Bab 22: Kecanggungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berada di atas tempat tidur dengan bekas luka jahitan yang masih terasa ngilu, sukses memperburuk harinya. Benar-benar membuat Arjuna tak berkutik sekaligus canggung.

Ia pikir, saat membuka mata di pagi hari dirinya bebas sendirian di dalam kamar. Namun, nyatanya ia tak sendiri. Ada Nara yang berada di kamar inapnya. Pria berkacamata itu tengah fokus menatap layar laptopnya, kemudian membolak-balikan lembaran-lembaran kertas yang tercecer di atas meja.

Halah, embuh!

Dirinya memang sudah bangun sedari dua jam lalu, tapi yang Juna lakukan hanya memencet tombol remote TV secara acak demi menemukan siaran yang mungkin saja bisa menghibur. Sayangnya lagi, Arjuna hanya menemukan siaran Variety Show, drama India, juga FTV. Hal itu membuat Arjuna mati kebosanan, padahal jam masih menunjukan pukul sebelas siang.

Arjuna sempat berpikir ketiga saudaranya rela membolos demi menemaninya di rumah sakit, tapi kenyataan yang diterima justru ia harus terperangkap berdua dengan Nara.

Tubuh Arjuna mendadak menegak kala merasakan perutnya mulas. Rasa ingin mengumpat begitu kuat saat mendapati ia sama sekali tak mampu bergerak bebas.

Ingin ke kamar mandi, tapi tak bisa selincah biasanya. Selain itu ia merasa sungkan ... juga gengsi untuk meminta tolong pada Nara. Mau taruh di mana mukanya, kalau ia harus meminta tolong. Sedangkan sedari awal dialah yang mengibarkan bendera peperangan.

Double kill!

Ngilu jahitan operasi usus buntunya sekonyong-konyong menyerang, kala kedua kakinya berhasil menapak lantai. Arjuna bahkan harus meringis kesakitan karena memang terasa seperti diiris-iris perutnya, belum lagi kaki yang melentur seperti jeli karena tak sanggup berdiri tegak.

Arjuna kembali meringis saat mengangkat tangannya guna mengambil botol infus dari tiangnya. Hampir saja ia akan tersungkur ke lantai akibat memaksakan diri, tapi sepasang tangan merengkuh pundaknya dan memapah tubuh Arjuna pelan menduduki ranjang pasien.

"Kenapa nggak minta tolong sama ayah?" Arjuna yang sudah terlanjur malu hanya diam saja tanpa menjawab. "Ayo ayah bantu. Mau ke kamar mandi, kan?"

Tanpa canggung, Nara mengambil botol infus tersebut. Mengapitnya di ketiak kiri. Sedangkan tangan kanan pria paruh baya itu memeluk punggung Arjuna sampai bawah ketiak, dan menuntunnya pelan-pelan menuju kamar mandi. Setelahnya Nara membuka pintu dan menyuruh Arjuna untuk masuk duluan.

"Mau ngapain?" tanya Arjuna kaget melihat Nara ikut masuk ke dalam kamar mandi.

"Ayah mau bantuin kamu lepas celananya." Jawaban entang Nara membuat Arjuna melotot sembari menutupi selangkangannya dengan sebelah tangan, mengabaikan sengatan nyeri di perutnya.

"Aku bisa sendiri." Kali ini Arjuna mempertahankan celananya, ketika Nara akan memelorotkan celana pasiennya.

"Oh ... ah, iya ... Ayah tunggu di depan aja kalo gitu, kalo butuh apa-apa teriak aja." Nara menggaruk kepalanya dengan telunjuk jari.

Jelas tadi adalah momen awkward antara ia dan Arjuna. Jadi Nara memutuskan untuk keluar saja dari kamar mandi setelah meletakkan botol infus di atas wastafel.

Sama halnya dengan Arjuna, pemuda itu benar-benar merasa malu dengan interaksi mereka barusan. Ia sedikit merasa tak enak melihat raut wajah Nara yang tiba-tiba kebingungan menghadapi kecanggungan tadi.

"Gila! Bener-bener gila." rutuk Arjuna melanjutkan kegiatannya di kamar mandi.

Arjuna menolehkan kepalanya ke kiri-kanan, untuk mengecek apa ada bisa yang tertinggal di wajahnya. Wajahnya lumayan segar setelah cuci muka juga sikat gigi, karena untuk saat ini ia harus membesarkan hati menerima kalau dirinya tak diperbolehkan mandi.

Meringis sebentar, Arjuna memilih untuk menyudahi acaranya di kamar mandi yang mungkin saja ia berada di sana hampir satu jam.

Berjalan pelan-pelan seraya membawa botol infus dan menahan nyeri, Arjuna membuka pintu kamar mandi dan menemukan Nara yang berdiri di samping pintu dengan bersendekap.

"Udah selese? Ayo sini." Nara mengambil botol infus yang tinggal separuh dan sedikit mengempes, kemudian memapah Arjuna yang lagi-lagi meringis kala tubuhnya bergerak.

Hati-hati Nara menuntun anak nomer duanya ini kembali ke ranjang pasien, setelah meletakkan botol infus ke tiang, Nara membantu menaikkan kedua kaki Arjuna ke atas.

Setelah merapikan bantal dan menata ulang, Nara mengambil selimut yang berada di ujung kasur dan memasangkan kembali ke Arjuna hingga sepinggang.

Ketelatenan yang Nara lakukan tak luput dari pengamatan Arjuna. Jujur saja pemuda yang cuma memakai kaos oblong dengan warna hitam yang memudar itu, hampir tak percaya Nara melakukan hal tersebut dengan sabarnya. Padahal mereka sedang tidak dalam fase baik-baik saja.

"Makasih," ucap Arjuna singkat yang menunduk.

Senyum Nara terbit begitu lebar, telingganya tak salah dengar, kan? Kalau Arjuna mengucapkan Terima kasih pada dirinya?

Nara tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya, karena Arjuna mengucapkan Terima kasih, walau hanya berupa lirihan. Mungkin nanti Arjuna juga akan menerima kehadirannya sebagai ayah mereka.

🍂🍂🍂🍂

"Jangan dipikirin."

Kahiyang menoleh ke arah Lintang yang baru saja meletakan nampan berisi ayam goreng, kentang dan cola. Lintang mendudukan diri berseberangan dengan Kahiyang dan mencomot kentang goreng dari wadah dan memakannya, sedangkan Kahiyang masih menatap ayam goreng yang berukuran besar di depannya.

Lintang yang seakan tahu jalan pikiran adiknya ini, kemudian memisahkan kulit ayam yang krispi miliknya lalu meletakkan di wadah milik Kahiyang.

"Makan, Jeng. Aku tau kamu suka kulitnya," titah Lintang yang lalu memakan nasi beserta ayam yang sudah ia suwir dengan tangan tadi.

"Kamu nerima keinginan Bapak, Mas?" tanya Kahiyang mulai memakan kulit ayam yang diberikan Lintang padanya.

"Kwamu ... ndwak uwsawh kwuwatir," jawab Lintang dengan mulut masih mengunyah. Setelah menelannya pria dengan setelah kemeja polos putih itu meneguk cola berukuran besar miliknya. "Kamu ndak usah berpikir aneh-aneh. Ini, kan, bukan pertama kalinya Bapak ngajuin permintaan itu."

Kahiyang mengangguk, lalu memakan kentang goring yang sudah ia cocol e saus sambal. "Aku tau, Mas, tapi ...."

Lintang mengurungkan suapannya dan menatap Kahiyang sebentar. "Jeng, jangan dipikirin permintaan, Bapak. Lagian aku sendiri masih belum kepikiran ke sana."

Kahiyang benar-benar dibuat galau akan permintaan sang Ayah yang menginginkan ia dan Lintang menikah, sedangkan pernikahannya terdahulu saja masih belum benar-benar berakhir. Meski secara agama mereka dinyatakan bercerai, tapi dicatatan negara Kahiyang dan Nara masih berstatus suami istri.

Permintaan ayahnya memang bukan pertama kali ini terlontar, tapi tetap saja membuat Kahiyang kepikiran.

Sebagai seorang anak ia diharuskan mematuhi segala apa yang orang tua titahkan, hanya saja tidak semua keinginan orang tua harus diiyakan jika memang hal itu bertentangan dengan hatinya sendiri.

Kahiyang merasakan tangannya diremas pelan. Menatap asal remasan tersebut yang ternyata berasal dari Lintang tak urung membuat Kahiyang menghela napas panjang.

"Mas udah bilang jangan terlalu dipikirin, Jeng. Mas tau kamu masih butuh space. Kamu perlu mendinginkan kepala."

"Tapi ... Bapak?"

Lintang menggeleng. "Bapak akan jadi urusanku. Kamu ndak harus menuruti apa yang Bapak inginin. Kamu berhak menolak, Jeng. Soal hati ndak bisa dipaksain, kan?"

Kahiyang meneguk colanya sedikit, hanya agar tenggorokannya basah, tapi yang dia dapat justru letupan karbonasi membuatnya mendesis.

"Kamu tau aku mati rasa soal hati, Mas. Mau kayak gimana lagi hidupinnya? Karena setelah hari itu yang aku tau cuma bahagiain anak-anak."

"Ehm...." Lintang mengikuti arah pandang Kahiyang yang menatap semburat keoranyean dari ufuk barat.

Tidak ada lagi obrolan yang terjadi di antara mereka, hanya kediaman menyelimuti dua orang yang menatap ke titik sama, tapi dengan isi hati dan pikiran yang berbeda.

"Aku hanya ingin bahagia, tapi aku sendiri tidak tau apa yang membuatku bahagia. Gimana caranya untuk bahagia?"







⚡⚡⚡⚡⚡

Hohohoho, kelar part ini.
Semoga msh ada feel buat baca cerita yg udah hiatus lama ini.

Selamat membaca,
Surabaya, 01 Januari 2023
-Dean Akhmad-



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro