7. Arjuna Bertemu Nara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menyalahkan matahari yang bergerak sesuai dengan orbitnya pun tak mungkin bisa Juna lakukan, sama halnya dengan ia menyalahkan takdir.

Hal yang sia-sia saat ia mencoba mengutuk pertemuannya dengan sosok lelaki tersebut, karena Sejak hari itu ia tahu bahwa hidupnya tak akan lagi sama seperti dulu.

Cukup ia saja yang mengetahui siapa lelaki yang berstatus sebagai Papa Agni. Beberapa tahun lalu, saat ia masih duduk di bangku SMP. Arjuna tanpa sengaja menemukan selembar foto yang terselip antara tumpukan surat-surat, yang ada di laci kamar bundanya. Masih jelas dalam ingatannya jika foto yang diambil saat mereka melangsungkan akad nika itu adalah ayahnya.

Narayan Abdi Mahesa

Dalam potret itu, bundanya tersenyum begitu bahagia. Seolah-olah si wanita baru saja mendapat sesuatu yang sangat berharga, sedangkan pria di sampingnya hanya menampilkan seraut wajah datar tanpa senyum.

Penemuannya itu membuat Juna berpikir keras jika pria itu adalah Ayah kandung yang selama ini tak pernah ia lihat. Ia masih ingat bentuk wajah yang kala itu masih terlihat muda, bahkan sampai saat ini tidak banyak perubahan. Selain wajahnya yang terlihat sedikit menua dimakan usia.

Ingin rasanya ia menanyakan langsung pada Kahiyang, tapi akhirnya ia tak pernah mampu mengutarakannya, karena Juna tahu bahwa pertanyaan mengenai siapa ayah kandung mereka, bisa saja membuat first lady-nya akan terluka karena membuka luka lama.

Bukan hal mudah, menyimpan rahasia akan jati diri ayah kandungnya. Ada disaat ia teramat ingin mengungkapkan pada ketiga saudara kembarnya, tapi kembali ia harus menutup mulut rapat-rapat dan berpura-pura tak mengetahui rahasia itu.

Kahiyang sendiri bahkan tak pernah membahas hal ini dan Juna hanya bisa menduga-duga jika kisah rumah tangga bundanya tak baik-baik saja.

Dulu, ia selalu bertanya dalam hati. Ke mana ayahnya? Di mana ayahnya? Kenapa ia dan saudaranya tak mempunyai sosok ayah? Hal itulah yang membuat Juna begitu iri dengan teman-temannya yang mempunyai ayah.

Ia juga ingin punya ayah, tapi Juna tahu itu adalah hal yang mustahil terwujudkan.

Kedudukannya memang anak kedua, tapi Juna memposisikan diri selayaknya anak tertua dan menuntut diri sendiri agar bersikap lebih dewasa lagi, memahami hal yang saudara lainnya tak pahami. Juga untuk menjaga saudaranya yang lain. Meski si anak sulung adalah milik Nirbita.

Kemunculan pria itu akan segera merubah segala keadaan yang sudah tertata rapi, cepat atau lambat semuanya takkan lagi bisa disembunyikan.

Menghembuskan napasnya sebentar. Arjuna menatap bangunan berlantai delapan yang berada di hadapanya dengan tulisan besar tepat berada di tengah-tengah pintu lobi utama, yang secara tidak langsung menghalangi orang berdiri di luar gedung melihat langsung ke dalam area lobi.

KHY GROUP

Arjuna menggaruk kepalanya yang tertutup hoodie jumper berwarna merah hijau army, menutupi setelan seragam sekolah yang melekat sempurna hanya memperlihatkan celana abu-abunya.

Ia harus beralasan, agar bisa memisahkan diri dari saudara kembarnya yang lain. Hanya untuk bisa datang ke tempat ini.

Kegamangan jelas berada di posisi teratas dalam otak Arjuna, antara ingin memasuki gedung tersebut atau tidak.

Lalu, apa yang akan ia lakukan selanjutnya setelah memasuki gedung?

Juna mengeram, merutuki kebodohannya. Tadi yang ia pikirkan adalah mendatangi tempat ini, setelahnya bisa ia pikirkan ulang. Ia hanya penasaran, bagaimana kehidupan sang Ayah tanpa ada ia dan saudara-saudaranya juga bundanya.

Namun, melihat tinggi gedung ini membuat nyali Arjuna seketika menciut. Ternyata pria itu adalah orang yang kaya dan sepertinya dia terlihat baik-baik saja tanpa kehadiran mereka. Buktinya dia mempunyai Agni, itu artinya sang Ayah sudah mempunyai keluarga baru setelah berpisah dengan ibunya.

Memasukkan kedua tangannya ke dalam masing-masing saku jumper-nya, Arjuna memutuskan untuk berbalik dan pergi saja. Ia sudah tak ingin ke sana lagi.

Belum juga menjajakkan kaki satunya, sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Arjuna."

Untuk sesaat tubuh Juna membeku, bahkan seperti ada yang mengikat kuat kedua kakinya. Membuat ia tak sanggup bergerak maupun menoleh, meski hanya sekedar melihat siapa yang memanggil namanya.

"Kamu, Arjuna, kan?"

Dengan tubuh sekaku kayu, Arjuna membalikkan tubuhnya perlahan, membuat manik mata Juna bertemu dengan manik mata penyumbang utama penuh DNA yang mengalir dalam dirinya dan ketiga saudara kembarnya.

. . . . .

Keheningan menyelimuti mereka, meski keadaan kafe siang ini cukup ramai pengunjung untuk makan siang.

"Kamu apa kabar, Jun?"

"Baik."

"Ibu dan saudaramu yang lainnya gimana?"

"Baik dulu dan sekarang, kami semua baik-baik aja." Jawaban Arjuna yang singkat padat dan jelas membuat Nara tak mampu berkata-kata lagi. Selain itu juga dirinya tak pandai berbasa-basi.

"Arjuna, ada apa ke kantor Ay ...."

"Tau dari mana kalo aku Arjuna?" tanyanya setelah menandaskan jus melon miliknya.

"Saya ... masih inget apa yang dikatakan Agni, mengenai ciri-ciri kamu tempo hari. Lagi pula kamu itu ... "

"Om," potong Juna menatap lurus ke arah Nara.

Ucapan Nara terlantar di udara. Bahkan lidahnya serasa kelu sesaat ingin mengucapkan kata 'Ayah'. Ada retakan tak kasat mata yang tiba-tiba saja ada. Membuat Nara tak bisa menahannya lebih lama. Retakan itu rasanya begitu menyakitkan.

Sejenak ia menelisik sosok pemuda yang ada di hadapannya. Bentukan Arjuna jelas copy-paste dari bentukan fisiknya, meski ada beberapa bagian yang mengingatkannya akan sosok Kahiyang. Namun, secara keseluruhan dari Arjuna adalah dirinya dalam versi muda.

Demi Tuhan! Nara begitu terintimidasi dengan pandangan lurus milik Arjuna. Jangan lupakan ekspresi datar milik putra keduanya ini. Membuat Nara meremas celana kainnya. Kentara sekali ia merasa gugup.

Jika biasanya orang lain yang selalu terintimidasi dengan tatapannya, kini giliran Nara yang merasakan hal itu.

Sungguh, rasanya begitu tak menyenangkan. Dan sekarang ia tahu bagaimana rasanya terintimidasi dan gugup secara bersamaan.

"Juna tahu siapa, Om."

Empat kata yang membuat jantung Nara anjlok ke dasar perutnya, berkumpul dengan usus besar yang membuat perutnya mendadak mual. Bahkan ia melupakan bagaimana cara bernapas dengan benar, karena untuk sesaat paru-parunya menciut karena pasokan oksigen yang terhenti.

"Jun ...." Juna mengangkat sebelah tangannya.

"Juna hanya ingin tahu. Bagaimana rupa penyumbang DNA terbesar untukku dan ketiga saudaraku."

Nara tak bisa berkata apa-apa, hanya memandang sendu ke arah Juna.

"Om cukup tau aja, kalo Juna dan saudara yang lainnya baik-baik aja. Termasuk, Bunda."

Nara seakan menelan duri yang tersangkut di tenggorokannya. Sungguh itu menyakitkan. Anaknya sedekat ini tapi tak mampu ia sentuh.

Ya Tuhan! Nara mengutuk kesalahannya yang menelantarkan mereka, bahkan sebelum mereka lahir ke dunia ini. Remaja ini bahkan tak mau repot-repot menyebutnya Ayah dan lebih memilih memanggil om.

Bodohnya kamu Nara. Justru dianggap orang asing oleh anakmu sendiri.

"Juna, bolehkah Ay-"

Dering ponsel Juna berdering dari dalam saku, kembali membuat suara Nara tertahan.

"Wa'alaikumsalam. Iya, Yah?"

Jantung Nara seperti berhenti berdetak ketika Juna memanggil 'yah' yang ia asumsikan sendiri penggalan dari kata Ayah.

Bolehkan Nara berharap, dirinya dipanggil Ayah oleh putranya sendiri.






★✩★✩★✩★✩

Surabaya, 29-09-2022
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro