6.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Harum mawar membunuh bulan

Rahasia tetap diam tak terucap

Untuk itu semua aku mencarimu

- Payung Teduh, Rahasia

Langit itu gelap membawa udara pengap. Kak Danuja berdiri diam tampak tidak tersentuh. Mobilku ada di depan mata sementara beberapa orang mulai memutuskan siapa harus nebeng dengan siapa setelah acara melayat kami selesai. Sama sekali tidak kuduga, ternyata Kak Danuja termasuk salah seorang yang tidak membawa kendaraan pribadi. Kudengar tadi Andre bilang bahwa Kak Danuja selalu naik kendaraan umum. Ada tiga orang yang membawa kendaraan pribadi ke sini yaitu aku, Andre, dan Kak Bima yang seangkatan dengan Kak Danuja.

"Gue balik naik kereta aja." Kak Danuja menolak dimasukkan dalam daftar sepuluh orang yang harus didistribusikan transportasinya.

Kak Bima berdecak. "Jangan gitu, Dan. Lo udah ke sini sendirian masa pulang sendirian juga. Lo sama Mira aja, sekalian jagain dia. Kalau ada yang gondrong-gondrong gini di mobilnya, kayaknya orang nggak bakal berani ngapa-ngapain."

"Gak perlu ada dia juga gue nggak bakal diapa-apain, Kak." Aku menyerukan protes.

Andre memandangiku. "Benar juga sih, Mir. Udah jam sebelas loh ini. Lama juga tadi kita ngelayatnya. Mendingan lo sama Kak Danuja dan Kak Gio, kan rumah mereka dekatan. Malah bagus ada yang jagain."

"Gue udah janji mau nongkrong sama Bima, Ndre. Makanya nggak bisa pulang bareng Danu naik kereta. Ya, tapi gue setuju bagian Danuja semobil aja sama Mira buat jagain. Rumah lo daerah mana, Mir?" tanya Kak Gio.

"Kebayoran, Kak." Kubalas pertanyaan itu dengan malas.

"Nah, cakep tuh! Rumah Danu sejalur kok ke arah Kebayoran. Biar nanti dia aja yang nyetir."

"Duh, Kak. Gue mending mutar ke timur deh baru balik ke rumah daripada semobil sama Kak Danuja. Lagian kenapa kalian pada ngotot banget? Kak Danuja aja nggak mau."

"Ayo jalan keburu malam," Kak Danuja memutus argumentasiku dengan seenakjidatnya berjalan menuju mobil. "Lo yang nyetir. Gue malas. Unlock mobilnya."

"Kalian ini ribut dari kapan itu belum kelar juga? Mir, lo tuh kenapa deh? Kayaknya Danuja nggak pernah segalak ini sama orang." Kak Bima tampak menahan tawanya menonton kondisi hubunganku dengan Kak Danuja yang tidak baik sama sekali.

Berhubung sudah malam dan aku masih sedikit sedih dengan suasana duka yang baru kulihat, aku tidak menghiraukan ledekan Kak Bima yang badannya lebih kurus lagi dari badanku yang sudah kering kerontang ini. Tidak pakai babibu, aku membuka pintu mobil dan masuk ke bangku kemudi. Kak Danuja masuk ke sisi penumpang di sampingku dan membuka jendela. "Duluan, ya!" ujarnya pada yang lain begitu mobil bergerak.

Kupikir tadinya kami akan diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Ternyata, dia memilih berbicara. "Orang galak bermulut lemes kayak lo paling takut sama apa?" tanyanya dengan nada yang sangat aneh. Suaranya seperti bertanya namun banyak makna terbersit di dalamnya. Walau berbicara denganku, wajahnya tetap terfokus ke depan jalan.

"Gue takut sama takdir. Sama hal-hal yang nggak bisa gue kendalikan," aku menjawab jujur lalu balik bertanya, "kenapa lo bertanya gitu?"

"Lo nggak takut mati?"

"Kenapa harus takut mati?" aku sangat bingung. Jujur daripada takut mati, aku lebih takut pada lintasan cahaya di atas kepala kami. Apa jadinya kalau kami memang berjodoh tapi tidak ada perasaan apa pun di antara kami? Bahkan semobil dengannya pun tidak membuatku merasa meleleh atau mendamba hal-hal yang lebih.

Mati adalah hal yang mutlak dan di luar rencana kita. Jodoh di lain pihak, harusnya menjadi sesuatu yang kita rencanakan. Kalau seperti ini kasusnya, bagaimana bisa aku tidak takut pada jodoh yang sekarang duduk di sampingku?

"Banyak manusia yang takut mati."

Sungguh aku ingin tertawa. "Mungkin karena mereka nggak siap meninggalkan apa yang ada di bumi. Gue pribadi nggak takut mati, tapi gue selalu gak kuat dengan momen kematian."

"Kayak tadi?"

Kuanggukkan kepala. "Kurang lebih begitu. Gue sempat merinding tadi, apalagi pas lihat lo."

"Gue mengingatkan lo sama kematian?" kini kurasakan wajahnya bergerak menatap ke arahku. Sekali lagi bulu kudukku meremang. "Menurut lo begitu?"

Wah, ini pertanyaan paling tricky. Kalau aku bilang iya, bisa-bisa detik ini juga aku mati betulan. Kalau bilang nggak, rasanya bakal ketahuan dustanya. Aku berdeham untuk mengusir rasa tidak enak yang hinggap sebentar. "Menurut lo?" Kukembalikan pertanyaan itu lagi padanya.

"Sampai sekarang gue masih nggak percaya ada orang sesinis lo di dunia ini," dia menggelengkan kepala seolah takjub.

Demi negeri Konoha aku nggak bermaksud sinis sama sekali dengan pertanyaanku tadi. Duh, susah memang penyakitku yang satu ini. Mukaku harus diapakan biar kakak nggak mengira aku sinis, Kak?

Dengan sedikit kesal karena dikira sinis, aku memberi jawaban. "Kalau boleh jujur, yang barusan itu nggak bermaksud sinis sama sekali. Muka dan nada bicara gue emang begini. Kalau lo nggak terima ya enggak masalah, itu hak lo. Gue cuma bisa bilang untuk membersihkan nama baik gue kalau gue nggak bermaksud sinis atau apa pun itu yang ada di kepala lo."

Kak Danuja tidak merasa perlu repot-repot membalas pernyataanku. Dia diam mengunci mulutnya. Suaranya baru kembali lagi begitu kami tiba di daerah yang tinggal hanya berjarak limabelas menit tanpa macet dari rumahku. "Gue berhenti di lampu merah depan."

Ketika mobil berhenti, dia bersiap untuk turun. "Mulut lo dijaga. Kalau pun lo nggak takut sama kematian, lo harus takut sama kesedihan orang-orang yang lo tinggalkan kalau lo meninggal. Mulut lo itu bisa menjadi jembatan ke sana. Pepatah mulutmu, harimaumu tuh dibuat bukan cuma buat nyusahin pelajaran bahasa Indonesia aja. Semoga lo ingat baik-baik nasihat gue."

***

Terusik bisa jadi adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan efek kalimat Kak Danuja malam itu untukku. Tidak pernah seumur hidupku ada orang yang dengan galak memintaku untuk menjaga mulut karena itu bisa membuatku pergi dari dunia. Semakin aku pikirkan, semakin menyeramkan sosok Kak Danuja ini. Apalagi jika ditambah dengan kenyataan bahwa dia adalah jodohku.

"Lo percaya jodoh, Kan?" aku melempar pertanyaan absurd pada Pinkan yang tengah terdiam meratapi tugas asistensi akuntansi dasar kami.

"Percaya. Emang kenapa, Mir?"

"Ya enggak kenapa-kenapa, sih. Gue cuma penasaran. Emangnya nggak boleh?"

"Jutek banget jawabannya," Pinkan berdecak.

Astaga, aku nggak bermaksud begitu. "Ya ampun, Kan. Kok lo kayak baru sehari kenal gue? Itu beneran nggak ada nada juteknya – menurut gue."

"Oke... oke. Terus kenapa tiba-tiba lo aneh banget nanyain jodoh di siang bolong? Abis kesambet?"

"Kayaknya gitu. Gue mungkin habis kesambet," kukerucutkan bibirku. Kalau artis Korea yang melakukannya kayaknya bakal jadi manis, tapi kalau aku yang melakukannya pandangan takut dari sekitarku yang akan kelihatan. Ah... seperti Pinkan sekarang.

"Muka lo nyeremin. Ngapain sih mulutnya? Jangan gitu dong, kurang cantik dipandang."

"Hibur gue, dong!"

Pinkan mendorong pundakku hingga aku terguncang sepersekian detik. "Daripada lo kesambet nggak jelas gini, mendingan cepetan kerjain tugas asistensi Akuntansi Dasar, Mir."

Oh iya, aku lupa memberitahukannya pada Pinkan. "Gue udah selesai dari kemarin sore tugasnya. Lupa banget mau bilang ke elo. Udah gue kumpulin juga ke asisten."

"Sumpah demi Konoha?" Pinkan membelalakkan matanya.

"Iya! Sumpah demi Konoha!"

"Kok lo ngeselin banget sih nggak ngajak-ngajak ngumpulin tugas. Gue kan bisa nyontek lo kalau lo udahan! Tega banget! Padahal selama ini gue yang pinjamin lo catatan."

"Duh, gue belum selesai kasih informasinya. Gue juga ngumpulin tugas lo barengan sama punya gue. Jadi gue bikin tugasnya dua rangkap, satu lagi gue modifikasi dikit terus gue bikin nama lo. Jadi deh kita udah kumpulin tugas asistensi," aku terkikik geli.

"Sumpah demi Konoha?"

"Iyaaaaa!"

"Harusnya lo bilang dari tadi, dong. Kalau begini kan gue jadi nggak galau mikirin tugas yang nggak gue pahami ini. Apa coba fungsinya ngitungin depresiasi perusahaan tapi caranya belibet-libet," Pinkan ikut terkikik, "eh, betewe gue punya rahasia terkait sama lo. Gue juga lupa kasih tahu."

"Ah? Gue? Rahasia apa?"

Pinkan mencondongkan tubuhnya ke arahku. Di ujung telingaku suaranya kudengar berbisik pelan. "Kak Danuja suka sama lo."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro