3.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

For live and death are one. Even as the river and sea are one.

- Khalil Gibran

Aku mengetuk-ngetukkan kepalaku pada binder berstiker wajah Zayn Malik di bagian sampulnya. Binder kesayangan yang sudah menemaniku dari SMA ini, kini menjadi alat yang kugunakan untuk melukai diri sendiri. Gila! Malu banget rasanya! Muka ini sudah nggak tahu lagi harus ditaruh di mana. Wajah Zayn yang kini kuadu dengan keningku setidaknya mampu mengurangi sedikit ketidakwarasanku.

Pinkan terus tertawa menceritakan kejadian di KOI tadi pagi pada Karmel dan Andre, teman sekelas kami siang ini. Andre menatapku penuh kasihan. "Mir, lo kurang ibadah mungkin sampai digituin Kak Danuja. Heran sih gue. Soalnya waktu tanding futsal bareng minggu kemarin, dia orangnya asik-asik aja. Malah kayak sedikit dingin-dingin gitu sama yang lain. Uhm, tapi tetap asik-asik aja dan nggak galak-galak banget kayak waktu kita masih di-ospek."

Aku kini menghentikan kegiatan memukulkan kening ke binder. Senyum Zayn Malik di binder kuabaikan sejenak. Kutatap Andre lekat-lekat. "Serius lo, Ndre? Dia nggak segalak pas kita di-ospek?"

Andre menggeleng. "Makanya gue bilang lo kurang ibadah."

"Kok mulut dia ke gue kejam gitu?" aku memelas. "Masa waktu di KOI, dia tega-teganya bilang 'mulut lo dijahit aja kalau nggak bisa dijaga'. Untung gue masih ingat tempat jadi nggak balas omongan dia."

"Kan lo yang mulai duluan, Mir," Karmel berceletuk.

"Kok gue?" aku menatap Karmel sangar. Enak saja dia menyalahkan aku mentang-mentang menurut para cewek ini Kak Danuja itu ganteng.

Karmel langsung mencicit. "Pas di kantin kan elo yang nanggepin dia pakai bawa-bawa orang tua sama nyuruh Kak Danu ganti pakai rok besok-besok. Kalau gue cowok, gue juga pasti kesal digituin."

"Itu sih dia yang mulai duluan ngatain otak gue kosong!"

Bukannya membela atau membenarkanku, tiga orang ini justru tertawa keras. Kupandangi Zayn di sampul binder. Duh, Zayn sayang, apa kamu nggak bisa keluar dari sana terus belain aku?! Sekali lagi keketukkan keningku ke sampul binder.

"Mending lo nyalin catatan kelas minggu kemarin, Mir. Emang sih kelas Kewarganegaraan cuma dua sks, tapi ujiannya susah nanti kata senior." Andre menarik binderku dan menaruhnya di samping siku. "Kalau lo pukulin terus, lama-lama bisa kosong beneran loh otak lo."

Dadaku seketika berdesir menerima perlakuan Andre yang cukup manis. Nah ini! Harusnya begini bukan rasanya tertarik pada orang lain? Pipiku memanas sehingga dengan segera aku menggelengkan kepala. "Kalian nggak mau pinjamin catatan ke gue. Dari mana gue bisa nyalin catatan?"

Pinkan, Karmel, dan Andre langsung berbagi tatap. Kini ketiganya tertawa terbahak sekali lagi. "Cari catatan anak lain, dong! Kan lo udah terkenal "Mira Judes"-nya angkatan kita di satu fakultas. Pasti pada mau pinjemin lo catatan karena takut." Pinkan meledekku.

Mataku lansung memandang Pinkan dengan tajam. Kesalnya, cewek ini sudah nggak mempan dengan pelototan maupun kata-kata kejamku. Pinkan tetap saja terbahak dan semakin besar melihatku marah. "Duh, Mira Judes marah. Cup! Cup! Takut nih gue. Sini gue pinjamin catatan gue aja."

"Nggak butuh!" Aku merutuk mengambil binderku dan lagi-lagi mengetuk-ngetukkan binder berfoto Zayn Malik itu ke kening. Biarlah otakku jadi kosong daripada merasakan malu terus menerus mengingat cara Kak Danuja mempermalukan diriku tadi pagi. Ugh.

***

Kelas Kewarganegaraan siang ini berlangsung cepat dan tidak terasa. Sebagian besar tentu karena aku sibuk dengan latihan soal SBMPTN dari buku yang baru kubeli tadi bersama Pinkan. Di sampingku, Pinkan sibuk mencatat berbagai tulisan yang masih tersisa di papan tulis. Bukannya aku tidak tertarik dan tidak bersungguh-sungguh dalam belajar mengenai bangsa dan negara Indonesia, tapi saat ini aku punya prioritas di mana mata kuliah Kewarganegaraan tidak masuk di dalamnya.

Andre yang sudah siap akan keluar kelas mampir ke tempat dudukku dan Pinkan. "Kalian belum mau balik? Mau makan dulu nggak di jajanan luar mumpung belum ditertibin sama Satpol PP. Besok katanya Satpol PP bakal bikin penertiban trotoar, jadi itu abang-abang makanan mau kabur semua. "

"Emang enak makanan di sana?" kulempar pertanyaan untuk menjawab ajakannya.

"Lumayan, sih. Ada nasi goreng kebuli yang bumbunya mantap. Cuma ya gitu, makannya dekat kali depan kampus. Terus posisi abang nasi goreng kebuli juga di depan halte, jadi bakal banyak senior halte yang nongkrong."

"Lo mau nggak, Kan?" aku bertanya pada Pinkan yang baru selesai mencatat.

Pinkan dengan tegas menggelengkan kepala. "Gue lagi mau ramen dari kemarin, terus cowok gue juga ngajakin makan ramen abis kelas."

Oh, benar! Pinkan sudah punya cowok. Waktu itu aku pernah diajak berkenalan dengan pacarnya Pinkan yang kampusnya ada di sebelah kampus kami. Entah kapan mereka akan putus karena aku tidak melihat lintasan cahaya yang menjembatani jiwa keduanya. Kadang aku merasa bakat melihat lintasan cahaya ini cukup menyedihkan bagi diriku sendiri karena membuatku bingung harus bersikap bagaimana terhadap pacar teman-temanku, terutama ketika aku tahu bahwa mereka tidak saling berjodoh.

"Ya udah kalau gitu. Gue makan deh, Dre. Yuk!"

"Yuk!" Andre tersenyum. "Balik dulu, Pinkan. Selamat pacaran makan ramen. Jangan lupa bungkusin buat jomblo-jomblo fakir cinta kayak gue dan Mira."

Hehe. Fakir cinta katanya. Aku jadi geli sendiri. "Duluan, Kan. Kabarin kalau catatan Kewarganegaraan lo udah boleh gue fotokopi. Oke? Bye!"

Melihatku dan Andre menggodanya, Pinkan hanya bisa tersenyum kesal. Kami pun beranjak dan mulai berjalan bersisian. Lift yang kami tuju ternyata sudah penuh dan antreannya panjang sekali. Perutku sudah lumayan keroncongan karena belum makan siang. "Ndre, turun tangga aja gimana? Lagian kita cuma di lantai tiga, nggak berasa juga turun tangga."

"Boleh banget! Gue kira tadi lo mau naik lift. Biasanya kan cewek-cewek malas naik turun tangga."

"Kok lo main gender, sih?"

"Bukan gender, itu kan kebiasaan. Biasanya loh, gue bilang biasanya."

Aku mendelik. "Terus biasanya cowok mau naik turun tangga?"

"Emangnya nggak?"

"Lo nggak lihat tadi yang antre juga banyakan cowok-cowok di depan lift?"

Andre menganggukkan kepalanya sekarang. "Oke, gue ngerti kenapa Kak Danuja bisa ngomel-ngomel tiap ketemu sama lo."

"Lo mau nyalahin gue?"

"Dengerin dulu, dong. Gue kan belum mulai jelasin observasi gue."

Kami sudah sampai di lantai dasar kampus. Sisa perjalanan kini diisi dengan Andre menerangkan pendapatnya soal permasalahan anehku dan Kak Danuja. "Melihat sikap lo yang suka over kalau membalas omongan orang lain, juga mengamati ekspresi lo yang kebanyakan kayak orang jutek kalau lagi ngobrol sama siapa pun, pilihan orang lain bereaksi terhadap kalimat lo itu cuma ada tiga. Satu, takut dan langsung diam atau pergi. Dua, takut tapi ngomel dalam hati atau ngomel di belakang lo. Tiga, nggak takut dan balas api dengan api. Kak Danu pasti di posisi yang ketiga. Makanya dia balas omongan lo kayak gitu."

"Harus berapa kali gue bilang? Kejadian di kantin itu Kak Danu yang mulai. Dia duluan ngatain otak gue kosong padahal gue cuma memastikan bangkunya kosong apa nggak."

"Uhm," Andre menggerakkan bibirnya ke kanan dan kiri, "mungkin kalian itu kayak cerminan satu sama lain? Gue perhatikan gaya ngomong Kak Danu emang rada galak-galak gitu, sih. Makanya gampang banget buat dia jadi senior galak pas ospek. Pembawaannya emang udah begitu mungkin dari sananya?"

"Gue nggak galak dari sananya," aku protes berat, "tapi galak dari sininya." Kutunjuk hatiku lalu nyengir.

Andre terkejut melihat perubahan ekspresiku yang tiba-tiba. Baiklah-baiklah, aku memang sangat amat jarang bisa berubah mood begitu. Mungkin barusan ada kucing lewat membawa sisa nyawanya yang sekejap hinggap di jiwaku. Tangan Andre terulur dan mengacak pucuk kepalaku yang terbalut bandana. "Dasar! Anak siapa sih lo?" ujarnya.

Habis sudah perasaanku pergi ke belantara angkasa raya. Andre dan tangannya yang dingin menyentuh bandanaku. Dia mengacak-acak kepalaku, dan jiwaku, dan ragaku, dan pikiranku, dan... cukup sudah. Aku terdiam sejenak sambil tetap berjalan di sisinya.

Begitu sampai di depan gerobak nasi goreng kebuli dan memesan makanan, kami mencari tempat duduk yang tidak terlalu dekat dengan kali tak jelas di depan kampus. Benar saja peringatan Andre tadi, lokasi nasi goreng kebuli ini dekat dengan kali dan halte. Ada beberapa senior kumal dengan gaya urakan sedang mengobrol di depan halte yang sudah tidak lagi terpakai itu. Gaya mereka mengingatkanku pada Kak Danuja. Pakaian serba hitam, jaket jeans kumal atau kemeja flanel yang kusut berantakan, serta rambut yang kebanyakan gondrong.

Begitu mendapat tempat duduk kosong, Andre segera menuntunku dan mempersilakanku untuk duduk. Demi Zayn Malik yang fotonya ada di binder yang sedang kupegang saat ini, sikap Andre itu sangat gentleman. Tubuhnya yang tegap menunjukkan betapa sukanya cowok ini dengan aktivitas berolahraga. Jemarinya yang panjang-panjang membuatku penasaran apakah dia mungkin bermain alat musik semacam bass atau piano. Matanya yang teduh dan dua alis hitam yang membingkainya tidak akan membuat jenuh. Zayn, kalau melihat Andre terus, aku bisa selingkuh dari kamu. Maafin aku.

"Thanks," ucapku memberi apresiasi untuk tindakan gentleman-nya. Tangan kanannya bergerak tanda bahwa tidak perlu bagiku mengucapkan hal tersebut. "Lo suka main futsal sama senior, Ndre?"

Andre mengangguk. Rambutnya yang lemas itu bergerakan seirama dengan kepalanya. Indah. Sungguh indah. "Gue barengan satu tim sama maba yang lain. Tiap Senin sore sama Rabu malam, kita latihan atau sparring bareng angkatan atas. Kak Danu salah satu yang gue lihat aktif juga di UKM futsal."

Andre sebagai kiper? Sungguh tidak bisa aku bayangkan. Apakah sensasi menontonnya akan sama seperti ketika aku melihat Zayn langsung dengan mata kepalaku sendiri? Waktu melihat Zayn di Sydney dalam acara konser One Direction, aku seperti terbius. Suara Zayn, wajahnya yang tampan, dan semua tentang Zayn membuatku ingin kembali melihatnya lagi. Alhasil, aku jadi menonton kembali One Direction ketika mereka menggelar konser di Jakarta. It was a heaven! Bisakah sensasi menonton Andre menjadi kiper akan mengalahkan sensasi menonton Zayn?

"Gue mau nonton kalian main deh. Kapan-kapan kalau bisa dan boleh." Aku berceletuk sok-sok asal padahal sangat terencana. Please please please ajak gue nonton lo main futsal, Ndre.

"Nonton gue sama Kak Danu? Kenapa? Mau observasi kakak senior galak, ya?" Andre terkikik. "Boleh kok. Nanti kalau gue sparring sama angkatan Kak Danu, gue kabarin lo deh."

Asyik! Score for me! Score for me! Tidak sia-sia usaha menjadi mak comblang selama ini. Rupanya cukup juga ilmu itu menjadi pelajaran untuk menjadi peri cinta kisahku sendiri. Tentu saja selama aku mengabaikan bahwa tidak ada lintasan cahaya di kepalaku yang mengarah pada Andre.

Begitu pesanan kami datang, topik perbincangan lain menyusup begitu saja. Hingga entah bagaimana kami bisa makan bersama sambil membahas mengenai Kak Danuja – lagi. Oh God!

"Saran gue, Mir, coba posisikan diri lo sebagai Kak Danu. Bisa aja kan mungkin maksud Kak Danuja nggak begitu, tapi lo nangkepnya lain. Lagian kalian mirip banget sih sifatnya. Ini gue loh yang ngomong, gue yang pintar banget baca sifat orang lain," Andre terus mengocehkan Kak Danu dan aku sementara tangannya tetap bergerak menyuap nasi goreng kebuli.

Aku mencibir. "Kok jadi gue yang harus memposisikan diri? Kenapa nggak dia? Dia kan senior, wakil ketua BPM pula. Mana tuh katanya perwakilan mahasiswa."

"Pernah dengar kata yang waras yang ngalah?"

"Itu tuh peribahasa paling nggak jelas, cuma biar orang bersabar aja menerima kondisi apa pun. Salah lo menyebutkan kalimat sok-sok bijak itu ke gue."

Andre berdecak. "Nah, sekarang gue lagi waras karena gue nggak menanggapi omongan lo dengan ngotot. Kasus lo dan Kak Danu itu, kayak dua lautan yang lagi berlomba ngisi samudera dengan air. Percuma, capek doang. Kalau lo ngalah, lo nggak ikut-ikutan buang air lo ke samudera, hidup lo akan lebih tenang."

Dari cara Andre berbicara, aku seperti menemukan teman masa SMA ku yang sekarang sudah pergi ke Belanda. Yeah, Nadhira di mana kamu, Nadhira? Ini ada teman kamu satu lupa kebawa! Perumpamaan terus bikin kepala pening. Kutatap Andre lekat-lekat. "Ndre, ngomong sama gue to the point aja soalnya gue bego nggak bisa mengartikan perumpamaan lo barusan. Oke?"

***

ps:

hai all, maaf banget ya weekend kemarin lagi banyak banget yang dilakukan sampai gak kepegang untuk edit & repost TTJC. kayaknya aku tuh emang nggak bakat mengulang-ngulang dimensi deh, suruh ulang publish cerita aja aku gak mampu wkwk. 

maaf banget ya. 

here you go chapter 3! 

jadinya, karena benar-benar nggak kepegang, aku memutuskan benar-benar re-publish aja dari chapter yang dulu banget. agak failed sih, tapi yuk mari semoga tidak mengurangi esensi kenikmatan mengulang kembali semuanya. 


LOVE YOU!

xoxo, 

mongs

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro