Bab 24 ; Pertengkaran Ibu dan Anak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Agni ... kamu mau ke mana, malam-malam gini?" tanya Gladis mendapati anak gadisnya mencangklong tas selempangnya, saat menuruni tangga.

"Pergi," jawab Agni sekenanya tanpa menatap sang Ibu. Gadis itu lebih memilih mengikat rambutnya asal lalu mengikat tali sepatunya.

"Ini udah jam sepuluh, mau ke mana malam-malam begini?"

"Bukan urusan, Mama."

"Kamu putri Mama, Agni. Jelas urusanmu juga urusan Mama." Gladis melempar asal lap dapur yang ia pegang dan menghampiri Agni yang sudah bersiap-siap pergi.

"Nggak usah ngurusin hidupku, Ma."

"Mana bisa Mama nggak ikut campur, Ni." Gladis memegangi lengan Agni agar terus menatapnya. "Kamu anak Mama."

Agni terkekeh sinis, "Tau apa Mama soal aku?" Tatap Agni intens.

"Mama ...." Sayangnya Gladis tak begitu banyak tahu soal putrinya sendiri.

"Nggak bisa jawab, kan?" timpal Agni terkekeh meremehkan kediaman mamanya.

"Kamu kenapa? Kenapa kamu jadi begini sekarang?"

Agni mendengus mendengar pertanyaan Gladis. "Kenapa Mama tanya aku? Bukannya Mama udah tau apa penyebabnya? Jadi nggak usah pura-pura bodoh, deh, Ma." Salak Agni.

Kejadian dua bulan lalulah yang sudah mengubah segala hal pada diri Agni. Ia bukan lagi gadis yang sama seperti dulu. Title anak haram seakan menghantui kehidupannya sekarang, apalagi kalau sampai teman sekelas bahkan satu sekolah tahu. Bagaimana nasibnya kelak? Ia takut dikucilkan, ia takut dirisak, juga takut dijauhi oleh teman-temannya. Terlebih lagi Satya. Bagi Agni Satya adalah sahabat sekaligus tumpuan yang ia punya.

Satya selalu ada disaat ia butuh, selalu menemaninya tanpa ia minta sekalipun. Satya akan selalu di sampingnya. Agni tak bisa kalau harus kehilangan Satya, tidak akan pernah bisa dan siap. Satya segalanya untuk Agni.

Ia hidup, tapi tak berasa seperti hidup. Semua serba abu-abu untuknya kini. Semenjak kejadian itu, baik hubungannya dengan Nara atau Gladis benar-benar kacau. Ia begitu merindukan momen-momen bahagia bersama Nara.

Tapi ... begitu mengingat jika Nara bukan ayah kandungnya, membuat dada Agni kian sesak. Lalu dia anak siapa? Untuk kali ini ia benar-benar membenci ibunya.

Jika ia anak haram, itu berarti ibunya adalah wanita simpanan? Ibunya tak pernah menikah dengan Nara.

Membayangkan hal itu membuat Agni muak. Ia berharap terlahir dari keluarga baik-baik, tapi kenyataan menamparnya kelak. Ia hadir di luar pernikahan yang sah. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah kehadirannya membuat satu keluarga hancur dan itu ulah ibunya.

Kenapa takdir sekejam ini kepadanya?

Apa kehadirannya memang membawa sial?

Malam ini adalah malam kesekian Agni dan Gladis berdebat. Agni yang merasa tersakiti dengan keadaan ini, dengan Gladis yang terlihat pura-pura bodoh dengan kondisi anaknya sendiri.

"Kenapa kamu seperti ini?" Gladis tak bisa lagi memendam rasa keingintahuannya. Ia selalu menduga-duga apa yang dilakukan anaknya yang hampir setiap hari keluar malam dan pulang begitu larut.

"Nggak usah pura-pura gila, Ma. Semua ini karena Mama. Aku benci sama Mama! Kenapa sih, Mama harus ngerusak rumah tangga Ayah Nara? Coba kalo Mama waras? Aku nggak akan terlahir sebagai anak haram! Mama nggak tau kan semenakutkan apa hidupku sekarang? Gimana kalo temen-temen aku tau kenyataannya?

Aku sering ngolokin Nirbita kalo dia dan sodaranya anak haram, tapi kenyataannya justru aku yang anak haram. Gimana jadinya kalo temen-temen tau? Terus aku di-bully sama mereka? Mau ditaruh di mana mukaku, Ma?" Agni setengah berteriak mengeluarkan unek-uneknya yang selama dua bulan ini dipendam.

"Kenapa Mama diam?" tanya Agni saat tak mendapat jawaban dari pertanyaannya. "Aku malu, Ma, buat masuk sekolah. Title anak haram bikin hidupku nggak tenang. Belum lagi saat mereka tau kalo Mama ternyata wanita simpanan suami orang."

Plak!

"Mama bukan wanita simpanan."

Memegangi pipinya yang berdenyut nyeri, Agni menatap nyalang ke arah Gladis yang sudah berlinang air mata. Wanita itu menatap tak percaya tangan yang sudah menampar putrinya.

"Lalu apa sebutan bagi wanita yang merusak rumah tangga orang lain, Ma? Aku benci sama Mama." Merasa tak sanggup lagi berdebat dengan ibunya. Agni memilih pergi begitu saja. Mengabaikan Gladis yang terduduk di lantai. Matanya berembun, tertutupi oleh air mata saat melihat Agni menghilang dari balik pintu utama.

Tangisannya pecah. Gladis memukuli dadanya yang sesak. Setelah Nara pergi dengan membawa kebencian, kini Agni pun sama bencinya. Bahkan ucapan kebencian yang terlontar dari mulut putrinya, seperti sebuah sembilu yang ditancapkan secara tiba-tiba. Lalu ditarik lagi secara paksa dan ditikamkan lagi.

Ia kalah.

Semuanya sudah terbongar, tak ada lagi yang tersisa dari apa yang selama ini Gladis upayakan. Kebahagiaan yang coba ia raih dari hasil merebut sama sekali tak menghasilkan kebahagiaan yang diinginkannya.

Segalanya lenyap.

Apa yang coba ia genggam, perlahan-lahan justru terlepas. Tidak ada yang tersisa. Menangis tergugu. Semua memori yang bertahun-tahun lalu ia kubur mencuat ke permukaan.

Bayang-bayang Lintang yang selalu memohon agar mereka kembali bersama, agar kelak anaknya memiliki keluarga lengkap. Namun, sayangnya Gladis memilih mengabaikan hal tersebut. Dan lebih memilih mengahncurkan rumah tangga Nara, hanya demi keegoisannya.

Sekarang ... ini, hasil yang ia tuai dari apa yang Gladis tanam bertahun-tahun lalu. Sekalipun ia memiliki raga Nara, tapi tidak dengan hati pria itu. Semuanya bagai fatamorgana yang Gladis ciptakan.

Karena tak sanggup lagi menahan sesak di dada Gladis hanya bisa berteriak, demi mengurai perasaan bersalahnya. Alih-alih merasa lega, justru ia merasa semakin terasa menyakitkan.

Ia menghancurkan rumah milik Kahiyang, dan membangun rumahnya di atas puing-puing asa Kahiyang. Tidak ada kekokohan di sana, Gladis justru dihantui kecemasan. Setiap hari ia selalu merasa was-was, jika suatu saat rumah yang ia bangun bisa roboh kapan saja. Bukan hanya roboh, rumah itu sudah hancur. Luluh lantak dengan semua kebobrokan yang membangun pondasinya.

Tidak ada yang tersisa.

Kini ia tahu bagaimana rasanya dihancurkan sedemikian rupa, tanpa bisa meminta bantuan orang lain dan berharap akan ada yang menolongnya. Bayangan Kahiyang yang menangis kala itu, terngiang di kepala Gladis. Lambat laun, tangisan Kahiyang berubah menjadi kekehan yang terdengar mengerikan.

Kahiyang yang tertawa lebar dengan wajah penuh air mata, membuat Gladis tak mampu lagi menahan bayangan itu menyusup ke kepalanya. Suara tawa Kahiyang terdengar mengerikan di kepala Gladis.

Berusaha menutup kedua telinganya, tapi tetap saja suara tawa itu masih menyusup. "Berhenti ketawa, Yang. Aku benci denger suara ketawamu itu, berhenti!"

Nihil!

"Pergi! Pergi! Pergi!" teriak Gladis yang menghempas benda-benda yang berada di atas meja makan. "Pergi, Yang! Pergi! Aku mohon pergilah."

Mengabaikan rasa sakit di kakinya, Gladis memilih pergi ke dalam kamarnya. Kali ini justru ia melihat Kahiyang yang berada dalam cermin dengan tertawa, membuat Gladis mengambil apa saja yang bisa digapai dan melemparkannya ke kaca tersebut.

"Aku bilang pergi!"

Gladis meringkuk di atas ranjang dengan tubuh bergetar ketakutan, membiarkan ilusi yang ia ciptakan sendiri mengerogotinya.

^^^^^

Surabaya, 03 Januari 2023

-Dean Akhmad_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro