2.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"You often meet your fate on the road you take to avoid it."

- France Proverbs

Aku membuka pintu kamar, wangi semerbak aromaterapi menghempas indra penciumanku. Sejak SMA, aku selalu pulang sore karena mengikuti kelas akselerasi yang bebannya lebih berat dari murid SMA biasa. Waktu belajar di dalam kelas dari pukul setengah delapan hingga setengah lima sore semasa SMA membuatku tidak lagi kaget dengan jam kuliah di kampus yang bisa berlangsung hingga matahari hampir tenggelam di ufuk barat.  Lulus dalam waktu dua tahun dari SMA menjadikanku setahun lebih muda dibanding teman-teman seangkatan di kampus.

Oke, aku bukan satu-satunya. Kapan hari aku ketemu dengan Pangeran dan Tyas di kelas Pengantar Akuntansi Dasar. Keduanya adalah lulusan akselerasi saat SMA – sama sepertiku. Kalau kuingat kembali, Pangeran dan Tyas tidak tampak menemui masalah saat bergaul dengan teman-teman seangkatan maupun dengan kakak kelas. Kesimpulannya, pendapat Pinkan bahwa aku jadi memiliki masalah dengan Kak Danuja karena lebih muda dari teman-teman yang lainnya bisa dianulir. Tidak berdasar.

Hah! Kuhempaskan badanku ke atas ranjang. Dari sini aku bisa menatap langit-langit kamar yang dipenuhi tempelan bintang-bintang fosfor yang akan bercahaya dalam gelap. Nikmat sekali hidup bintang-bintang itu. Tidak perlu ribut satu sama yang lain hanya karena salah satunya lebih bercahaya dari yang lain. Semuanya sama menakjubkan dan terlihat lebih indah saat berkumpul bersama.

Cahaya bintang-bintang itu membuatku teringat lagi pada lintasan cahaya yang ada di kepala Kak Danuja. Ah! Kampret! Aku terpaksa bangun dari ranjang untuk menyalakan lampu kamar yang sebelumnya mati. Jam dinding di samping saklar terlihat oleh mataku. Sudah pukul delapan malam, namun rumah ini masih sepi. Mama pasti masih ada meeting dengan klien. Papa juga bisa dipastikan belum akan pulang hingga tengah malam nanti.

Bosan dengan keadaan rumah yang sepi, aku keluar dari kamar dan turun menuju ruang keluarga. Kuambil remote untuk menyalakan home theater dan dengan segera menghubungkannya melalui bluetooth dengan ponselku.

Satu playlist kuputar dari spotify. Terima kasih pada orang-orang pintar dari Swedia yang mendirikan spotify, karena aplikasi ini sudah membantuku menikmati hari-hari sendiri di rumah. Sejumlah lagu berputar mengantarkanku membasuh diri di kamar mandi. Tengah menikmati lagu dari dalam kamar mandi, seseorang mematikan lagunya. Pasti Mama.

Tidak sampai lima menit, Mama sudah mengetuk pintu kamar mandi dan berbicara dengan suara cukup lantang. "Mandi jangan lama-lama, Mir. Udah malam begini. Mama bawa pizza nanti kamu makan aja, ya." Setelah itu tidak lagi terdengar suara Mama. Mungkin Mama sudah masuk ke kamarnya sendiri.

Selesai dengan kegiatan membasuh diri, aku kembali ke meja makan dan melahap satu potong pizza tuna yang dibawa Mama. Terdengar dari belakang langkah kaki Mama berikut suaranya yang sudah menyenandungkan sebuah lagu berbahasa Jawa yang tidak aku pahami.

"Tumben udah pulang, Ma?"

Mama mengangguk sementara tangannya mengambil sepotong pizza di atas meja. Kami duduk berhadapan di ruang makan dan gerakan Mama membuatku senewen kalau-kalau pizza enak ini malah akan dihabiskan olehnya. Untung saja Mama lalu sibuk membalas pertanyaanku dan melupakan sisa potongan pizza yang nikmat untuk disantap. "Tadi cuma bahas-bahas proyek yang udah ada aja sama bos Mama, makanya nggak lama. Mama kan kalau kerjain proyek nggak pakai ditunda-tunda, jadi jelas semua ada laporannya. Kamu gimana di kampus? Udah betah?"

Aku meringis untuk diriku sendiri. "Tahun depan aku mau ambil tes SBMPTN lagi, Ma. Bisa sih ngikutin di kelas, tapi rasanya nggak betah. Aku masih mau jadi psikolog."

"Kamu obsesi banget sama pekerjaan psikolog dari dulu, Mir. Kenapa? Padahal Mama dan Papa nggak ada yang punya latar belakang psikologi."

Mama tidak akan mengerti. Sama seperti bertahun-tahun lalu saat kuceritakan mengenai lintasan cahaya yang kulihat, Mama dan Papa hanya akan menertawakannya. Mereka semua orang-orang dewasa yang tidak tahu cara berpikir orang muda sepertiku. Buat apa aku susah-susah menjelaskan pada mereka apa yang ada di kepalaku?

Satu-satunya jawaban yang kemudian keluar dari mulutku hanyalah, "Psikolog bisa bantu orang tapi belajarnya nggak perlu susah-susah kayak dokter." Jawaban itu pasti bisa diterima akal sehat orang dewasa, kan?

Tersisa satu potong pizza membuatku dan Mama sama-sama membeku menatap potongan nikmat itu dengan rasa mendamba yang sangat. Gerakan kami tercipta bersama mencoba mengambil potongan pizza lebih dulu dari yang lainnya. "Mira! Kamu udah makan banyak!" Mama mendumel padaku.

Aku tidak terima. "Mama lebih banyak lagi. Pas meeting emang nggak dikasih makan sama bos Mama? Mira lapar belum makan seharian, tahu!"

"Kenapa belum makan? Mama kan kasih kamu uang saku untuk jajan beli makanan. Kamu kemanakan uangnya?"

"Ya ada..."

"Berarti itu salah kamu nggak jajan pakai uang yang Mama kasih."

"Ih! Mama!"

Mama menarik napas berat, kemudian tangannya membagi pizza menjadi dua potong. Separuh potongan itu diberikannya padaku. "Kamu kalau udah obsessed sama sesuatu tuh nggak bisa diberhentikan, deh. Nih, makan separuh aja pizzanya. Belajar berbagi sama orang lain. Kamu nggak punya adik atau kakak jadi nggak tahu caranya berbagi sama orang lain."

"Salah siapa aku nggak punya saudara?"

"Salahnya Papa kamu, lah. Mama nggak pernah salah. Kalau Mama salah ingat aturan utama kalau Mama nggak pernah salah," katanya bangga sambil melahap separuh pizza.

"Iyuh!" aku menatapnya jijik.

Pandangan Mama kini berubah setelah pizza di tangannya habis dimakan. Aura seriusnya kembali. "Mira, dulu kamu juga ngotot mau masuk cheerleader sekolah karena suka nari, kan? Padahal Mama sama Papa nggak punya background seni sama sekali. Dulu kamu sampai nangis-nangis bilang kalau kamu nggak cukup cantik, nggak cukup bagus badannya, dan nggak cukup hebat kemampuannya untuk masuk ekskul cheerleaders. Butuh waktu lama sampai Papa sama Mama bisa bikin kamu bangga lagi sama diri kamu sendiri."

"Poinnya?" aku malas membahas kembali masa-masa aku baru menjadi abg labil yang sedih karena nggak diterima masuk ke ekskul pemandu sorak. Oh please! Jangankan diterima, diajak untuk ikut seleksinya saja aku nggak pernah! Rasanya mungkin persis seperti orang-orang yang patah hati ditolak cinta pertama mereka.

Mama membalas. "Poinnya adalah, jangan sampai kamu begitu lagi cuma karena nggak diterima di fakultas psikologi kampus yang kamu mau. Ada banyak jalan di dunia ini dan nggak semuanya bisa dilewati."

"Hmmm..." aku menjawab malas-malasan.

Mama mencecar, "Mira! Dengar Mama nggak?"

Alih-alih mengiyakan kata-kata Mama, aku berdiri mengambil gelas berisi air, lalu beranjak menuju kamarku sendiri. Kukunci pintu kamar dan mulai menyalakan lagi musik dari spotify yang kusambungkan dengan speaker di dalam kamar. It's my life and it's now or never... begitu bunyi lirik yang sekarang terdengar di penjuru kamar. Ini hidupku, yeah.

***

"Kan, lo di mana? Ah? Masih kena macet depan mall? Cari parkirnya susah, Kan. Tadi aja gue parkir ke kampus terus jalan kaki ke sini. Lo mending mutar balik parkir di kampus aja. What? Mager? Ya udah terserah lo aja. Gue tunggu di KOI." Aku menyudahi sambungan telepon itu dan melangkah menaiki eskalator di dalam mall.

Hari ini aku dan Pinkan tidak ada kelas pagi, jadi kami memutuskan untuk cuci mata sebelum kelas siang nanti. Tempat cuci mata pilihan kami adalah mall di dekat kampus yang tinggal ngesot pun sudah sampai. Oke, nggak ngesot juga sih. Yah, intinya mall ini dekat sekali dengan kampus dan pas untuk dijadikan tempat penyegaran sebelum atau setelah penat dengan kegiatan di kampus.

Sebuah cermin yang dipasang di salah satu toko memantulkan bayanganku yang sedang menaiki eskalator. Dari cermin itu terlihat tubuh kurusku yang syukurlah sudah mulai terisi kembali karena akhir-akhir ini nafsu makanku sudah membaik. Rambut kusamku yang panjang dan pecah-pecah hari ini kugerai dengan tambahan bandana di atas kepala. Baju sabrina berwarna biru gelap yang kukenakan membuat kurusnya tubuhku jadi makin kentara. Ih! Sebal! Aku kayaknya salah pilih atasan hari ini. Untung saja jeans hitam dengan aksen bunga di bagian kiri cukup menyelamatkan penampilanku hari ini.

Mataku  mendelik ketika eskalator berhenti di lantai yang kutuju dan cermin di toko itu menunjukkan bayangan yang lain lagi. Di sayap lain area ini ada wajah orang yang kukenali tapi tidak kuharapkan kehadirannya. Cermin itu tidak memperlihatkan apa yang ada di pandanganku saat ini. Begitu aku berbalik untuk memastikan, cahaya itu muncul di kedua bola mataku. Lintasan cahaya yang menuju ke arahku. Yeah, Kak Danuja ada di ujung sana, menghadap ke arah yang berbeda denganku. Entah barang macam apa yang sedang diamatinya hingga begitu fokus dan tidak peduli pada sekitar.

Aku dengan cepat berbalik dan segera berlari menuju KOI, tempat yang kujanjikan dengan Pinkan. Walau aku tahu seharusnya aku melewati tempat Kak Danuja agar bisa cepat sampai ke KOI, aku memilih untuk memutari lantai ini dan menghindari orang itu. Tidak, aku masih belum mau bertemu dengannya. Salah-salah nanti kami ribut lagi dan mempermalukan diri sendiri di mall penuh orang ini.

Sudah sepuluh menit aku menunggu di dalam kafe KOI, tapi Pinkan belum juga muncul. Sekarang aku sudah lebih tenang karena merasa telah selamat dari sosok Kak Danuja yang membuatku seakan selalu ingin meledak dalam amarah setiap melihatnya. Lebih-lebih karena lintasan cahaya itu terus membuatku gusar dengan keberadaan Kak Danuja. Ada beban di pundakku seolah seharusnya aku membantu diriku sendiri agar dekat dengannya, namun aku tidak bisa karena aku tidak merasakan gejolak bernama cinta di dekat Kak Danuja.

"Woi! Bengong aja!" suara Pinkan tahu-tahu sudah terdengar di depanku. Tubuhnya menghempas di sampingku. Rambut coklatnya bergoyang membawa efek mengesalkan karena sampai mengenai mataku.

"Itu rambut nggak bisa santai?" aku berkata dengan nada keki.

Dia hanya terkikik geli. "Eh, lo belum pesan minuman? Atau belum jadi?"

"Belum. Gue tadi shock karena ngeliat Kak Danuja, jadi langsung lari ke sini nggak kepikiran pesan apa-apa."

Mata kecil Pinkan langsung mendelik. Bulu matanya yang lentik hasil beberapa layer maskara itu bisa kulihat dengan jelas. "Kok malah lari sih ngeliat Kak Danu! Harusnya lo sapa, Mir. Kali aja jodoh."

"Idih..." aku berkata ngeri diikuti bulu kudukku yang meremang mendengar kata jodoh, aku, dan Kak Danuja dalam satu kalimat. "Udah, ah. Lo mau pesan apa? Gue pesanin sekalian."

"Ovaltine Macchiato dong kayak biasa." Pinkan menjawab sambil lalu karena konsentrasinya sudah diambil penuh oleh ponsel dalam genggamannya.

Aku beranjak meninggalkan Pinkan menuju konter pemesanan. Ada tiga orang antre dan aku di urutan keempat. Antrean terus maju serta bertambah. Seseorang di belakangku mengantre sambil menyenandungkan nada-nada fals yang membuatku gagal mengidentifikasi lagu yang sedang dia senandungkan. Beberapa kali aku berdeham agar dia tahu kalau suara dendangannya itu cukup membuat telinga tidak nyaman, namun sepertinya dia tidak paham.

Penasaran dengan sosoknya, aku berbalik untuk melihat orang itu. Kampret. Kak Danuja dengan lintasan cahaya cemerlang di atas kepalanya menghiasi pandangan mataku sekarang. Kosmik aneh ini membuat bulu kudukku kembali meremang. Bukannya tadi aku sudah menghindarinya? Kenapa, Semesta? Kenapa?

***

Kak Danuja memakai kaos hitam, jeans hitam, sepatu Adidas hitam, dan jaket jeans biru tua yang sudah kelihatan buluk karena warnanya memudar. Semua kesan hitam itu melebur dengan desain interior kafe KOI yang juga didominasi warna coklat dan hitam. Pinkan sedari tadi memandangi Kak Danuja tanpa henti. Beberapa kali dia berbisik, "Anjir ganteng banget."

"Mir, lo tahu, itu yang lagi ngobrol sama Kak Danuja siapa?" Pinkan dengan sangat antusias bertanya padaku.

Aku mendelik. Dari sudut mata, aku perhatikan Kak Danuja yang duduk di bangku pojok kafe dengan seorang perempuan bergaya hipster berambut pendek. Anting tassel hitam yang digunakan cewek itu lebih menarik perhatianku ketimbang topik perbincangan yang nampaknya seru di antara keduanya.

"Dia fashion blogger sama selebgram gitu, Mir. Masa lo nggak ngenalin sih? Gila gue nggak nyangka Kak Danuja mainan sama seleb internet. Setahu gue ceweknya udah punya pacar, sering kelihatan posting di instagram. Jadi Kak Danu itu siapanya dia, ya? Selingkuhannya lagi jangan-jangan!"

Aku mendengus. "Bodo amat. Lagian lo ngapain mikirin orang deh, Kan?"

"Iya juga. Kenapa gue jadi ngeliatin mereka mulu dari tadi? Eh, gimana jadinya? Kita jadi ke gramedia sekarang? Lo mau cari apa sih emang di sana? Gue mau makan ramen sebenernya."

"Gue mau beli buku persiapan SBMPTN tahun depan. Buku gue di rumah bekas SBMPTN kemarin kurang manjur."

Pinkan menggelengkan kepalanya seakan pusing dengan tindakanku. "Gue udah bilang loh kalau lo ini obsesi. Lagian kenapa sih sama kampus kita? Ada yang salah?"

"Ada."

Pinkan menaikkan alisnya menanti lanjutan dari jawabanku.

"Lo nggak bakal ngerti kalau gue jelasin."

Temanku itu sekarang mengangkat kedua tangannya menyerah. "Terserah. Gue cuma merasa sayang aja kalau nanti lo udah dua semester di kampus kita, harus ngulang lagi dari awal di kampus lain."

"Di kampus dan jurusan yang gue mau tepatnya, Kan. Gue mau jadi psikolog. Titik. Lagian di kampus kita ada Kak Danuja."

"Kenapa emang Kak Danuja?"

Dia punya lintasan cahaya di kepalanya dan lintasan cahaya itu berhenti di atas kepalaku. Bukankah itu berarti Kak Danuja adalah jodohku? Sayangnya, aku tidak tertarik padanya dan tidak merasakan aura baik apa pun di sekitar cowok itu. Sejak kejadian di kantin, aku merasa lebih baik jika aku tidak harus mengobrol atau berinteraksi dengan manusia dengan mulut tajam sepertinya.

"Kenapa emang sama Kak Danuja, Mir?"

"Iya. Ada apa memang sama gue, El Mira?" suara Kak Danuja dari sisi belakangku dan Pinkan membuat kami berdua terlonjak. Karena begitu serius, kami tidak lagi menyadari kalau meja Kak Danuja sudah kosong dan dua sosok yang tadinya duduk di sana sudah berdiri di belakang tempat duduk kami.

Kampret! Kampret! Kampret! Aku tidak bisa tidak menghujat diriku sendiri. Sialan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro