5. Dari Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

✩★✩★✩★✩★

"Apa lagi ulahmu?" tanya Kahiyang melirik sebentar pada gadis di sebelah anaknya.

Ada bekas tamparan juga cakaran tercetak jelas di pipi gadis berambut panjang, yang tengah duduk bersisian dengan putrinya. Kahiyang meringis dalam hati mendapati Agni, nama yang sekilas ia baca dari name tag di atas saku seragam gadis itu. Rambut keduanya sama awut-awutan, tapi Agni lebih mengenaskan lagi. Hal itu jelas memperlihatkan jika gadis itu adalah korban keberingasan putri sulungnya.

"Bu Ajeng silakan duduk." Kahiyang menoleh begitu mendengar suara Pak Kepala Sekolah.

"Ah, iya, Pak." Nirbita memilih beranjak dari tempat duduk, mempersilakan sang Ibunda untuk duduk menggantikannya.

Kepala Kahiyang berdenyut nyeri begitu mendengar penjelasan dari Pak Kepala Sekolah perihal pertengkaran mereka berdua.

Astaga! Memejamkan mata sejenak, wanita berpakaian kantoran dengan celana kain berwarna hitam dan kemeja berlengan panjang itu menatap ke arah Agni di sebelahnya kemudian beralih melihat Nirbita yang malah asyik mengigiti kuku dari seberang Agni.

Ia akui jika si sulungnya berbeda. Iya, berbeda. Jika kebanyakan anak perempuan mempunyai sikap yang lemah lembut, santun, dan sebagaimana mestinya anak perempuan bersikap. Namun, tidak dengan putrinya ini. justru anak gadis yang ia miliki terkesan tomboy, kasar, blak-blakan, dan sedikit bar-bar. Ah, bukan sedikit, tapi memang bar-bar.

Suara pintu terbuka pun Kahiyang tak ia hiaraukan, kepalanya terlanjur pening. Kahiyang tak mau tahu. Sejenak tadi ia menghidu aroma parfum yang terasa familiar di hidungnya, tapi cepat-cepat ia membuang pemikirannya tersebut agar tak kembali merangsek memori yang sudah ia kubur.

Mana mungkin dia.

Kahiyang menggelang pelan dan kembali fokus memandang ke arah Pak Kepala Sekolah yang menjelaskan lebih detail lagi apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Hingga pertengkaran dua remaja ini tak terelakkan lagi.

Kahiyang hanya terlalu panik mendapati panggilan dari pihak sekolah karena putrinya berulah lagi. Lalu mendapati apa yang terlontar dari gadis muda yang berdiri di samping putrinya, sukses membuat dada Kahiyang berdenyut nyeri. Sesaat Kahiyang memandang ke arah Nirbita, lalu beralih menatap ketiga pemuda yang sama berdiri bersisian.

Nirbita.

Arjuna.

Rakabuming.

Abimanyu.

Mereka bukan anak haram.

Mereka punya Ayah, punya orangtua yang lengkap. Hanya saja ... mereka terlahir dengan keadaan ia sudah bercerai dari Ayah kandungnya.

Terlalu larut dalam pemikirannya, hingga mengabaikan sosok berjas abu-abu yang duduk membeku di sofa yang ada di pojok ruangan Kepala Sekolah dengan pandangan tak lepas dari Kahiyang.

Pria yang berumur awal empat puluhan itu memandang Kahiyang dengan tatapan sendu. Meski ia sendiri meyakini bahwa Kahiyang tak memperhatikan keberadaannya.

Setelah mengetahui dan meyetujui hukuman apa yang diberlakukan untuk keduanya, Pak Kepala Sekolah menginginkan keduanya sama-sama meminta maaf. Tidak ada pembenaran apa yang dilakukan Agni pun Nirbita. Mereka berdua sama bersalahnya. Berkata kasar dan menghina orang lain bukanlah perbuatan baik, juga Nirbita yang melakukan kekerasan fisik.

Menandatangani surat skorsing, Kahiyang langsung melotot pada Nirbita yang justru cengegesan, kemudian menyeretnya keluar ruangan setelah berpamitan pada Pak Kepala Sekolah dan meminta maaf pada Agni sebelumnya. Mengabaikan sosok pria yang sedari tadi duduk diam dan memilih menunduk saat Kahiyang melewati dirinya.

"Dasar anak nakal!" Kahiyang menjewer telinga Nirbita, hingga ia menjerit meminta ampun.

Beruntung saja sekolahan sudah sepi, hingga Nirbita tak lagi menahan image-nya sebagai gadis tomboy nan galak, tapi menjadi anak Bunda yang menjerit kesakitan.

"Akh ... akh ... Bun, sakiiit ...." Nirbita merintih kesakitan.

"Siapa suruh berulah? Bunda bosan selalu dipanggil sama kepala sekolahmu," tukas Kahiyang melepaskan jewerannya.

Kemudian beralih melihat ketiga anak lelakinya dengan berkacak pinggang, yang dengan kompak mengangkat kedua tangan mereka sebahu seraya mengendikkan bahu.

"Sudah tahu Mbak kalian rusuh, masih aja dibelain." omel Kahiyang yang membuat keempat anak kembarnya semakin cengengesan. Bukannya menurut, malah nyengir malah membuat Kahiyang melotot marah.

Semarah apa pun Kahiyang, tidak akan pernah bisa bertahan lama. Serentak keempat remaja itu memeluk tubuh kurus Kahiyang dan menempatkannya persis di tengah-tengah mereka. Malah terlihat seperti orang sedang berembuk.

"Kahiyang!" Seruan suara lelaki menghentikan acara pelukan mereka.

Tubuh Kahiyang membeku. Bukannya itu pria yang tadi ada di ruangan Kepala Sekolah? Bukan ia tak memperhatikan, hanya saja Kahiyang lebih fokus pada keempat anaknya. Daripada memperhatikan orang lain. Ia pikir pria itu ada urusan dengan Kepala Sekolah, jadi kahiyang tak mengacuhkannya.

Empat bersaudara itu melonggarkan pelukan mereka, dan memandang ke asal suara yang memanggil nama Bunda mereka.

"Mas Ian ...," lirih Kahiyang.

Lelaki itu menampakkan binar yang tak biasa, dan itu tak luput dari pandang menelisik dari keempat anak kembarnya. Menimbulkan kerutan di masing-masing dahi si kembar.

Sejenak mereka berempat saling melemparkan tatapan tanda tanya akan sosok lelaki yang mereka ketahui adalah ayah dari musuh Kakak sulungnya.

Tak ada jawaban, Nirbita hanya mengendikan bahu. Tanda ia memang tak tahu, kenapa pria matang berkacamata ini mengenal Bunda mereka.

Mata kedua orang dewasa itu saling bersirobok. Membuat gelenyar kerinduan tak mampu lagi Nara bendung dari kedua matanya.

Ingin rasanya ia merengkuh wanita yang sudah menggenggam hatinya itu, dan tenggelam dalam pelukan yang selalu diimpikannya selama ini. Mengatakan pada wanita itu, bagaimana ia sangat merindukan sang pujaan hati.

Kahiyangnya. Istrinya. Ibu dari anak-anaknya.

"Bun!" Panggilan Nirbita mengembalikan kesadaran Kahiyang yang kemudian memutus kontak mata mereka berdua. "Ayo kita pulang."

"Tunggu. Kahiyang!" seru lelaki berjas tadi seraya berjalan mendekati Kahiyang.

Belum sampai mendekat, Arjuna memotong pegerakkan lelaki tersebut. Tepat menutupi tubuh kecil Kahiyang. "Om kenal sama bunda kami?"

"Kami?" Lelaki berjas itu memandang satu persatu ketiga wajah muda yang berdiri di depannya.

Ya Tuhan, Mereka ....

"Om ...."

"Papa!" Teriakan Agni menginterupsi lelaki yang dipanggilnya Papa, mendatanginya dengan wajah cemberut.

"Agni."

"Ngapain, sih, Pa?" Agni memberikan tatapan menelisik, lalu beralih memandang ke arah Arjuna yang masih menatap Nara tak kalah menelisiknya. "Sana pulang! Ngapain kamu masih di sini?" Usirnya yang dibalas mereka dengan gendikkan tak acuh Arjuna.

Belum sempat Nara bersuara, mereka berlima memilih pergi dan menjauh. "Mereka kembar?" tanya Nara akhirnya.

Agni mengangguk "Yang barusan itu namanya Arjuna." Tunjuknya pada lelaki berambut rapi dan alami. "Yang rambutnya Pompadour Undercut, itu Rakabuming. Yang ada jambul khatulistiwa itu namanya Abimanyu. Kalo yang cewek ... papa pasti udah tahu dong namanya, dia Nirbita cewek paling tengil di sekolah."

"Nara!" gumam Nara yang mengeja namanya sendiri.

"Nara?" Agni mengerutkan kening, mendengar papanya bergumam.

Ada sisi tak terima mendengar Agni mengejek putrinya dengan sebutan anak haram. Demi Tuhan mereka anak hasil hubungan sah dalam sebuah pernikahan, bukan seperti apa yang sudah Agni tuduhkan.

Sekali lagi, Nara hanya bisa memandang kepergian kelima orang dari masa lalunya. Ada perasaan haru yang bercampur dengan sesal menjadi satu dalam dadanya.

Menyesakan memang, di kala ia ingin merengkuh kelima orang tersebut, dirinya bahkan tak dikenali oleh darah dagingnya sendiri.

Mungkin memang hukuman yang pantas untuknya, setelah apa yang ia lakukan terhadap Kahiyang.

Tidakkah wanita itu menceritakan siapa ayah mereka? Hingga saat mereka tengah saling menatap pun anak-anaknya tak mengetahui hal itu.

Sejahat itukah aku, Yang?

Akhirnya setelah penantiannya selama delapan belas tahun, Ia bisa bertemu dengan anaknya. Bukan hanya satu melainkan empat sekaligus. Bagaimana lagi ia bisa menutupi rasa bangga atas kehadiran keempat anak kembarnya.

Bahkan nama mereka kamu ambil dari namaku, Yang. Makasih, Kahiyang. Sudah menghadirkan mereka di dunia ini.◎●◎●◎●◎●◎

Cuma seuprit. Emak lagi migran soalnya. Selain itu ada lindu di rumah emak.

So, monggo di nikmati.

Cuz lah.

Surabaya, 26-09-2022
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro