6. Upaya Melupakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

✩★✩★✩★✩

Kahiyang membanting pisau yang ia gunakan memotong wortel tepat di atas talenan kayu. Seharian ini konsentrasinya buyar, hanya karena satu sosok yang muncul kemarin. Setelah delapan belas tahun ia berjuang membuang semua hal yang menyangkut pria itu, kini mereka justru kembali dipertemukan dalam satu scene yang tak terduga.

Haruskah perjuangannya kembali lagi ke titik awal?

Kembali ia menghembuskan napas berat, kemudian mencopot tali celemek yang dipakai dan menghempaskannya tepat di samping pisau tadi. Butuh berapa tahun lagi, dirinya harus merangkai kepingan hatinya yang terberai agar kembali utuh.

Meski kenyataannya, tak akan pernah bisa utuh seperti dulu. Sama seperti paku yang menancap di dinding, jika dicabut baik secara halus pun secara paksaan tetap meninggalkan lubang di sana. Sama halnya dengan hati milik Kahiyang sampai saat ini.

Membuka lemari es, Kahiyang meraih botol berisi air putih menenggaknya hingga tandas. Ia butuh mendinginkan kepala juga hatinya.

Lubang besar itu nyata dan masih tersimpan rapi di tempatnya. Tidak ada yang menduga jika Kahiyang yang mereka lihat, masih menyimpan bara yang sewaktu-waktu bisa saja membakarnya tanpa ampun.

Meski sempat menyesali keputusannya untuk kembali ke kota ini, tapi Kahiyang mengkukuhkan dirinya akan baik-baik saja.

Ya, Semuanya akan baik-baik saja. Mungkin ini saatnya harus kembali menghadapi luka tersebut dan berdamai dengan masa lalu yang belum terselesaikan. Jika luka fisik bisa disembuhkan dengan obat, maka luka batin hanya bisa terselesaikan dengan berjalannya waktu.

Inilah konsekuensi atas keputusannya untuk kembali. Mau tak mau, dirinya harus menerima. Terlepas dari peliknya upaya untuk melupakan sang mantan.

Hari itu.

Hari di mana ia menyadari jika dirinya tak pernah diinginkan kehadirannya. Kahiyang berusaha menulikan telinga dan membutakan mata. Mengamini dan meyakinkan diri, jika keputusannya pergi ke Solo mengikuti ayahnya, satu-satunya keluarga yang tersisa dalah hal yang terbaik.

Termasuk meninggalkan Nara dan semua kisah pedihnya.

Berupaya bahagia dengan mengais sisa kepingan hatinya yang tertinggal. Ia berusaha mencangkul dan memupuk sisa kebahagiaanya, juga atas keberadaan janin yang tertinggal di rahimnya. Walau harus bersanding dengan luka lainnya. Luka yang dulu pernah ditinggalkan oleh ayahnya.

Tak ada luka yang benar-benar sembuh. Jadi yang Kahiyang hanya butuh berdamai dan berkompromi dengan luka sebelumnya. Ia masih membutuhkan sandaran lain untuk bertahan hidup.

Kali ini saja ... ia ingin bersikap egois. Hanya untuk menyelematkan hatinya dari kehancuran yang lebih besar lagi.

Masih ada keluarga yang tersisa dan juga calon anaknya. Keluarga baru ayahnya menerima Kahiyang dengan lapang dada, menganggapnya sebagai anak sendiri. Bahkan ia mendapatkan satu sosok Kakak laki-laki yang tak pernah ia punya sebelumnya.

Sebelum kejadian di mana Nara melemparkan map biru tersebut, ada pasangan paruh baya datang ke rumahnya. Mengaku bahwa pria tua itu adalah ayahnya, yang pergi meninggalkan Kahiyang dan ibunya lima belas tahun yang lalu karena kemiskinan yang mendera keluarga mereka.

Awalnya ia masih begitu canggung menerima segala jenis perhatian dari keluarga baru ayahnya. Apalagi begitu tahu bahwa ia mempunyai seorang Kakak laki-laki yang bisa dibilang lebih dewasa. Namun, semua ketakutan Kahiyang tergantikan dengan kehangatan yang diberi keluarga barunya.

Ia tak menyesal mengikuti keluarga baru yang memang sangat ia butuhkan, dalam merangkai kehidupan yang baru di masa depan. Meski pada awalnya ia sempat merasa marah akan keputusan sang Ayah, karena meninggalkan Kahiyang dan ibunya. Toh, tidak mungkin selamanya ia membenci penyumbang utama DNA dalam dirinya.

Maka setelah ia menanda tangani surat gugatan perceraian tersebut, satu-satunya cara adalah menerima uluran tangan Hendrik untuk kembali membangun kehidupan baru baginya juga sang anak kelak. Kahiyang akan mengakhiri apa yang Nara inginkan.

Sudah tak ada lagi harapan untuk hubungan mereka.

Ia terpaksa kembali ke Jakarta, karena harus bertanggung jawab atas pembangunan cabang supermarket milik keluarganya. Karena untuk kali ini, Hendrik memang menyerahkan langsung pada Kahiyang. Baik secara tanggung jawab juga kepemilikan.

Padahal Kahiyang sudah merasa cukup dengan profesinya sebagai Dokter Umum seperti cita-citanya terdahulu.

Hendrik terlalu ngotot memberikan cabang supermarket miliknya untuk Kahiyang, sebagai salah satu warisan untuknya kelak. Semua saudaranya sudah mempunyai sendiri-sendiri.

"Bun," panggil Arjuna yang memeluk tubuh kurus Kahiyang dari belakang. Tak pelak hal itu mengaburkan bayangan masa lalunya.

"Ada apa, heum?" Kahiyang meletakkan botol kosong di atas meja dan menggapai tangan besar Arjuna yang memeluk pinggangnya.

"Pengen meluk aja." Arjuna semakin mengeratkan pelukkannya.

"Kamu kenapa, Mas? Tumben, sih?"

Di antara semua anak kembarnya, Arjunalah yang manja dengan Kahiyang. Bukan Arjuna saja, keempat anaknya sama-sama manja. Hanya saja Arjuna lebih dekat dengan Kahiyang, selain dengan Nirbita.

"Bunda banyak ngelamun sejak pulang dari sekolahan. Kenapa, Bun?"

"Nggak ada apa-apa, Mas. Bunda cuma agak lelah. Pembangunan Hi-Mart cukup nyita waktu dan tenaga. Belum lagi pasien di rumah sakit yang tiba-tiba membeludak."

"Juna sayang sama Bunda!" Kahiyang tersenyum lebar mendengar ungkapan sayang dari salah satu anak kembarnya.

"Bunda juga sayang sama Mas Juna, sama yang lainnya juga." Kalau saja mereka bukan ibu dan anak, siapapun yang melihatnya adegan pelukan tersebut akan bisa menyimpulkan mereka seperti sepasang kekasih.

Tubuh jangkung Arjuna mampu melingkupi tubuh kurus nan kecil milik Kahiyang. Jangan salahkan wajah wanita berusia tiga puluh delapan itu masihlah terbilang awet muda. Siapa yang menduga jika Kahiyang sudah mempunyai empat anak yang sudah menginjak usia remaja.

"Bun...," jeda sebentar. "Bunda kenal sama papanya Agni?" tanya Arjuna setengah berbisik.

Kahiyang menghela napasnya. Ia tahu cepat atau lambat anaknya akan menanyakan hal ini.

Papa Agni, ya? Harusnya Papa Bita. Kahiyang tersenyum miris mendapati secuil kenyataan yang baru ia ketahui.

"Kalo bunda jawab iya. Menurut, Mas Juna?"

"Kalo Juna bilang, Juna tahu semuanya gimana?"

"Maksudnya gimana, Mas?" Kali ini Kahiyang memutar badannya, hingga menghadap Arjuna yang masih memeluk pinggangnya.

"Juna tahu siapa papanya Agni, Bun."

Kahiyang tak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Kembali ia menghela napas dan mengurai pelukan anak keduanya. Merangkum wajah Arjuna, Kahiyang memandang sendu ke arah putra keduanya sembari tersenyum kecil. Ia tahu hari ini akan datang.

"Kamu lebih paham semuanya, Mas."

"Dia ... Ayah, kan, Bun?" bisik Arjuna, yang dibalas dengan tubuh tegang Kahiyang.





◎○◎○◎○◎○

Bhaks, suka2 apdetnya. Wkwkwkwkwkwk.

Sori ya kalo diluar ekspetasi kalian. Monggo dinikmati.

Sidoarjo, 29-09-2022
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro