1.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Share your smile with the world. It's a symbol of friendship and peace

- Christie Brinkley

"Mir, senyum dikit, dong! Kok elo ketus mulu sih? Lagi dapet? Apa jangan-jangan lo kelaparan lagi karena nggak sarapan?" pertanyaan Pinkan selalu datang bagai kereta berentetan. Entah kenapa dari ratusan mahasiswa akuntansi lainnya, aku justru dekat dengan cewek seperti Pinkan. Mungkin karena dari ratusan orang lain itu, hanya Pinkan yang cukup baik hati dan mau berkompromi dengan keketusanku pada orang-orang baru.

Sebetulnya aku tidak pernah bermaksud ketus atau apa pun, hanya saja dari sananya wajah dan nada bicaraku sudah seperti itu. Makin bertambah usiaku malah makin parah alih-alih membaik. Ketika orang lain berkata, "Nggak deh, makasih," dengan sebuah senyum terpasang, maka akan disebut menolak dengan sopan. Sayangnya, kalau aku berkata hal yang sama disertai sebuah senyuman, maka akan disebut sinis atau ketus. Entah dari mana mereka menilai senyumanku tidak tulus meski aku berusaha melatih hari demi hari agar senyumku bisa diperbaiki. Selalu gagal – tentu saja.

Waktu SMP, aku hanya punya seorang teman dekat perempuan bernama Lana yang sudah pindah ke Surabaya sejak kami lulus SMP. Lalu saat SMA, aku juga hanya punya seorang teman dekat di kelas bernama Nadhira. Begitu lulus SMA, kami berpisah jalur karena Nadhira mendapat beasiswa hukum ke Belanda sementara aku tetap di Jakarta dan masuk ke jurusan akuntansi. Kini, di kampus pun hanya Pinkan teman dekatku, sementara yang lain cuma bergaul sambil lalu – apalagi karena sistem kuliah yang membuatku tidak benar-benar punya teman sekelas yang selalu sama di seluruh mata kuliah yang aku ikuti.

"Ih mukanya masih ketus aja, sih? Lo mau makan ke kantin nggak? Gue berani taruhan muka lo kayak gini pasti karena belum sarapan! Udah mau jam satu lagi sekarang. Gila! Pantesan aja lo kurus kering kerontang gini, Mir." Pinkan terus mengoceh sambil berjalan di sampingku.

Aku mendengus sebentar. "Gue tuh dulu gemuk tahu waktu SMA. Terus gue gagal SNMPTN, jadilah gue belajar pagi sampai pagi lagi biar dapat fakultas psikologi di universitas yang gue mau. Lama-lama gue jadi lupa makan. Terus gue makin stress karena nggak lolos SBMPTN dan tes PTN bentuk apa pun di fakultas psikologi. Semakin gue stress, semakin gue susah makan, nggak nafsu."

Pinkan menggelegkan kepalanya tidak percaya. "Kok lo stress sih? Kita masuk universitas bagus tahu! Universitas mentereng di Jekardaaah! Bangga dong, Mir! Bangga!"

"Lo memang mau masuk akuntansi, ya, Kan?" tanyaku penasaran tiba-tiba melihat betapa bangga dan positifnya tanggapan Pinkan bisa diterima di kampus kami ini.

"Iya, dong. Gue suka ngurusin money, Mir. Lo sih pikirannya udah ketutup duluan sama obsesi lo di psikologi. Coba terima deh kenyataannya, emang sekarang lo udah masuk akuntansi."

Aku mengebaskan tanganku seakan tak peduli dengan kata-katanya. Sejujurnnya aku cukup mempertimbangkan saran Pinkan barusan. Dia ada benarnya. Aku memang masih belum rela menghadapi situasi di mana mimpiku untuk jadi psikolog harus selesai sampai di sini.

Percakapan kami terhenti sampai kami tiba di kantin fakultas ekonomi. Berbagai aroma makanan mulai dari nasi gila sampai ikan cakalang pedas dapat tercium dari pintu masuk. Kepala kami mengitari isi ruangan mencari tempat duduk kosong. Nihil.

"Ih, ada kosong tuh bangku panjang! Kayaknya masih muat buat tiga orang, tapi di samping Kak Danuja." Pinkan menunjuk pada bangku dan meja panjang di pinggiran jendela menghadap ke arah gedung sekretariat berbagai unit kegiatan mahasiswa. "Auranya dingin-dingin gitu deh Kak Danuja. Bikin gue mau bilang kak galakin aku, kak."

Semua omongan Pinkan barusan membuatku mual dan ingin muntah seketika. "Lo yakin mau digalakin sama orang lain? Lo lupa cara dia teriak di depan wajah gue waktu kita ospek?"

Pinkan terkikik geli. "Relax, Mira! Relax." Pinkan menaik turunkan tangannya sambil menghirup dan membuang napas di hadapanku. "Dia cuma berperilaku selayaknya wakil ketua BPM universitas. Wakil ketua level universitas loh, Mir, bukan cuma level fakultas! Wajar dong."

"Nggak wajar," aku membalas malas.

Jemari Pinkan langsung menunjuk ke depan wajahku. "Tuh! Elo aja boleh ketus sama orang, tapi orang lain nggak boleh? Lo yang aneh, Mir. Pasti karena lapar. Udah, kita makan dulu, yuk!" Dia kini menggeretku menuju spot kosong di samping Kak Danuja. Semakin dekat dengan tempat duduk itu, semakin menyipit mataku menahan kilau cahaya yang muncul dari atas kepala Kak Danuja menuju kepalaku sendiri. Rasanya seperti matahari menyinari matamu secara langsung tanpa ada penghalang apa pun.

"Lo jaga tempat, gue cari makan dulu. Lo pasti mau bakso pojok kanan kayak biasa, kan? Gue pesanin sekalian. Bye!" Pinkan bergegas meninggalkanku tepat di samping tubuh Kak Danuja yang tengah sedikit membungkuk ke arah meja untuk menyeruput makanannya yang berkuah.

"Kosong kan, Kak?" ujarku basa-basi, takut-takut salah duduk.

Tidak kusangka, Kak Danuja menoleh padaku. Matanya menatapku tajam kejam. "Udah tahu kosong masih nanya. Jangan-jangan bukan bangkunya aja yang kosong tapi otak lo juga."

Demi apapun juga! Baru pertama kali aku menemukan seseorang mencela otakku yang memang pas-pasan ini. Kurang ajar juga dia ternyata. Penuh rasa geram, aku menggebrak meja. "Woi, santai aja, dong! Mulut lo kok jadi ganas mentang-mentang senior dan wakil ketua BPM! Gue tuh nanya karena nggak mau pakai tempat duduk orang dalam keadaan kantin lagi rame dan semua orang nyari tempat duduk. Itu namanya manner. Lo nggak pernah diajarin sama orang tua lo?"

"Cita-cita lo emang jadi orang nyolot, ya?" dia bertanya sambil tersenyum sinis.

Kukepal kedua tanganku menahan amarah ingin menampar wajahnya yang dihiasi dua bola mata dan alis yang hitam pekat, hidung mancung, serta bibir kemerahan. "Lo kali yang nyolot. Cowok tapi berani balas omongan cewek. Nggak malu sama celana? Besok-besok ganti pakai rok aja."

"Jaga omongan lo! Mulut lo itu bisa membuat lo pergi selamanya dari dunia ini. Ingat, tuh." Tubuh Kak Danuja dengan cepat berdiri dan beranjak keluar dari kantin. Setelah kepergiannya itu, baru kusadari kalau hampir separuh kantin tengah menonton adegan tidak menyenangkan barusan. Salah satunya adalah Pinkan yang tengah berdiri gemetar membawa dua mangkok dari warung bakso pojok kantin.

Tahu bahwa kondisi kantin sudah tidak kondusif lagi untukku menghabiskan jam jeda kelas, aku berdiri menghampiri Pinkan. "Balikin ke abang baksonya aja, Kan. Kita minta bungkus buat dimakan di kelas. Gue males di sini," kataku padanya yang menurut tanpa berkata apa-apan.

***

"Mir," Pinkan mencolek bahuku dengan pulpennya, "cek grup angkatan."

Aku menurut dan dengan sembunyi-sembunyi memeriksa ponselku. Kami sedang mengikuti kelas Pengantar Mikroekonomi dan dosennya terkenal killer jika ada yang sampai berani tidak konsentrasi selama kuliah. Berhubung wajah Pinkan terlihat sangat tidak enak, aku memberanikan diri membuka grup LINE angkatan di ponselku. Cukup sekali scroll dan aku paham bahwa aku sedang menjadi bahan pembicaraan di sana. Topiknya jelas adalah perdebatanku siang tadi di kantin dengan Kak Danuja.

Malas membacanya lebih lanjut lagi, aku langsung menutup aplikasi LINE dari ponsel. Kutatap Pinkan dan bicara pelan sekali. "Bodo amat, Kan." Setelahnya kami kembali fokus pada kuliah terakhir di hari ini.

Baru ketika kuliah bubar dan matahari hampir tenggelam, Pinkan menginterogasiku lebih jauh. "Apa karena lo lebih muda dari kita-kita, ya?" dia membuka perbincangan kami sambil menuju parkiran mobil dengan pertanyaan yang paling membuatku ingin mengelus dada.

"Cuma beda setahun, Kan. Apa bedanya?" tanganku bergerak untuk mengikat rambut panjangku yang tadinya tergerai dan membuat gerah

"Beda, dong. Lo baru tujuhbelas, gue udah delapanbelas. Gue tahu lo nggak judes sebenarnya, tapi kenapa sih harus kumat di depan Kak Danuja?"

Aku tahu Pinkan hanya khawatir. Maka yang bisa kulakukan hanyalah menenangkannya. "Kak Danuja masih manusia, Kan. Bedanya dia Wakil Ketua BPM sementara gue bukan. Dia masuk duluan ke kampus dan gue belakangan. Udah itu doang. Gue udah capek peduli sama omongan orang dari dulu, toh hasilnya gue nggak pernah dapat apa pun yang gue mau karena mendengarkan omongan mereka."

"Tapi omongan Kak Danuja tadi bikin gue parno, loh."

"Yang mana, tuh?"

Pinkan berhenti sejenak. "Dia tadi bilang mulut lo bisa membuat lo meninggal. Somehow, gue ngerasa dia kayak lagi mengutuk lo atau meramal masa depan lo gitu."

Meramal masa depanku? Mengutukku? Oke, sekarang aku punya lebih banyak alasan untuk mempertanyakan pada semesta mengenai permainan yang sedang dia jalankan. Membuatku berjodoh dengan orang yang mengutukku? Bagus sekali takdir hidup ini. Sungguh hebat.

Aku lanjut berjalan tanpa peduli bahwa Pinkan masih enggan melanjutkan perjalanan tanpa mendapat satupun tanggapan dariku. Dia mengejarku sejenak. "Emang lo nggak takut sama dia, Mir?"

"Lo takut?"

"Lumayan, sih."

"Takut apa?"

"Takut jatuh cinta!" cewek ini terkekeh bangga dan sukses membuatku terperangah dengan jawabannya. Jatuh cinta harusnya adalah perasaan yang kumiliki untuk Kak Danuja jika lintasan cahaya kami memang menyatu. Nyatanya, aku tidak merasakan apa-apa, bahkan cenderung kesal dengan cowok belagu satu itu.

Kuhiraukan candaan Pinkan. "Hati-hati jadi betulan loh, Kan. Katanya kan ucapan adalah doa. Lo ngomong-ngomong takut jatuh cinta sama dia, eh nanti jatuh cinta beneran."

"Nah! Itu maksud gue, Mir!!"

Aku bingung. "Hah? Apa?"

"Itu, ucapan adalah doa. Itu yang membuat gue yakin kalau pesan Kak Danuja biar lo jaga mulut itu kayaknya punya makna lebih dalam dari itu. Yah, seperti yang lo bilang ucapan kan memang adalah doa."

"Gue nggak takut kalaupun itu memang kutukan," aku menganggukkan kepala dengan yakin.

"Ih, jangan gitu. Omongan adalah doa, loh."

Aku terdiam tidak membalas karena sudah gerah membahas topik yang sama. Lagipula, kalau lintasan cahaya itu benar, maka Kak Danuja adalah jodohku. Jika dia jodohku, bukankah harusnya dia bersedih jika aku sampai meninggal? Itu berarti kutukannya tidak valid sama sekali. Wait, atau jangan-jangan dia yang sudah jatuh cinta padaku lebih dulu?

"Mir! Mir!" Pinkan mengguncang bahuku. "Lo mikirin apa deh sampai nggak dengerin omongan gue?"

"Bukan apa-apa," balasku. "Lo bilang apa barusan?"

Pinkan menghela napas dengan keras agar aku tahu bahwa dia kesal. Meski begitu, Pinkan tetap menjawab pertanyaanku. "Gue bilang lo banyakin senyum ke orang lain, deh. Apalagi ke Kak Danuja. Membagi senyum kan sama aja kayak membagi kebahagiaan. Senyum adalah bagian dari ibadah, Mir."

"Idih males banget harus senyum-senyum ke orang belagu kayak Kak Danuja." Kugelengkan kepala sambil terus berjalan menuju mobilku yang sudah terlihat di ujung blok parkiran. "Bye, Kan! Udah! Masalah gue nggak usah dipikirin!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro