4.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The only thing worse than a boy who hates you is a boy that loves you

- Markus Zusak on The Book Thief

"Mira! Mira! Mira!" teriakan Pinkan disusul dengan suara sepatu beradu dengan lantai berlari menuju ke arahku. "Mira, lo udah baca dm gue di instagram?" kini dia sudah merangkul pundakku dengan napas tersengal – kurasa karena dia berlari sambil menaiki tangga dari lantai satu ke lantai empat.

"Lo naik tangga sambil lari?" aku bertanya memastikan kebenaran teoriku, Pinkan mengangguk. "Gelo!" mulutku berdecak. "Gue belum buka hape dari tadi pagi soalnya lagi nyetir dan jalanan lagi nggak macet."

"Oh, pantesan lo belum heboh."

Kami berjalan menuju ruang kelas kami pagi ini. "Emang lo kirim apa di instagram?"

"Gue kirim postingan Shelomita, cewek yang waktu itu kita lihat di KOI sama Kak Danuja. Ternyata dia sepupunya Shelom. Jadi, kemarin sore, cowoknya Shelom meninggal terus dia shock berat. Nah di-update-an instagram Shelom dan teman-temannya yang lain ada Kak Danuja yang kayaknya nemenin Shelomita gitu."

"What? Cowoknya Shelom meninggal? Astaga. Innalillahi."

Pinkan mengangguk. "Kaget ya lo? Gue juga kaget banget. Shelom posting di instagram pokoknya ada nulis terima kasih buat sepupunya yang udah nemenin dia yang lagi down gitu. Nah, sepupu yang dimaksud Shelom itu Kak Danu."

Gosip kami masih berlangsung begitu kami masuk kelas dan duduk di tempat andalan kami untuk kelas Pengantar Mikroekonomi – apalagi kalau bukan bangku paling belakang. "Kak Danuja punya instagram?"

"Nggak ada kayaknya soalnya nggak di-tag sama Shelomita."

"Seram banget deh, umur nggak ada yang tahu. Pas banget pula kemarin Kak Danuja lagi bareng sama sepupunya itu. At least jadi ada yang nemenin gitu, kan?" Aku ikut bersimpatik.

"Nah itu!" Pinkan menjentikkan jarinya. "Kak Danuja berarti orang baik dong, Mir. Dia nemenin saudaranya yang lagi berduka. Kalau orang jahat mana mungkin kayak gitu."

"Emang ada yang pernah bilang Kak Danuja jahat?"

Kulihat Pinkan menaikkan sebelah alisnya. Sebentar... apa maksud Pinkan, "Gue? Please get your fact straight. Gue nggak pernah bilang Kak Danuja jahat. Gue cuma menganggap dia banyak gaya dan belagu. Beda loh dua sifat itu sama kata sifat jahat."

Pinkan memutar kedua bola matanya. "Capek ngomong sama lo."

"Harus."

Kini temanku itu berdecak dan memilih tenggelam dalam kesibukkan memantau ponselnya. Aku memilih melakukan hal yang sama. Kunyalakan ponsel dan beberapa notifikasi masuk. Hal pertama yang kubuka tentu saja adalah aplikasi instagram untuk memeriksa direct message yang dikirimkan oleh Pinkan.

Beberapa foto bergulir milik akun @shelomita214. Kuperhatikan beberapa di antaranya dan terdiam lama memandangi foto Shelomita yang sepertinya sedang menangis di pundak Kak Danuja. Dari posenya di dalam foto ini, aku tidak sama sekali melihat tanda-tanda shock, berduka, ataupun kesedihan ada dalam diri Kak Danuja. Tanpa ada alasan yang jelas, bulu kudukku meremang.

"Kan," kupanggil temanku itu, "Pinkan!"

"Hah?" dia menggerutu sebentar sebelum menatapku. "Kenapa?"

"Masa gue tiba-tiba merinding abis lihat foto yang lo kirim."

Dahi Pinkan berkerut. "Lo merinding lihat betapa gentle-nya orang yang lo ajak ribut sejauh ini?"

"Kayaknya gue merinding karena kepikiran kalau nanti gue meninggal, dia kayaknya bakal datang ke pemakaman gue dengan muka super dingin kayak di foto ini. Bukan buat berbelasungkawa, tapi buat ngeledekin gue yang udah nggak bisa berbuat apa pun di dalam peti mayat."

***

Foto dari akun Shelomita masih sangat mengganggu pikiranku. Di sela-sela kegiatanku curi-curi waktu mengerjakan latihan soal SBMPTN selama jam kuliah, aku juga sekelebat sering terbayang wajah Kak Danu yang dingin di samping Shelomita yang terlihat lemas parah. Biasanya, aku bukan orang yang peduli dengan urusan orang lain atau mencoba meneliti isi hati serta perasaan mereka, tapi emosi Kak Danu dalam foto itu... lain. Ada sesuatu yang tidak pada tempatnya di sana.

Bubar kelas hari ini, aku memutuskan untuk ke perpustakaan meski Pinkan tadi sempat mengajak untuk jalan-jalan ke mal dengan pacarnya. Selain nggak berniat jadi obat nyamuk, aku juga memang sudah berencana ke perpustakaan sore ini sejak kemarin. One thing about me is aku suka bikin jadwal harian. Jadi kalau malam hari – atau pagi hari kalau aku lagi begadang – aku akan selalu menyempatkan diri membuat jadwal harian untuk esok hari sebelum tidur. Aku bisa gila kalau nggak melakukan hal itu. Seriusan.

Masuk ke perpustakaan, aku menitipkan tasku beserta isinya kecuali buku SBMPTN, kotak pensil, dan dompet. Terima kasih banyak untuk radar lintasan cahaya di kepalaku, aku langsung bisa mendeteksi kehadiran Kak Danuja yang ternyata hanya beberapa langkah di sampingku. Tubuh tegapnya tengah merunduk berbicara dengan salah satu petugas perpustakaan yang paling ramah, Bu Nusri namanya.

Aku kenal cukup baik dengan Bu Nusri meski belum lama jadi mahasiswa karena beliau benar-benar ramah. Biasanya orang-orang akan sinis padaku mengingat aku juga sering dikira sinis. Bu Nusri ini beda, mungkin karena sudah banyak makan asam-garam kehidupan, Bu Nusri bisa melihat manusia jauh lebih dalam dari yang terlihat. Sapaan dan senyumku tidak dianggapnya sombong atau angkuh. Cara bicaranya juga sangat dekat denganku.

Kak Danuja merunduk kuyakin karena tubuh tingginya itu harus menyesuaikan diri saat berbicara dengan Bu Nusri yang terduduk di kursi roda. Yah, dari sikapnya itu memang benar bahwa Kak Danuja bukan orang jahat. Lagi pula, Bu Nusri yang sebijaksana itu tidak mungkin mau berurusan dengan orang jahta, kan?

Mencoba mengabaikan keberadaan cahaya gemerlap itu, aku berjalan melewati Bu Nusri dan Kak Danuja untuk masuk ke dalam ruang baca. Ternyata, mata Bu Nusri cukup baik menangkap gerakanku. Dia yang lumayan kenal dengan maba pengunjung berkala perpustakaan ini langsung memanggilku. "Si Eneng! Tumben nggak nyapa Ibu!" suaranya tidak terlalu keras mengingat ini perpustakaan, namun tentu saja masih bisa kudengar.

Aku lantas dengan berat hati membalikkan badan. "Sore, Bu Nusri," kulempar senyum sebelum menganggukkan kepala. Senyum dari Bu Nusri kubalas lagi dengan kalimat pamitan, "Saya masuk dulu ke dalam, Bu. Mau ngerjain tugas buru-buru. Mari, Bu."

"Iya, Neng. Jangan kemalaman di perpustakaan, nanti pulang larut-larut bahaya."

Aku meringis sebentar lalu berjalan meninggalkan Bu Nusri. Kurasakan ada langkah lain mengikutiku. Dari lintasan cahaya di atas kepalaku, aku sudah bisa menebak siapa orangnya. Tepat begitu aku duduk di salah satu bangku yang tersedia di ruang baca, orang yang sedari tadi menguntitku dari belakang ikut duduk di sampingku.

"Lo tahu Bu Nusri sakit?" sosok itu adalah Kak Danuja dan dia langsung bertanya absurd tanpa basa-basi apa pun padaku.

"Maksudnya, Kak?"

"Lo tahu Bu Nusri sakit?"

Aku mengerutkan dahi mendengar pertanyaan itu. "Bukannya Bu Nusri udah sembuh dari stroke? Beliau lagi pemulihan, kan? Makanya masih pakai kursi roda. Maksud Kak Danu sakit itu?"

Kudengar Kak Danu berdecak. Rambutnya yang mencolok karena ikal plus gondrong itu membuatku semakin pusing. "Salah emang nanya sama lo. Gue kira lo lebih dari tukang ngomong nggak jelas. Ternyata lo nggak se-worth it itu."

"Tolong mulut lo dijaga!" kupelototi orang satu ini yang sungguh sangat tidak sopan. Dia bilang apa barusan? Aku tidak worth it, buat apa coba? Dia lagi taruhan gitu? Tumbalnya gue?

"Harusanya lo resapi kalimat barusan buat diri lo sendiri," Kak Danuja dengan pongahnya menyeringai di hadapanku.

Kutarik napas mengingat pesan dari Andre, "yang waras ngalah." Aku harus mengalah untuk menang. Ya. "Kalau lo udah nggak punya kepentingan di perpustakaan, mendingan lo cabut sekarang. Udah cukup gue dipermalukan satu angkatan sama lo. Gue nggak mau dipermalukan satu fakultas cuma karena gue ribut sama lo di perpus."

"Lo mempermalukan diri lo sendiri, bukan gue. Kayaknya emang kebiasaan lo itu menyalahkan orang lain juga."

"Seenggaknya itu lebih mending daripada kebiasaan lo mencoba mencari kebiasaan buruk orang lain." Aku membalasnya telak. Semoga begitu.

Kak Danuja menarik tubuhnya dan berdiri. Sebelum pergi dia merunduk ke arahku dan berbisik. "Katanya lebih mending ada cowok benci sama lo daripada ada cowok cinta sama lo. Gue bakal jadi cowok yang pertama. Terima kasih ke gue bisa kapan-kapan dan nggak harus sekarang."

Setelah melakukan itu, dengan sangat random cowok yang kini kuanugerahi gelar eksentrik itu pergi. Iya, pergi begitu aja. Kalau bisa nampar mukanya sekarang, aku akan bahagia.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro