8 - Gundah di Tengah Lara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Iris merah Scarlett beradu pandang dengan iris hijau emerald James. Sudah bertahun-tahun James tidak menginjakkan kaki di apartemen Scarlett. Kini, dengan sebuah berita, James kembali menemui putrinya itu.
Sedangkan di sisi lain, Scarlett tampak terkejut dengan kedatangan James yang tiba-tiba. Terakhir kali bertemu di rumah sakit, hubungan mereka tetap tidak membaik. Scarlett hanya menuruti kata Tim untuk sekali saja mencoba memperbaiki hubungan dengan James, tapi ternyata itu sesuatu yang mustahil.
“Kenapa Papa kemari?” tanya Scarlett tanpa basa-basi.
James mengubah posisi duduknya dengan kedua siku bertumpu di atas lutut, tatapannya menajam, “Kau mempunyai hubungan dengan manusia?”
Scarlett terhenyak, “Apakah Ian yang memberitahumu?”
“Siapa yang memberitahuku itu tidak penting, Scarlett. Apakah itu Aaron, kakak Hailey?”
Scarlett menghela napas panjang, “Memangnya kenapa, Papa? Apakah aku salah berteman dengan manusia? Kita hidup berdampingan dengan mereka selama ini. Tidak ada salahnya-“
“Ini salah, Scar!” James menggebrak meja kaca di depannya hingga retak. “Kita hanya berhubungan dengan mereka tanpa melibatkan perasaan, hanya hubungan kerja dan mengambil keuntungan.”
“Sampai kapan kita harus bersembunyi, Pa?”
“Scarlett! Apa kau sadar dengan pertanyaanmu itu?!” nada James meninggi, “Kau benar-benar tak tahu konsekuensi yang akan kau terima?”
Scarlett mengembuskan napas lelah, dia sebenarnya tidak mau berbicara banyak dengan James dan berharap papanya itu cepat pergi. “Aku tahu, Pa, tapi tak bisakah sekali ini saja kau membiarkanku melakukan apa yang kuinginkan?”
“Tidak akan kubiarkan jika apa yang kau lakukan membahayakan bangsa kita. Jika identitasmu terbongkar, bangsa kita akan terancam, Scar!”
“Terancam? Aku yang seharusnya merasa terancam karena Papa!” Scarlett bangkit berdiri, “Semenjak kecil, aku selalu dikurung, disiksa, dan disalahkan karena kematian mama! Aku tak pernah bisa berbuat seperti yang kuinginkan. Aku menjadi bonekamu sampai saat ini dan kau menyuruh Tim untuk mengawasiku.”
James mendekati dan mencekik leher Scarlett, tatapannya nyalang. “Itu semua Papa lakukan untuk kebaikanmu!”
“Ke-kebaikan apa yang Papa maksud?” Scarlett seakan sulit bernapas. Kekuatan James masih sama seperti yang Scarlett ingat. Papanya itu begitu kuat, representasi sejati seorang vampir. Bahkan tetua menganugerahinya gelar sebagai kesatria bersama enam vampir lain. “Kebaikan yang Papa maksud adalah ego Papa sendiri untuk membuatku menderita.”
James mendorong tubuh Scarlett hingga putrinya itu limbung ke belakang. Andai saja Scarlett tidak sigap menegakkan badan, tubuhnya bisa menghantam tembok.
“Aku masih memberimu satu kesempatan dan memintamu baik-baik untuk menjauhi manusia itu, Scarlett.”
Pandangan Scarlett masih setajam pisau, seakan siap menusuk bola mata James. “Akan kubuktikan bahwa Aaron tak sejahat itu, Papa!”
“Cukup Scarlett! Sudah cukup kau membela manusia itu!” detik itu juga James melemparkan pukulan ke meja kaca hingga pecah berkeping-keping. Namun, buku jari James tidak terluka sedikitpun kendati sudah menghancurkan kaca setebal 10 mm.
Scarlett terdiam. Dia sendiri seakan tidak percaya kata-kata yang seolah membela manusia itu keluar dari mulutnya. Selama 29 tahun hidupnya, tak pernah sekalipun terbesit keinginan untuk mempunyai hubungan dengan manusia. Prinsip itu seakan buyar setelah bertemu Aaron.
“Lebih baik Papa pergi dari apartemenku sekarang.”
Scarlett berjalan hendak membuka pintu, tapi James menarik tubuh Scarlett dan melemparnya ke tembok. Scarlett merasakan ngilu yang luar biasa di sekujur tubuhnya.
“Aku akan pergi, tapi kau tidak boleh menemui dia lagi. Tinggalah di apartemen sampai Tim mendapatkan apartemen baru!”
Scarlett meraba dadanya yang terasa ngilu sambil mencoba berdiri perlahan, “Apakah kau akan mencoba mengurungku lagi, Papa?”
“Memang seharusnya begitu. Kau tidak boleh berhubungan dengan dunia luar!”
“Papa! Apa Papa masih menyalahkanku atas kematian mama?Aku tidak pernah minta dilahirkan dari rahim mama! Kenapa kau tega menyalahkanku karena aku lahir sebagai anakmu?! Kenapa?!” Scarlett menjerit sejadi-jadinya. Air matanya menngalir deras.
“Ya! Kau benar! Tidak seharusnya kau lahir di dunia ini!”
Kata-kata James bagai bom meledak di telinga Scarlett. Dia melangkah dengan cepat menuju dapur dan mengambil korek. Dia menyalakan korek itu dan mendekatkannya ke ujung baju.
“Scarlett apa yang kau lakukan?!” teriak James. Pandangannya melunak, tak lagi menatap nyalang putrinya itu.
“Api ini akan membakarku hingga habis. Itu yang Papa mau, kan?”
“Scarlett! Jangan bodoh!”
Scarlett tidak peduli, detik itu juga dia semakin mendekatkan api ke ujung bajunya. James berlari dan menarik tangan Scarlett. Namun, api sempat tersulut di ujung bawah baju Scarlett. James memadamkannya dengan menggenggam api itu sebelum membesar.
Scarlett masih memberontak sekuat tenaga, “Lepaskan aku, Pa! Lebih baik aku lenyap dilalap api!”
“Bodoh! Kenapa kau harus bertindak seperti ini hanya demi manusia itu? Sadarlah, Scarlett!”
“Aku tidak peduli. Aku ingin melakukan apa yang kusuka tanpa kau harus ikut campur!”
James memejamkan mata sejenak, “Papa melakukan ini agar kau tidak melakukan kesalahan yang sama, Scarlett!”
Detik itu juga Scarlett berhenti bergerak. Pandangannya kini lekat tertuju kepada James.
“Apa maksudnya, Pa?”
***
Sejak malam di mana James mengunjungi apartemen dan menguak kebenaran yang tidak bisa diterima, hidup Scarlett seakan mengambang. Dia tak fokus di pemotretan hingga beberapa kali dimarahi Tim, dia juga tidak nafsu makan, dan sering tertangkap melamun.
“Aku akan mengantarmu pulang, Scar. Kau tampak pucat, sudah berapa hari kau tidak mengisi energimu?” tanya Tim saat Scarlett baru saja selesai menjalani pemotretan.
Langit sudah mulai gelap, lampu-lampu gedung dan jalanan mulai menyala.
“Aku ingin sendiri, Tim. Aku akan memakai taksi daring saja.” Tanpa menunggu reaksi Tim, Scarlett melangkah pergi dan segera memesan taksi. Tak lama taksi itu datang dan melesat ke jalanan. Sepanjang perjalanan, Scarlett menatap nanar jendela luar, sedangkan air matanya tak bisa dibendung. Ketika jarak apartemennya tinggal 1 km lagi, Scarlett menyuruh sang sopir taksi untuk berhenti.
Scarlett tidak tahu bagaimana menghilangkan kegamangannya. Dia mencoba berjalan kaki hingga apartemen, mungkin saja cara itu berhasil melenyapkan pikirannya yang carut marut.
Scarlett melepas high heels-nya, lalu mulai berjalan di trotoar. Pandangannya lurus ke depan, tak pernah dia merasakan hatinya serapuh ini. Bahkan sejak memakan kue buatan Aaron, Scarlett belum pernah memakan kue lagi. Apakah karena itu Scarlett merasa tubuhnya tidak bertenaga? Meskipun begitu, Scarlett tak peduli. Terbesit pikiran bahwa Scarlett tak ingin mengisi tenaga.
‘Mungkin lebih baik aku juga lenyap saja.’
Rintik hujan mulai jatuh ke bumi. Scarlett tidak peduli, dia tetap berjalan dengan bertelanjang kaki. Namun, di tengah perjalanan, tiga orang pria tiba-tiba menghadang langkahnya.
‘Mau apa manusia-manusia ini?’ batin Scarlett.
“Hei, Cantik. Mau minum dengan kami malam ini?”
“Mau kutemani? Kau sendirian, kan?”
Pria-pria itu bergantian menggoda Scarlett.
Seseorang di antara mereka mulai meraba pinggang Scarlett. Scarlett menatap tajam lelaki itu. “Jangan sampai aku mematahkan tangan kotormu, Brengsek!”
Mendengar ucapan Scarlett, mereka kompak tertawa sarkas. Seseorang dari mereka kemudian mengenalinya.
“Oh, dia Scarlett Davis. Model terkenal itu!”
“Benarkah? Wah, sepertinya kita mendapat jackpot.” Mata lelaki berambut cepak itu menyorot Scarlett dari bawah ke atas. Nafsu birahinya seakan meninggi melihat paha mulus  dan wajah cantik wanita di hadapannya itu.
Seseorang yang lain meraih rambut panjang Scarlett dan menciuminya, “Wangi sekali. Benar-benar seorang model. Bagaimana kalau kau menemani kami bermalam di hotel?”
Scarlett mengepalkan tangan. Di saat hatinya sedang kacau dan tidak ingin diganggu, muncul beberapa kecoak pengganggu.
‘Akan kuhancurkan rahang mereka. Dasar manusia bodoh!’
Namun, belum sempat Scarlett melawan mereka, seseorang memukul wajah lelaki yang menggerayangi tubuhnya. Di tengah gelap, Scarlett melebarkan mata, mengenali sosok yang dikenalnya.
‘Aaron?’
Aaron menarik tangan Scarlett dan membawanya menjauh dari ketiga lelaki itu, “Tetap di belakangku,” ujar Aaron dengan gestur melindungi.
“Sialan! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?! Hajar dia!” teriak lelaki berambut cepak kepada kedua temannya. Aaron berusaha menghindari bogem mentah yang mereka layangkan, tapi karena kalah jumlah, mereka sanggup membuat Aaron tumbang setelah beberapa menit melawan. Wajahnya sudah babak belur, dia tidak punya tenaga lagi melawan ketiga lelaki pengganggu itu.
Aaron masih berusaha berdiri ketika melihat mereka hendak mendekati Scarlett lagi. Namun, matanya melebar begitu tahu apa yang dilakukan Scarlett kepada lelaki-lelaki itu.
Scarlett mencengkeram tangan seorang di antara mereka hingga membuat orang itu berteriak kesakitan. Pun dengan kedua orang lainnya, mereka terpental jauh ketika Scarlett mendorongnya. Ketiganya kemudian berlari tunggang langgang.
Scarlett kemudian mendekati Aaron yang hanya bisa terpaku melihat aksinya. Scarlett tidak memedulikan tatapan tidak percaya Aaron. Dia memapah lelaki itu hingga masuk ke apartemen.
Scarlett mengambil kotak p3k dan mengompres luka lebam Aaron. “Bodoh, kenapa mencoba menyelamatkanku?” tanya Scarlett.
Aaron yang masih menatap lekat Scarlett terdiam selama beberapa detik, “Aku merasa berutang budi padamu,” ujarnya kemudian dengan nada yang lebih santai.
Scarlett tertawa pendek. “Kau tak perlu melaku-“
“Siapa kau?” tanya Aaron tiba-tiba, membuat Scarlett menghentikan gerakan. Pandangannya kemudian menuju ke netra biru Aaron.
“Apa maksudmu?” tanya Scarlett.
“Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat tadi. Seorang wanita dengan mudahnya mengalahkan tiga orang pria. Bagaimana itu mungkin? Siapa kau sebenarnya?”
Pertanyaan Aaron sukses membuat Scarlett membeku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro