanya mengira-ngira saja apa yang dibutuhkan oleh anak remaja seusia mereka.

Melihat ketiga anaknya yang tidur berdesakan di kasur khusus penunggu tak urung membuat Nara tersenyum simpul. Ia sama sekali tak menduga kejadian seperti ini akan terjadi padanya.

Mereka didekatkan gara-gara hal yang tak terduga seperti ini.

Pengandaian itu kembali datang menghampiri.

Andai dulu ia tak bersikap bodoh dan brengsek sekaligus, mungkin sampai hari ini mereka akan menjadi keluarga yang utuh.

Namun, sayangnya hal itu tidak akan mungkin terjadi. Hubungan yang terlanjur rusak tidak bisa diperbaiki lagi, sekalipun diperbaiki tidak akan menjadi utuh kembali seperti sedia kala.

Mungkin benar jalan akhir dari kisah ini adalah perpisahan.

Melihat ketiga anaknya tertidur pulas, membuat Nara menjulurkan tangan dan mengusap kepala ketiganya bergantian.

Anak-anaknya bukan lagi bocah kecil, mereka sudah bertumbuh menjadi remaja. Belasan tahun mereka bisa hidup tanpa dirinya, membuat denyutan sakit itu kembali mengerubungi dadanya.

Haruskah ia benar-benar melepaskan Kahiyang? Juga anak-anak?

"Kenapa masih di sini?" Suara serak milik Arjuna membuyarkan lamunan Nara.

Ia sendiri cukup terkejut mendapati Arjuna terbangun pada pukul satu malam.

"Kenapa bangun, Jun? Kamu butuh sesuatu?" Nara mendekat ke arah Arjuna yang masih menatap ke luar jendela. "Ada yang sakit? Atau mau Ayah panggilin dokter?"

Arjuna menatap lekat ke arah Nara yang terlihat begitu mengkhawatirkan dirinya, pria berkemeja kuning gading berlengan pendek itu bahkan tidak risih mengecek kateter miliknya.

"Haus."

"Haus? Ah, iya. Sebentar." Nara kembali ke sofa dan mengambil sekantung kresek berisikan air minum kemasan dan beberapa snack juga roti.

Apa yang dilakukan Nara tak luput dari pandangan Arjuna, hanya saja remaja tanggung itu terlalu gengsi untuk untuk menatap langsung mata Nara.

Arjuna merutuki ketiga saudaranya yang lain karena tidur duluan dan ia harus terbangun di dini hari. Keheningan tak terelakan bagi keduanya, keadaan yang canggung benar-benar membuat keduanya mati kutu.

Nara yang gugup, bagaimana harus memulai percakapan. Sedangkan Arjuna gengsi untuk membuka mulutnya, selain itu juga dia sama bingungnya harus bagaimana.

Pura-pura tidur juga mustahil, karena matanya terang benderang. Pada akhirnya hanya desingan suara mesin pendingin ruangan yang menemani mereka, dan suara random dari televisi.

"Makasih," ucap Arjuna tanpa melihat ke arah Nara. "Makasih udah mau dateng, Om." Senyum di wajah Nara luntur mendapati Arjuna masih memanggilnya Om.

Meski terdengar menyakitkan, setidaknya Nara patut bersyukur Arjuna tak menolak keberadaannya saat ini.

Merasa diperhatikan, Arjuna Sedikit salah tingkah dan hanya bisa memainkan ujung baju rumah sakitnya. "Kamu anak, Ayah, udah sepatutnya Ayah di sini. Mereka juga anak-anak ayah."

"Ehm," sahut Arjuna menunduk tanpa membalas tatapan Nara.

Merasa tak ada lagi obrolan yang bisa mengenyahkan kecanggungan, Nara berdeham sebentar kemudian berdiri dari kursi di samping ranjang pasien.

Nara benar-benar kebingungan, "kalo gitu Ayah keluar dulu, kamu istirahat aja." Nara tersenyum canggung walau Arjuna tak melihatnya. "Ayah ada di luar kalo kamu butuh apa-apa." Akhirnya Nara memberanikan diri menepuk pelan puncak kepala Arjuna, alih-alih memberikan pelukan.

Arjuna merasakan jantungnya mau copot mendapati perlakuan Nara. Tiba-tiba saja ia merasakan ada kepakan sayap dalam perutnya, membuat remaja tanggung itu tersenyum simpul.

Ia sering mendapatkan perlakuan yang sama dari Lintang, tapi tetap saja rasanya berbeda kala Nara yang melakukannya.

"Makasih, Yah," bisik Arjuna menatap pintu yang sudah tertutup.

******

Surabaya, 30-11-2022
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro