4. Penyesalan Nara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

◎○◎○◎○◎○

Usaha Nara berakhir pada jalan buntu. Tidak ada informasi selain Kahiyang yang tinggal berdua saja dengan ibunya. Sedangkan yang tetangga ketahui jika Kahiyang dan Sekar—ibu Kahiyang—pindah tanpa suami dengan status janda beranak satu.

Dirinya terlalu cuek dengan semua tentang Kahiyang. Suami macam apa dia? Bahkan Nara tak pernah tahu secuil informasi lain tentang Kahiyang selain hanya Sekar yang dimiliki istrinya.

Sungguh ia sangat berdosa pada almarhumah ibu mertuanya. Padahal ia sudah berjanji akan menjaga putri semata wayangnya, lebih-lebih janji suci yang ia ucapkan saat Ijab Qabul.

Nara menyentuh batu nisan dan mengecupnya perlahan.

"Maafin aku, Buk. Aku sudah gagal jadi anak Ibuk. Aku juga nggak bisa jagain putri Ibuk. Aku gagal, Buk." Setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya.

Nara menyesali semuanya, meski ia tahu terlambat.

Menyesal saja tak kan pernah mengurai kesesakan di dalam dada. Ia bahkan tak berada di sisi wanitanya, kala satu-satunya keluarga yang dia punya pergi dipanggil Yang Maha Kuasa.

Ingatan wajah pucat Kahiyang menari-nari diingatan Nara, membuat pria berkemeja hitam itu kembali menangis tersedu-sedu. Membiarkan air mata membahasi wajahnya tanpa peduli jika orang lain melihatnya.

Ia tak peduli dikatai cengeng ataupun pria lemah. Ia hanya ingin menangis, mengeluarkan semua kesesakkan di dada yang menghunjamnya dengan begitu menyakitkan.

Bolehkah ia meminta satu kesempatan untuk memperbaiki rumah tangganya. Ia ingin Kahiyang kembali, wanita yang tanpa disadarinya begitu berarti saat sosok itu telah pergi.

Hancur.

Satu kata sejuta makna, jelas tergambar pada diri Nara. Tak ada yang baik-baik saja setelah keputusan sepihak yang ia lakukan. Awalnya ia mengira dengan menikahi Gladis hidupnya akan bahagia, tapi apa yang ia pikirkan tak sesuai dengan kenyataan yang terpampang sekarang ini.

Ia sama sekali tak bahagia.

Gladis memang sudah menjadi istrinya, tapi ia tak sebahagia keinginannya terdahulu. Jika dulu ia akan merasakan kebahagiaan yang membludak, hanya dengan membayangkan bisa menikah dengan gadis yang ia cintai. Kini perasaan mengebu-gebu itu seperti hilang ditelan bumi.

Perasaan cintanya nyaris hilang, tergantikan dengan sosok Kahiyang yang sudah menghilang dari orbitnya. Ia telat dalam mengimpletasikan perasaannya. Perasaan cinta terhadap Gladis tak ubahnya seperti perasaan tak ingin jauh karena terbiasa semenjak mereka kanak-kanak.

Tumbuh bersama-sama membuat Nara tak rela jika harus kehilangan momen kebersamaan mereka, apalagi janji yang ia buat sebagi lelaki terhadap wanitanya untuk tidak akan pergi meski salah satu di antara mereka menikah. Hal itu benar-benar diwujudkan Nara. Takkan pernah menjauh dari Gladis, meski harus menyakiti Kahiyang tanpa ia sadari.

.

.

"Nara ...." Gladis menyodorkan segelas teh hangat dengan asap tipis yang masih mengepul di atasnya.

Akhir-akhir ini ia lebih memilih meminum teh pahit beraroma melati, daripada kopi hitam seperti kebiasaannya dulu sebelum menikah.

Diminum, Mas. Minum teh bisa bikin capeknya sedikit berkurang.

Setiap kali ia pulang ke rumah, Kahiyang selalu membuatkan teh hangat beraroma melati tersebut. Teh tubruk buatan Kahiyang tak pernah gagal membuat tubuhnya merileks, meninggalkan sejumput daun teh kering di dasar cangkir saat ia menghabiskan. Lalu kini, hal itu seolah menjadi rutinitasnya setiap sore ataupun malam pun saat ia harus begadang.

"Apa ada kemajuan?" tanya Gladis hati-hati. Ia tahu bagaimana sensitifnya Nara jika sudah menyangkut Kahiyang.

"Belum. Mama juga nggak tahu ke mana Kahiyang." Nara mengusap wajahnya.

"Maafin aku!"

Nara menghela napas berat. "Ini juga salahku, Dis. Kalo-kalo kamu lupa." Nara menyugar rambutnya asal-asalan, kembali ia menyesap teh hangatnya.

Pembahasan ini tidak akan ada habisnya. Baik ia dan Gladis memang sama bersalahnya, tapi kesalahan terbesar memang terletak pada dirinya. Andai dulu ia tidak gegabah mengambil keputusan, mungkin tak begini jalan hidupnya.

Mungkin saja ia akan berbahagia dengan Kahiyang dan ... calon anaknya.

"Tapi semua gara-gara aku. Kalo aja aku nggak gegabah, kamu nggak akan kehilangan Kahiyang dan anakmu. Aku juga yang udah bikin hubungan kamu sama Mama-Papa renggang. Rumah tanggamu berantakan, dan kamu nggak baik-baik saja. Itu semua gara-gara aku." Gladis tak sanggup lagi menahan air matanya meluncur.

Ia pikir dengan menikahi Nara, masalah akan selesai. Paling tidak anaknya kelak bisa mendapatkan pengakuan, jika dia bukan anak haram. Namun, sayangnya hal itu tak semudah apa yang ia pikirkan. Gladis tak bisa mendapatkan buku nikah karena mereka hanya menikah siri dengan Nara, yang itu artinya ia tak kan pernah bisa membuat akte kelahiran anaknya.

Selain itu Gladis yakin jika pria bercambang di sampingnya ini takkan pernah meninggalkannya, karena ia tahu betapa lelaki Nara begitu mencintai dirinya.

Ya ... ia memang mengetahui dan menyadari perasaan Nara kepada dirinya. Hanya saja ia sengaja berpura-pura bodoh dan tak mau tahu jika lelaki yang dianggap sahabat mencintainya. Toh, selama ini Nara tak pernah ragu memenuhi semua permintaannya, meski hal terkonyol sekalipun. Sahabat lelakinya itu benar-benar memproritaskan dirinya setelah sang Ibunda, pun setelah dia mempunyai istri, Nara tetap menomorsatukan dirinya.

Satu sisi hatinya tak terima, sesaat perhatian Nara kepada dirinya tercuri saat kehadiran Kahiyang menjadi istri Nara. Ia egois dan tak mau berbagi perhatian Nara. Cukup ia membaginya dengan wanita pertama Nara, tidak untuk wanita lain lagi.

Gladis sengaja menutup mata tentang perasaan Nara padanya. Ia tak mau persahabatan mereka rusak hanya karena perasaan cinta tumbuh di antara mereka. Ia lebih memilih mengabaikan rasa cinta Nara padanya, dan memilih mencintai pria lain yang berujung pada patah hati terbesarnya.

Lintang.

Lelaki yang mengambil seluruh hatinya, memilih untuk memutuskan hubungan mereka yang terjalin hampir setahun belakangan begitu tahu bahwa kehadiran Nara lebih mendominasi daripada kehadiran sang kekasih. Gladis tak menyangkalnya. Nara memang masih mendominasi hidupnya.

Lelaki itu kelewat potektif. Melindungi dirinya yang sudah yatim piatu, dan memberi kasih sayang yang melimpah. Membuatnya lupa untuk menginjak bumi. Ia tak mau membagi hal yang sama pada wanita lain, selain dirinya, tapi ia juga tak mau kehilangan sang kekasih.

Namun, ternyata Lintang memilih mundur, saat menyadari begitu kuat pengaruh Nara terhadap dirinya. Dan menyebabkan patah hati yang begitu dalam.

Lintang lelaki pertama yang ia inginkan setelah Nara.

Ia pikir semua akan baik-baik saja, seperti biasanya. Ajakan nikah Nara agar anak dalam kandungannya mendapat pengakuan, membuat semuanya berubah.

Baik Nara dan keluarganya berubah.

Ia egois menginginkan Nara dan Lintang sekaligus, bahkan kini orangtua Nara pun turut membencinya. Tak ada lagi limpahan kasih sayang dari mereka yang dianggap orangtua, juga dari Nara. Rasa bersalah mengerogotinya lamat-lamat. Ia membuat sebuah keluarga kecil hancur. Membuat orangtua membenci putranya. Terlebih ia sudah memisahkan anak dari ayahnya.

Gladis menyesali semua keputusan impulsifnya. Ialah awal kehancuran dari sebuah keluarga yang seharusnya bahagia.

Gladis menerima keputusan Nara untuk tinggal di rumah yang ditempati oleh Nara dan Kahiyang. Meski ia merasa kurang nyaman, karena semua sudut ruangan di rumah ini berisikan kenangan tentang Kahiyang.

Impiannya sudah hancur. Keinginan mengukir kisah rumah tangga yang ia inginkan tak kan pernah terwujud. Di rumah ini hanya ada tentang Nara-Kahiyang, bukan tentang dirinya dan Nara ... atau mungkin takkan pernah ada kisah mereka berdua.

Nara memang memperlakukannya dengan baik, tapi tetap saja tidak bisa menutup kekosongan yang menganga lebar di dadanya.

Lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar mereka. Kamar yang dulu ditempati dengan Kahiyang. Mengurung diri selama berjam-jam seusai menemani Gladis hingga tertidur. Tak jarang pula Nara tertidur meringkuk di atas ranjang dengan memeluk baju Kahiyang, yang memang ditinggal pemiliknya pergi.

"Ampun, Yang! Ampuni aku! Ampuni aku."

Igauan itu sering Gladis dengar dari mulut Nara, ketika ia memergoki suaminya tengah tidur meringkuk di kamar lamanya.

Gladis mengusap lembut rambut Nara. Visual suaminya kini membuat hati Gladis diremas kuat. Nara kurusan, ada cekungan hitam di bawah kedua matanya. Cambangnya yang semula menipis mulai melebat. Wajah lelah tercetak jelas di sana.

"Maafin aku, Nara. Maafin aku, Kahiyang!" Gladis terhisak lirih. Ia tak sanggup melihat Nara yang seperti ini.

Gladis akhirnya paham. Bahwa rasa Nara padanya hanyalah cinta kepada sahabat, bukan sebagai lelaki kepada wanita.

Gladis tak pernah protes, jika waktu Nara dihabiskan di dalam kamar ini. Ia cukup tahu, bahwa dengan berada di sini rasa rindu Nara sedikit terobati meski tak banyak membantu.

Gladis mengapai pigura yang berisikan foto pernikahan Nara dan Kahiyang. Ada senyum bahagia tercipta di bibir Kahiyang.

Wanita muda itu begitu tabah menjalani pernikahannya. Ia saja belum tentu bisa sesabar istri terdahulu, saat tahu bahwa ia seorang istri tapi tak bisa menjadi prioritas suaminya. Malah lebih mementingkan wanita lain, meski mereka bersahabat sekalipun. Sekarang ialah yang berada di posisi Kahiyang ... dan itu menyakitkan.

Gladis memilih meninggalkan Nara di dalam kamar itu dan memasuki kamarnya. Membiarkan air matanya meluruh karena sebuah penyesalan yang tak berujung.

.

.

70% narasi doang. Jadi ya maaf kalo bikin kalian bosen. Karena work ini tercipta dari asas suka-suka authornya.

Se-mood-nya si author nulis bab ini.

Bagi yang nungguin. Makasih bangeeeeet. Cipok dah. 😘😘😘

Happy reading gaes.

✩★✩★✩★✩

○◎○◎○◎

Surabaya, 24-09-2022
-Dean AkAkhmad

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro