3. Keputusan Nara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keputusan sepihak Nara atas tanggung jawab kehamilan Gladis begitu mengguncang keluarganya, apalagi setelah dua minggu setelah Nara menghilang tanpa bisa dihubungi. Ia membawa pulang Gladis yang sudah berstatus sebagai istri sirinya.

Jangan tanyakan bagaimana reaksi Kahiyang. Nara bahkan tak peduli lagi. Justru yang ia lakukan melemparkan map berisi berkas perceraian mereka, lalu pergi meninggalkan Kahiyang begitu saja, setelah dua minggu tanpa kabar dengan penejelasan bahwa ia sudah menikahi Gladis dan akan menceraikannya.

Nara mencoba abai dengan kondisi Kahiyang yang memang terlihat lebih pucat, kurus, dan tak seceria biasanya saat dia menyambut kepulangannya.

Tamparan keras mendarat di pipi Nara begitu ia menyampaikan berita bahwa ia menikahi Gladis yang tengah mengandung, dan akan menceraikan Kahiyang.

Bahkan ibunya begitu histeris mendengar berita perceraian anaknya dengan Kahiyang.

"Kamu!" Tuding Intan pada Gladis. "Mama nggak pernah ngelarang kalian dekat meski kalian sudah bersahabat sejak kecil, tapi merebut suami orang, apa pantas kamu lakukan itu, Dis?" hardik Intan membuat Gladis tertunduk diam.

"Ma! Gladis nggak salah!"

"Diam kamu, Narayan Abdi Mahesa!" teriak Intan membuat Nara membisu. Jika ibunya sudah menyebut nama lengkapnya sudah dipastikan wanita yang melahirkan dirinya sedang dalam keadaan sangat marah besar. "Sengotot apa pun kamu membela Gladis, dia tetep salah karena udah merebut suami orang."

"Aku yang ngotot nikahin Gladis, Ma!"

Sekali lagi tamparan sang ibu mendarat di pipi yang sama.

"Dosa apa mama di masa lalu, hingga melahirkan anak brengsek seperti kamu, Nara?"

Lidah Nara kelu. Ia tak sanggup mendengar penuturan wanita pertamanya. Pertanyaan yang sungguh membuat Nara, merasa bahwa kehadirannya tak diharapkan di dunia ini.

Intan bahkan sudah bersimpuh di lantai dengan tangisan yang berderai. Tak sanggup lagi menahan kecewaan akan kelakuan Nara, memukuli dadanya yang tiba-tiba sesak tak tertahankan.

"Ma ... maafin, Nara. Nara nggak bisa melanjutkan pernikahan Nara sama Kahiyang. Nara nggak cinta sama Iyang, Ma. Nara cintanya sama Gladis, Ma."

Bukannya menjawab Intan malah kembali menangis sesenggukkan, hingga membuat dadanya semakin sesak.

"Ya, Allah, Nara. Apa yang sudah kamu lakukan, Nak?"

Nara merasakan sebuah hantaman keras dari belakang tubuhnya, membuat tubuh jangkung Nara tersungkur ke depan. Intan yang tepat berada di depan Nara sampai terpekik kaget, melihat Nara yang tersungkur di sampingnya.

Belum juga Nara bangkit, pukulan bertubi-tubi mengenai wajahnya tanpa ampun. "Pa, cukup!" Teriakan Intan mengembalikan kesadaran Narenda yang memukuli putranya dengan membabi buta.

Gladis yang melihat kejadian itu menghampiri Nara, dan membawanya ke pelukan Gladis.

"Papa, nggak pernah ngajarin kamu untuk jadi lelaki sepengecut ini, Nara!" murka Narendra dengan menahan emosinya untuk kembali melayangkan bogeman ke wajah sang Putra. "Kamu sudah berhasil jadi laki-laki brengsek."

Narendra meraup kasar wajahnya dan beralih menatap Gladis. "Papa nggak pernah nyangka kamu menikam kami seperti ini. Kami membesarkanmu tanpa membeda-bedakan antara kamu, Nara, juga Nadira. Tapi ini balasan kamu kepada kami?"

Gladis sendiri memilih diam dan menangis, seraya menggumamkan kata maaf berkali-kali.

"Selamat! Kalian sudah bikin semua orang terluka dengan tindakan pengecut kalian."

"Pa! Jangan salahkan Gladis, dia nggak salah. Nara yang memaksa menikahi Gladis. Gladis sedang hamil, Pa." Rahang Narenda semakin mengeras mendengar pengakuan Nara.

"Kamu benar-benar melakukan kesalahan besar, Nara."

"Aku nggak cinta Kahiyang, Pa, Ma, yang aku cintai itu Gladis. Tapi kalian paksa aku menikah sama Kahiyang."

"Kapan kami memaksamu, Nara? Kamu bisa menolak perjodohan itu, kalau kamu mau, tapi kamu menerimanya secara sukarela. Sekarang kamu bilang kamu nggak cinta sama Kahiyang? Apa kami melarangmu untuk tidak memprioritaskan Gladis, disaat kamu sudah punya istri? Di mana otak kamu?"

"Pa ...."

Narendra terkekeh sinis, "Ke mana kamu dua minggu yang lalu?" Melirik enggan ke arah Gladis yang ikut menatapnya dengan wajah basah. "Papa tebak, bersama Gladis? Dan kalian melangsungkan pernikahan di belakang kami, di belakang istrimu."

"Kamu mengacuhkan panggilan telepon kami, seolah-olah kami yang membuat hidupmu menderita karena harus menikah dengan wanita yang nggak kamu cintai. Kalian bahagia seminggu ini?"

"Pa, aku dan Nara ...."

"Sekarang kalian bahagia, kan?"

Anggukan yang diterima Narenda dari putra justru merengut dadanya kian menyesak, membuat Intan kembali sesengukan di atas sofa tunggal.

"Papa sungguh berdosa pada almarhumah Ibu Kahiyang. Karena membuat putri satu-satunya menanggung hal sekejam ini dari keluarga kita," imbuh Narendra mendudukan diri di atas sofa.

"Almarhumah?" tanya Nara dengan suara tersekat.

"Kalian terlalu bahagia, kan? Sampai-sampai kalian lupa kalau ada Kahiyang yang terluka akibat perlakuan kalian."

"Apa yang kamu lakukan ke Kahiyang, Nara?" tanya Intan kali ini harus angkat bicara.

Ingatan Nara berputar pada kejadian di mana ia mendrong Kahiyang, lalu tanpa perasaan ia pergi meninggalkannya begitu saja untuk menolong Gladis. .

"Apa kamu tahu, kalau Kahiyang mengalami pendarahan, menantu Mama hampir saja keguguran, Nara. Di mana kamu saat itu?" di rumah sakit bersama Gladis. "Belum sampai disitu, Kahiyang harus rela kehilangan satu-satunya orangtua yang tersisa. Lalu kamu ... di mana saat istrimu lebih membutuhkan keberadaanmu, tapi malah menghilang tanpa kabar?" Berbahagia bersama Gladis

Telak!

Ada yang menohok dada Nara begitu kuat. Saking kuatnya terasa begitu menyakitkan.

Anak.

Pendarahan.

Terjatuh.

Hati Nara tiba-tiba mencelos. Ia mengingat bahwa dirinya, lah, yang telah mendorong Kahiyang hingga terjatuh ke lantai. Mengabaikan rintihan kesakitan Kahiyang dan memilih pergi menemui Gladis.

"Kahiyang ...."

"Ibu Kahiyang meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit untuk menemui putrinya, tempat Kahiyang dirawat. Naas taksi yang ditumpangi beliau mengalami kecelakaan beruntun, dan meninggal ditempat kejadian."

Intan tak bisa membendung tangisannya. "Kahiyang! Mantu mama yang malang. Maafkan Mama, Iyang. Maafkan Mama yang nggak bisa mendidik putra mama dengan baik." Racauan Intan membuat Narendra memeluk istrinya.

"Ma ... cukup! Kita ke kamar."

"Puas kamu, hah?" teriak Intan memukuli tubuh Nara yang ia paksakan duduk. "Puas kamu, Nara. Mama nyesel ngelahirin anak durhaka kayak kamu."

Dada Nara terasa nyeri hingga menyentuh tulang rusuknya. Apa yang sudah ia lakukan? Mengabaikan istri dan calon anaknya yang hampir ia bunuh dengan tangannya sendiri. Sungguh ia tidak pernah tahu jika hal itu akan terjadi.

Bayang-bayang kerapuhan Kahiyang menari di pelupuk matanya, ia ingat sms yang di kirim Kahiyang dua minggu lalu. yang berisi ia begitu membutuhkan Nara. Tapi ia lebih memilih menemani Gladis. Nara bahkan tak memikirkan keadaan Kahiyang begitu ia bisa mempersunting Gladis menjadi istrinya.

Betapa jahatnya ia, yang tega melakukan hal sekeji itu pada darah dagingnya. "Kahiyang!" lirih Nara dengan derai airmata yang tiba-tiba meluncur bebas tanpa bisa dikendalikan.

Gladis memeluk tubuh nara yang terdiam, sedangkan ia masih saj amengeluarkan air mata dan tak mampu berucap apapun. Ia juga turut andil di sini. Dalam kedukaan Kahiyang.

"Kita masuk, Ma. Biarkan saja anak brengsek ini menyesali keputusannya." Ketus Narendra membawa pergi Intan yang masih menangis dipelukan suaminya.

Setelah sedikit tenang, Nara pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan Gladis di belakangnya. Melesat cepat menuju rumahnya yang dihuni oleh Kahiyang.

Nara berdoa, bahwa apa yang dipikirkannya takkan pernah terjadi. Sekali saja ia berharap bahwa doanya dikabulkan.

Namun, sepertinya Tuhan seakan sudah menurunkan hukumannya. Nara tak menemukan sosok Kahiyang di setiap sudut rumahnya. Rumah mereka sepi. Bahkan lampunya masih padam.

Nara kembali terduduk di sofa ruang tamu.

Kahiyang pergi. Membawa serta anaknya. Ingatan dirinya menyentak kasar Kahiyang hingga terjatuh di lantai kembali menghantuinya.

Nara menjambak rambutnya kasar, mencoba menghilangkan wajah Kahiyang yang penuh kesakitan. Sekalipun berteriak, itu sama sekali tak mampu mengeluarkan sesak di dadanya yang tiba-tiba menghimpit, membuat pasokan udara dalam paru-parunya menipis. Namun, sesak itu tak kunjung menghilang malah semakin parah.

"Kahiyang, maafkan aku." lirih Nara dengan perasaan sendu

°°°°°
-Dean Akhmad-
Surabaya, 21 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro