Bab 25 : Berdamai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menatap nanar deretan obat dalam kantong plastik bening di tangannya. Ia tak pernah menduga jika akan kembali mengonsusmi obat-obatan ini lagi. Atau ... memang Gladis tidak benar-benar bisa lepas dari ketergantung akan butiran-butiran pahit tersebut.

Ia akui jika akhir-akhirnya pikirannya semakin menggila, bahkan ilusi akan Kahiyang yang tertawa dengan wajah penuh air mata sempat menghantui malam-malamnya.

Mengembuskan napas panjang, ia tak boleh gila sekarang ini. masih banyak yang harus ia luruskan pun perbaiki, setidaknya itu bisa mengurai belitan rasa bersalahnya pada banyak orang. Terlebih meminta maaf pada Lintang dan Kahiyang, dua orang yang sudah ia hancurkan hidupnya.

Mungkin ini memang karmanya karena sudah merusak ikatan suci antara Nara dan Kahiyang, juga memisahkan ayah dan anak yang seharusnya bisa hidup berbahagia. Namun, karena keegoisannya itulah ia menghancurkan hidup banyak orang. Dan ... kini ia sudah menuai apa yang ditaburnya.

Ia ingin bahagia, tapi tak pernah benar-benara bahagia.

Langkah kaki Gladis terhenti, mendapati sosok Lintang yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. Pria itu sedang asik dengan ponselnya.

Perasaan Gladis campur aduk melihat pria di depannya. Ia memang ingin memperbaiki apa yang sudah ia rusak, tapi Gladis cukup tau diri jika hal itu tak akan pernah muda. Ia juga merasa malu.

Malu akan segala hal yang sudah dilakukannya di masa lalu.

Seharusnya ia bisa bahagia dengan Lintang dan Agni, jika saja Gladis tak egois juga serakah di masa lalu. Namun, kenyataannya ia tak pernah bisa memiliki semua yang diinginkan.

"Lintang ...," lirih Gladis dengan mata berkaca-kaca.

Sedang sang pemilik nama seakan ada yang memanggil sekaligus menatapnya, membuat Lintang mengangkat kepalanya dari layar ponsel. Mata awas Lintang menangkap keberadaan Gladis yang juga menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Baik Lintang atau Gladis, keduanya terpaku di tempat masing-masing. Sama-sama memiliki perasaan yang berkecamuk tak menentu.

Di sinilah mereka, duduk berhadapan di kantin rumah sakit dan saling berdiam diri. Saling menatap cangkir kertas yang berisi kopi yang mungkin saja sudah tak sepanas tadi.

"Gimana kabarmu, Lin?" Akhirnya Gladis membuka mulut. Wanita dengan kemeja polos merah hati itu tengah menatap lekat ke arah Lintang, yang memberikan tatapan teduhnya. Sama seperti dulu ....

Gladis tersenyum tipis, bahkan mungkin tak kentara sama sekali. Setelah sekian tahun ... ia merindukan tatapan Lintang. Hanya dengan tatapan dari sepasang mata cokelat Lintang, mampu membuat Gladis merasa aman. Melalui mata itu ... Gladis jatuh sayang pada pria di depan ini.

"Kabarku ... baik, kabarmu?" Gladis menggeleng pelan, tanpa mampu menatap mata Lintang.

"Aku nggak pernah baik-baik aja, Lin ...," Gladis menoleh pada kerumunan salah satu kios makanan di kantin rumah sakit.

"Gimana kabar Agni?" Mendengar nama putrinya di sebut, membuat Gladis menoleh dan menatap Lintang dengan kening berkerut.

"Kamu ... tau Agni?"

"Kapan hari aku dan Nara ketemu. Dia cerita soal Agni ... ternyata aku punya anak perempuan, ya." Lintang terkekeh pelan. "Makasih udah ngasih nama keluargaku di belakang nama Agni."

Kembali mata Gladis berkaca-kaca. Tenggorokannya benar-benar terasa sakit, seperti ada duri yan tersangkut di sana. Membuat suara Gladis terlalu sulit untuk keluar. "Terima kasih udah mau melahirkan dan membesarkannya," lanjut Lintang akhirnya mengambil gelas kopinya dan menyesapnya.

"Maafin aku, Lin ...," Akhirnya kalimat itu mampu Gladis keluarkan meski sedikit tersendat. "Maaf ... andai dulu aku nggak bertindak egois ... mungkin kita ... aku, kamu, dan Agni ...." Air mata Gladis jebol ia tak bis lagi menahannya.

Segala hal yang sedari tadi berkecamuk di dalam dadanya tak bisa ia tahan lagi, sedangkan Lintang hanya diam dan tertunduk. Pria itu memilih membiarkan mantan kekasihnya menumpahkan semua kesakitan yang selama ini dipendamnya.

"Maaf .., aku nggak bisa menahannya lagi," ucap Gladis mengambil sapu tangan yang disodorkan Lintang di atas meja. Membersit sisa ingus dan menghapus jejak air matanya Gladis kembali melihat ke arah Lintang, lagi-lagi tatapan teduh itu benar-benar membuat hati Gladis ingin menangis.

"Ucapan maafmu ndak akan bisa mengembalikan apa yang udah terjadi, Dis. Ndak akan bisa juga untuk diubah lagi. Semua udah berlalu. Keputusan impulsifmu melukai banyak orang, termasuk Kahiyang dan anak-anaknya."

"Aku tahu, Lin. Aku ... bener-bener egois saat itu." Lintang mengangguk pelan, membenarkan ucapann Gladis.

"Apa kamu bahagia, Dis?" Pertanyaan sederhana dari Lintang justru terasa begitu menohok dan menyakitkan terdengar di telinga Gladis.

"Aku ... sama sekali nggak bahagia, Lin."

"Lalu apa yang membuatmu bertahan? Kamu menghancurkan kisah orang lain, hanya untuk mewujudkan kisahmu sendiri, apa menurutmu itu sebagai kebahagiaan?" Lintang sendiri tak mampu menahan gejolak dalam dirinya.

Mungkin memang saatnya mereka berdamai dengan masa lalu, yang masih menghantuinya. Delapan belas tahun ia menahan semua kesakitan ini. Meski ia juga termasuk sebagai penyebab semua ini terjadi.

Semua yang terjadi bukan hanya kesalahan Gladis, tapi Lintang juga. Jika dulu ia tak menghamili Gladis, mungkin cerita mereka tidak serumit sekarang. Apa yang terjadi sekarang adalah akibat dari kelakuannya di masa lalu.

"Aku tau ... kesalahanku bener-bener menghancurkan mimpi, bahkan hidup banyak orang. Apa yang harus aku lakuin, Lin? Aku ingin memperbaiki apa yang sudah aku rusak, seenggaknya rasa bersalahku berkurang. Aku ... bener-bener dihantui rasa bersalah ini."

"Delapan belas tahun, Dis ... aku dihantui rasa bersalah sama anakku. Seperti apa dia? Apa dia laki-laki atau perempuan? Apa dia serupa denganku? Ada penyesalan dalam diriku, Dis. Aku pengin jadi orang yang mengajarinya untuk pertama kali. Mengajarinya jalan, mengajarinya naik sepeda, dan mengajari banyak hal untuknya ...," Lintang mendongakan kepala dan berkedip, mencoba menghalau air mata agar tak berjatuhan. "Penyesalanku adalah aku ndak bisa memberikan kasih sayang yang sama besarnya dengan Ambar. Agni juga anakku, tapi dia begitu asing." Lanjut Lintang mengeluarkan apa yang selama ini ia pendam.

"Maaf ...." Hanya sepenggal kalimat itu saja yang keluar dari mulut Gladis.

"Aku udah maafin kamu ... ini semua juga ada andilku. Mungkin ... kalo dulu aku berusaha lebih keras lagi meluluhkan egomu, bisa jadi kita menjadi keluarga bahagia seperti yang lainnya." Menghela napas panjang, Lintang memang harus mengambil keputusan ini.

"Semua ini emang salahku, Lin. Kamu nggak sepenuhnya salah."

"Kita sama-sama bersalahnya, Dis. Dan ... Agni yang menjadi korban dari kesalahan kita ini."

"Ya ... keegoisan orang dewasa, yang membuat Agni jadi korbannya."

"Boleh aku ketemu sama Agni?" Lintang memang ayahnya, tapi berada jauh dari darah dagingnya memberikan batasan tak kasat mata di antara keduanya. Gladis lebih berhak atas diri Agni, daripada dirinya.

"Kamu ayahnya, Lin. Tentu aku kasih ijin. Mungkin ... ini saatnya dia tahu siapa ayah kandungnya."

Lintang tersenyum tipis. "Kisah kita emang udah usai, tapi hubungan orang tua selamanya akan selalu terikat dan mengikat. Selamanya Agni adalah putriku, dan kamu adalah ibunya."

Ya ... kisah mereka telah usai.

Makasih ... udah mau berdamai denganku.

#########

Alhamdulillah, part ini kelar. muehehehhehehehe ..


Surabaya, 6 Januari 2023

-Dean Akhmad

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro