7 - Kecemburuan yang Menguasai Ian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Netra biru Ian menatap tajam Scarlett, napasnya memburu menahan amarah,  “Jadi, bisa kau jelaskan padaku kenapa kau berpura-pura mabuk dan masuk ke apartemennya, Scar?”

Scarlett tampak tenang, dia melipat tangan di dada, dan duduk bersilang kaki, “Apa kau takut aku diapa-apakan?”

Ian tertawa sarkas dan menggeleng pelan, “Ayolah, Scar. Jangan mengalihkan pembicaraan. Kita tahu manusia tidak akan bisa menyakiti kita. Mereka lebih lemah daripada kita.”

“Aku mengincarnya, Ian.” Scarlett bangkit, menuju kulkas.
“Apa? Apa aku tidak salah dengar?!” tanya Ian dengan nada meninggi.
“Ya. Untuk pertama kalinya aku ingin mempunyai hubungan dekat dengan manusia.” Scarlett membuka kulkas, mengeluarkan sebotol wine dan menuangnya ke dalam gelas. Wine memberikan sensasi hangat di tubuhnya.
“Scar! Apa kau sudah gila?!” Ian sontak berdiri.
“Kita hidup berdampingan dengan manusia, Ian! Apa salah kalau aku ingin menjalin pertemanan dengan mereka? Aku yakin banyak vampir di dunia ini yang diam-diam bisa berteman dengan manusia!”
“Iya, tapi bukan kita, Scar. Kita hanya akan berhubungan dengan manusia dengan alasan pekerjaan. Jika tetua tahu, kau akan habis! Kau tahu kejadian tiga tahun lalu, kan?”
Scar tertawa, “Itu cuma legenda, Ian. Diceritakan untuk menakut-nakuti kita. Vampir bernama Regina itu kecelakaan, bukan kena kutukan.”
“Scar!” Ian melangkah dengan cepat dan meraih bahu Scarlett agar hingga berhadapan dengannya. “Kau meragukan kekuatan tetua dan bangsa kita? Meskipun kita sudah berevolusi, darah vampir kita tidak akan pernah hilang. Kita masih vampir yang dipercayai manusia-manusia lemah itu. Kuat, mistis, dan menakutkan bagai monster.”
“Aku tahu. Aku tak akan lupa itu.” Scarlett menenggak winenya dan mengalihkan pandangan. Entah kenapa tatapan Ian sangat membuatnya terganggu.
“Lalu kenapa kau melakukan ini?” cengkeraman tangan Ian di bahu Scarlett menguat.
“Aku juga tak tahu, Ian. Aaron sangat membuatku penasaran. Dia bukan manusia jahat seperti yang kita tahu selama ini. Dia bahkan menyelimutiku dan tidak membangunkanku lagi di apartemennya.”
“Jangan bodoh, Scar! Jika dia tahu siapa kita yang sebenarnya dan kabar itu menyebar, bangsa kita akan terancam, Scar!”
“Apa kau ingat blackforest yang kau makan saat pertama ke apartemenku? Aaron yang membuatnya.”
Tatapan Ian menajam, “Apa? Jadi, kue itu pemberiannya? Kau berteman dengannya selama ini?”
Scarlett menampik tangan Ian dari bahunya, “Bukan begitu, Ian. Tas kue kami tertukar dan akhirnya kuenya yang kubawa. Aku merasa aneh ketika memakan kue itu. Apa kau percaya kalau aku bilang energiku kembali penuh padahal baru makan tiga suapan?”
“Apa kau bilang?”
“Aku tidak berbohong, Ian!”
“Aku juga memakannya, tak ada yang istimewa.”
Mata Scarlett menerawang, “Itu juga yang kubingungkan. Karena itu aku harus mencari tahu. Dia harus mau membuatkanku kue lagi. Sepertinya tak sulit karena dia seorang food blogger.” Pandangan Scarlett beralih ke arah Ian, “Aku ingin berteman dengannya agar aku bisa memakan kue buatannya. Hanya itu, Ian.”
Mendengar itu, seakan ada api yang membakar seluruh tubuh Ian.
“Tetap saja. Aku tak suka kau berteman dengan manusia. Selain itu, akan ada konsekuensi kalau kau mempunyai hubungan dengan manusia. Sesempurnanya vampir berevolusi, vampir tetaplah menjunjung tinggi tradisi ratusan tahun bahwa bangsa vampir hanya boleh menikah dengan bangsa vampir.”
Scar tertawa. “Menikah? Ayolah, Ian. Aku tidak berpikir sampai sana. Aku hanya ingin kue buatan Aaron dan mencari jawaban atas pertanyaanku. Jadi, jangan campuri urusanku.”
Tangan Ian mengepal, entah kenapa dadanya terasa seperti tertusuk beribu jarum ketika mendengar Scarlett menyebut nama manusia itu.
“Baiklah. Lakukan sesukamu! Tapi jika terjadi sesuatu yang membahayakan bangsa kita ataupun dirimu, aku tidak akan segan-segan menghancurkan manusia itu dan kau tidak dapat menghentikanku, Scar.”
Ian berbalik dan pergi ke arah pintu, meninggalkan Scarlett yang masih berdiri terpaku.
***
Aaron menatap nanar jendela pesawat. Bayangan Scarlett yang menangis tak henti memenuhi benaknya. Dia menggeleng kuat-kuat. Kenapa Aaron malah kepikiran Scarlett?
“Aaron?”
Aaron terhenyak ketika merasakan tepukan pelan di pundaknya.
“Are you okay?” tanya seorang lelaki di sampingnya.
“Tak apa, Bryan.”
“Apa yang sedang kau pikirkan hingga tak mendengarkanku berbicara?” tanya Bryan, pemuda berambut jabrik itu.
Aaron menggeleng, “Tidak, Bryan.”
“Apakah sedang memikirkan wanita?”
Aaron melebarkan mata, “Bryan?”
“Apa itu benar?” Bryan tertawa renyah.
Aaron mengalihkan pandangan ke jendela pesawat, “Ya. Ah, entahlah. Dia tiba-tiba saja muncul di pikiranku. Pertemuanku terakhir kali dengannya membuatku tidak nyaman. Awalnya dia sangat mengingatkanku pada Regina, tapi tiba-tiba saja dia selalu muncul di benakku.”
“Apa kau jatuh cinta dengannya?”
“Apa?” Aaron menggeleng, “Tidak. Tapi aku tak tahu kenapa terus memikirkannya. Terakhir bertemu, dia tampak sangat rapuh.”
“Yah... pokoknya selesaikan permasalahanmu Aaron. Jangan sampai saat kita bekerja, kau tidak fokus. Kali ini kita akan bekerja sama dengan restoran yang cukup terkenal di Osaka. Pemiliknya adalah Mr. Harada, koki yang juga lumayan handal. Kita harus menulis ulasan yang detail dan penuh foto menggoda.”
Aaron mengangguk, “Maafkan aku. Terima kasih karena sudah membantuku selama ini, Bryan. Aku bangga mempunyai ghost writer sepertimu, kau bahkan rela merangkap jadi manajerku.”
Bryan menepuk bahu Aaron. Menjadi teman Aaron bertahun-tahun, membuat Bryan mengetahui seluruh kisah Aaron. Karena trauma masa lalu, Aaron berhenti menjadi pattisier dan memutuskan menjadi food blogger dengan bantuan Bryan. Meskipun Aaron merupakan food blogger yang terkenal, tapi dia mempunyai rahasia besar tentang profesinya yang disimpan dari semua orang.
“Sama-sama, Aaron.”
***
“Scarlett mendekati manusia,” ujar Ian kepada seseorang yang duduk di hadapannya. Ian sedang duduk di sebuah kafe dengan masker, jaket hoodie, dan topi untuk menyamar. Bisa gawat jika dia yang merupakan aktor terkenal berkeliaran di tempat umum. Paparazi atau orang yang mengenali wajahnya bisa mengganggu waktunya.
“Aku benar-benar ingin menghabisinya.” Ian mengepalkan tangan, tatapannya tajam menatap orang di hadapannya. “Aku akan menghancurkan manusia itu secepatnya.”
***
Beberapa minggu terlewati, setelah pulang dari Jepang, Aaron hendak segera menuju apartemen dengan taxi. Namun, sekitar seratus meter sebelum memasuki area apartemen, seorang lelaki bertopi menghadang taxinya hingga sang sopir taxi menghentikan laju kendaraannya.
Aaron tak bisa melihat jelas siapa lelaki yang menghadangnya karena memakai masker. Lelaki bertopi itu kemudian maju, membuka pintu taxi dan menarik keluar sang sopir hingga terpental beberapa meter, kemudian membuka pintu Aaron dan menarik tubuhnya keluar. Aaron masih tak bisa menyembunyikan keterkejutannya bagaimana lelaki yang mencengkeram kerahnya ini bisa membuka pintu taxi yang terkunci dan menarik tubuhnya dengan mudah.
“Siapa kamu?!” teriak Aaron.
Lelaki itu tidak menjawab, malah memukulnya di bagian perut. Aaron terjatuh ke aspal, lalu terbatuk hingga mengeluarkan darah. Dia merasakan perutnya seakan terhantam besi.
‘Dia kuat sekali,’ batinnya.
Lelaku misterius itu mendekat lagi dan menendang perut Aaron, membuatnya berguling dan terpental beberapa meter jauhnya. Tubuh Aaron seakan mati rasa, napasnya tersengal, tak bisa bernapas dengan normal. Lelaki itu tak berhenti di situ, dia mengangkat tubuh Aaron sekali lagi dan memukul wajahnya. Melihat Aaron terkapal, lelaki itu hendak mendekatinya lagi, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara mobil mendekat. Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan Aaron.
Sang sopir yang melihat seseorang terkapar menghentikan kendaraannya dan keluar untuk melihat keadaan. Melihat sang sopir tampak panik, Scarlett yang duduk di kursi penumpang kemudian keluar dan terkejut melihat seseorang yang dikenalnya terkapar di pinggir jalan.
“Aaron! Aaron! Kau tidak apa-apa?” Scarlett terhenyak ketika mengendus dan mengenali sedikit bau vampir di tubuh Aaron.
Dengan bantuan sang sopir taxi, Scarlett kemudian membawa Aaron hingga sampai ke apartemen. Petugas lobi yang sudah mengenal mereka mau membantu Scarlett membuka kunci apartemen. Tubuh Aaron yang dibopong sopir taxi dan petugas lobi direbahkan di kamar Aaron.
“Kalian boleh pergi, biar aku yang mengurusnya,” ujar Scarlett. Dia mencari  kotak p3k dan merawat luka-luka Aaron. Lelaki itu kemudian sadar dan terkejut melihat Scarlett berada di kamarnya. Namun, dia tak sanggup untuk mengusir wanita itu karena tubuhnya sulit untuk digerakkan.
“Berbaringlah, aku akan mengobati lukamu.”
Pandangan Aaron tak bisa lepas dari sosok Scarlett yang dengan tenang mengobati luka lebam di wajahnya. Aaron tak menyangka akan ditolong oleh wanita yang selama beberapa minggu memenuhi pikirannya.
***
“Ian!”
Scarlett memberondong masuk ke apartemen Ian, sontak membuat Ian yang sedang menempelkan gawai ke telinga berdiri dari sofanya. Begitu sampai di hadapan Ian, wanita itu kemudian menamparnya. Ian memandang Scarlett tak percaya, “Apa salahku, Scar?”
“Kau, kan, yang menyerang Aaron?! Sudah kubilang jangan ikut campur!”
Rahang Ian mengeras, “Aku tak mengerti apa maksudmu, Scar!”
“Jangan berpura-pura!” pandangan Scarlett menajam “Kau sangat membencinya, kan? Apalagi ketika tahu aku akan mendekatinya.”
Tangan Ian mengepal, “Kau sungguh berpikir aku menyerangnya?”
“Siapa lagi? Apa kau sampai harus berbuat sejauh ini, Ian? Kau terlalu banyak ikut campur!”
“Baiklah! Iya! Aku pelakunya!” teriak Ian dengan nada meninggi. “Lalu apa maumu? Kau ingin membela manusia itu?”
“Kamu jahat, Ian!” telunjuk Scarlett mengacung tepat di depan hidung Ian, “Kuperingatkan padamu, jangan pernah menyakitinya karena aku tidak akan tinggal diam.” Scarlett berbalik dan pergi meninggalkan Ian dengan langkah gusar.
Tangan Ian masih mengepal kuat, bahkan hampir menghancurkan ponsel yang digenggamnya jika saja dia tak mendengar panggilan orang yang masih tersambung di seberang. “Ian, kau masih di sana?”
Ian menempelkan ponselnya ke telinga, “Tidak apa-apa, Tim.”
“Kenapa kau mengakui hal yang tidak kau lakukan, Ian?”
Ian masih memegangi pipinya yang panas, pun tatapannya masih mengunci pintu apartemen. “Aku tidak peduli, emosiku tidak bisa dikendalikan karena Scar tidak percaya padaku. Dia menuduhku tanpa alasan. Dia berubah sejak mengenal Aaron.”
Suasana hening beberapa saat.
“Apa kau ingin tahu sesuatu, Ian?
“Apa itu, Tim?”
Suasana kembali hening, hingga Tim berkata, “Akulah yang menyerang Aaron.”
***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro