2. Kesalahan Nara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

✩★✩★✩★✩★✩

Dulu ia memang sempat menolak perjodohan tersebut, saat Intan mengutarakan kemauannya menikahkan Nara dengan Kahiyang. Lalu ketika ia hendak mengutarakan penolakan tersebut, tanpa sengaja Nara mendengar obrolan orang tuanya. Jika Ibu Kahiyanglah, yang mendonorkan ginjalnya untuk Narendra.

Ia mengurungkan niatnya mengetuk pintu kamar yang dihuni oleh sepasang paruh baya tersebut, memilih berbalik arah dan memasuki kamarnya sendiri.

Nara begitu dilema. Ia begitu menginginkan Gladis sebagai pendamping hidupnya, tapi ia juga tak mungkin mengabaikan permintaan wanita yang sudah melahirkannya dua puluh sembilan tahun yang lalu.

Mama nggak pernah minta apa pun sama kamu, Bang. Cuma itu keinginan mama.

Walau dengan setengah hati, akhirnya ia menyetujui pernikahan tersebut. Meski tanpa cinta yang menyertainya.

Enam bulan pernikahan mereka berjalan, tak ada kemajuan berarti dalam hubungan mereka. Kahiyang bisa dibilang adalah istri idaman. Semua kriteria seorang istri ada pada diri Kahiyang.

Wanita itu tetaplah seorang istri penurut tanpa menuntut lebih pada Nara. Meski ia banyak menghabiskan waktunya dengan Gladis.

Nara tetap menafkahinya lahir batin, walau tak ada cinta di sana. Namun, Nara tetaplah seorang lelaki normal yang mempunyai kebutuhan biologis. Dan selama ini ia selalu melampiaskannya pada Kahiyang, istri sahnya.

Ada kalanya ia bersikap lembut, tak jarang pula tiba-tiba bersikap dingin pada Kahiyang. Hal itu selalu terjadi saat ia dan Gladis tengah bertengkar. Tentu sebagai istri, Kahiyang menerima semua jenis perlakuan tersebut. Penerimaan yang diberikan Kahiyang membuat Nara semakin mengentengkan segalanya termasuk kehadiran sang istri.

Ada satu hari saat mereka tengah menikmati waktu bersama, kemudian ponselnya berdering dengan nama Gladis tertera di layar. Kahiyang hanya bisa mengangguk pasrah tanpa bantahan, setelah kata maaf yang entah kesekian kalinya terucap dari bibir Nara.

Ia tak kuasa untuk menolak keinginan Gladis, walau ia harus berkali-kali membatalkan janjinya dengan Kahiyang. Dan seperti biasanya istrinya itu akan selalu memafkan semua sikap Nara. Meski terkadang ia selalu lupa diri jika sudah bersama Gladis.

Sejenak keadaan mereka mendingin saling menjauh, ketika ia mengetahui bahwa Gladis tengah berhubungan dengan kakak tingkat mereka saat kuliah. Sedikit demi sedikit Nara mulai memprioritaskan Kahiyang dan menghabiskan banyak waktu bersama.

Sesekali memang ia dan Gladis bertemu di rumah mamanya saat weekend. Hingga satu hari Nara kembali mendengar curhatan teman masa kecilnya ini, kalau hubungannya dengan sang kekasih merenggang. Long short story ia dan Gladis kembali akur, tapi mulai mengabaikan Kahiyang.

Ia tahu keegoisan telah merajai hatinya. Pria berkacamata itu seakan buta akan tuntutan Kahiyang atas waktu Nara yang lebih banyak ia habiskan bersama Gladis. Tanpa tahu ada hati yang tengah berdarah karena sikap egoisnya.

Tak seharusnya ia menuruti kemauan orangtuanya, lebih kepada sang Ibu yang begitu menginginkan ia menikah dengan gadis bau kencur yang masih berumur dua puluh tahun tersebut.

Bagaimanapun juga hatinya masih terpaut pada sosok sahabatnya, Gladis. Meski gadis itu sendiri tak mau mengakui perasaan Nara dan berpura-pura tak tahu, tapi justru memilih berhubungan dengan orang lain. Namun, masih enggan melepaskan genggamannya atas dirinya.

Ia sudah berusaha mencintai Kahiyang. Disaat hubungan dengan Gladis merenggang, Nara mencoba untuk menumbuhkan rasa itu. Acap kali ia mengoda Kahiyang, menciptakan suasana yang mampu menggetarkan hatinya. Namun, hal itu tak kunjung menghampiri hatinya. Hanya ada kekosongan di sana.

Sampai hari itu tiba, Semua terjadi bergitu saja tanpa terkendali dan tanpa ia prediksi sebelumnya. Kemarahan Nara memuncak saat mengetahui Kahiyang menolak panggilan Gladis di ponselnya, bahkan istrinya dengan berani men-silent dering gawainya.

Amarahnya memuncak saat mengetahui betapa lancangnya Kahiyang karena menyentuh hal yang dianggapnya privacy.

"Aku istri kamu, Mas. Apa nggak bisa sedikit aja kamu menjaga perasaan aku?" Nara menepis tangan istrinya saat ingin mendekat.

"Aku nggak peduli, Yang. Kamu lancang pegang hapeku, dan lebih lancang lagi kamu menolak panggilan dari Gladis." Teriakannya membuat Kahiyang berdiri membeku.

"Sekali aja, Mas, kamu peduliin aku," lirih Kahiyang dengan tatapan sendunya.

Nara mencengkeram rahang Kahiyang, memaksa wanita mungil itu mendongak menatap wajahnya yang memerah dikuasi amarah. "Kamu cuma orang asing yang kebetulan jadi istriku. Gladis wanita yang aku cintai, tapi kamu bukan siapa-siapaku." Nara melepaskan cengkeramannya dengan sedikit mendorong tubuh Kahiyang hingga terjatuh membentur lantai marmer ruang tamu, lalu memilih pergi meninggalkan Kahiyang yang merintih kesakitan.

Menulikan pendengarannya, Nara bergegas mengambil kunci mobil dan pergi meninggalkan Kahiyang yang merintih kesakitan seraya memegangi perutnya.

Nara tiba di apartemen Gladis dan mendapati tubuh sahabatnya itu meluruh dan hampir tenggelam di dalam bath up, dengan air yang sudah berubah menjadi merah, karena darah yang keluar dari pergelangan tangan Gladis.

Pemandangan itu membuat jantung Nara sempat berhenti berdetak. Secepatnya ia menggendong tubuh lemas Gladis, mengabaikan bajunya yang basah. Terlebih dahulu Nara menyambar kimono handuk dan melilitkannya pada tubuh telanjang Gladis, kemudian bergegas membawanya ke rumah sakit.

Wanita cinta pertamanya sudah ditangani. Menurut keterangan dari Dokter kalau luka sayatannya cukup dalam, beruntung ia cepat membawanya untuk mendapatkan pertolongan. Setelah mendapatkan tindakan di UGD, Gladis bisa langsung dipindahkan ke kamar inap biasa.

Nara melirik ponselnya yang berkedip-kedip di atas nakas, dengan nama pengguna sang Ibu tertera di sana kemudian berganti nama ayahnya. Ia masih malas untuk mengangkatnya.

Setelah suster selesai menganti infus Gladis, Nara memilih duduk di atas sofa. Sejenak ia menatap ponsel yang baru saja layarnya meredup. Meraih ponselnya, Nara mengambil gawainya dan menemukan riwayat panggilan tidak terjawab sebanyak lima puluh kali, paling banyak panggilan dari ibunya.

"Kamu di mana, Bro?" sahut suara dari seberang sesaat ia menerim panggilan telepon yang masuk.

"Berisik, Ndre. Aku lagi di rumah sakit."

"Rumah sakit mana?"

"Mau tau aja, kamu."

"Serius, Nar. Kamu ada di rumah sakit mana?"

"Ck! Ganggu banget. Nggak usah telepon lagi. Aku lagi nungguin Gladis di rumah sakit," jawab Nara kemudian mematikan sambungan teleponnya sepihak.

Nara kembali menggulir menu handphone batangannya dan menemukan kotak pesan. Ada beberapa sms masuk dan itu semua dari Kahiyang yang jika dilihat dikirimkan delapan jam yang lalu. Isi smsnya sama semua, menanyakan keberadaan dirinya. Tak tahukah Kahiyang jika ia hampir saja kehilangan Gladis karena ulah wanita itu.

Nara mengernyitkan kening membawa sms terakhir yang dikirimkan Kahiyang, pesan yang baru saja terkirim untuknya.

Kumohon mas, kalo mas baca sms ini. Tolong hubungin aku.

Nara sudah tak selera lagi membaca pesan sms yang mampir di ponselnya. Memilih menonaktifkan kemudian menggeletakkannya begitu saja di atas nakas. Saat ini yang ia khawatirkan adalah keadaan Gladis. Apa yang terjadi dengan gadisnya ini. Kenapa ia begitu nekat melakukan aksi bunuh diri.

"Nara ...," guman Gladis begitu ia membuka matanya dan melihat sosok pria kesayangannya.

"Dis, kamu udah sadar? Mana yang sakit?" Nara beranjak dari kursinya. Mengatur bantal di punggung Gladis agar lebih nyaman

Menggenggam tangan Gladis yang terbebas dari jarum infus, dan membelainya lembut. Mendaratkan sebuah kecupan hangat di sana untuk menenangkan Gladis.

"Aku ...."

"Ssst! Nggak usah dipikirin. Semua baik-baik aja. Beruntung Dokter bisa menanganimu secepatnya."

Tangisan Gladis pecah. Secepat itu pula Nara bangkit dari duduknya, dan memeluk Gladis seraya membelai lembut rambutnya.

"Aku nggak baik-baik aja, Nar. Aku nggak baik-baik aja. Aku hamil, Nar, anak Lintang."

Tubuh Nara menegang. Ia tak menduga akan berita kehamilan Gladis.

Setahu Nara, Lintang dan Gladis telah putus sebulan yang lalu. Dan lelaki yang berstatus mantan kekasih itu juga sudah pindah ke kota lain, sehari setelah mereka putus. Itu sebabnya mereka kembali dekat samapi sekarang.

Nara mengurai pelukkannya dan dan menghapus jejak air mata Gladis, kemudian mengecup sayang kening gadis berwajah pucatnya.

"Aku bingung, Nara. Aku gak mau ngelahirin anak haram. Aku kalut."

Nara tahu kekalutan Gladis. Siapa yang tak kalut mendapati dirinya tengah berbadan dua tanpa seorang suami. Terlebih lagi kekasih yang seharusnya bertanggung jawab sudah pergi entah ke mana.

Nara menghembuskan napasnya pelan. Ia akan mengambil keputusan itu. Meski ia tahu nantinya akan ada banyak penolakan. Termasuk dari kedua orangtuanya. Mungkin ini saatnya ia bersikap sedikit egois. Ia juga ingin bahagia dengan caranya sendiri. Dan ia meyakini bahwa, keputusan yang ia ambil kali ini adalah yang terbaik.

Sekali lagi ia menghembuskan napasnya. "Aku yang akan nikahin kamu, Dis. Aku yang akan tanggung jawab atas kehamilanmu."

●◎●◎●◎●

-Dean Akhmad-

Surabaya, 20 Septermber 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro