Part 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya ada kegelapan ketika Kamala membuka mata. Dia berada di ruang tanpa batas. Matanya tak dapat memandang apa pun. Hanya dersik angin dan sayup-sayup jeritan hilang timbul memasuki pendengarannya. Dia berputar-putar mencari celah cahaya atau setitik saja dian yang dapat menjadi harapannya keluar dari kegelapan.

“Kau pengecut, Wanita Tua!” teriaknya sambil mendongak. Dia meraba-raba sekitar, tetapi tak ada apa pun yang mencirikan suatu tempat.

Kamala menunduk dan meraba bagian bawah. Tangannya menyentuh tanah lembab dan berbau anyir. Dia mencoba membuka mata batin untuk melihat sekitar, tetapi kekuatannya seolah-olah lesap.

Sayup-sayup jeritan kembali terdengar. Kamala menajamkan pendengarannya. Dia bergerak perlahan, sesekali berhenti, lalu melihat sekitar. Tetap saja, tempat itu begitu pekat.

“Aku harus mencari jalan keluar,” gumamnya sambil menarik selendang dari bahunya. Saat itulah dia merasakan perih di pergelangan tangan. Meski tak dapat mengamati luka, Kamala tahu pergelangan tangannya terluka parah.

Lagi-lagi dersik angin terdengar. Kamala mendongak dan mengamati situasi. Kegelapan itu amat aneh, seolah-olah dirinya tengah di pantau oleh sesuatu tak kasatmata.

“Guriang!” panggilnya.

Kamala meraba gelangnya. Gelang itu masih ada, tetapi auranya amat renik sekali. Didekatnya gelang tersebut ke telinga, suara-suara yang biasa yang memanggilnya tak ada.

“Ke mana mereka?” gumamnya kembali. Dia mengelus gelang itu dengan selendangnya lalu kembali berjalan.

Kegelapan tempat itu terasa menghisap seluruh energinya. Kamala terengah-engah lalu terduduk dengan kepala yang dirundung pening. Tak tahan lagi, dia tersempalai dengan tidur yang amat nyenyak sekali.

Dersik angin membawa suara-suara kikik dari balik kegelapan. Berpasang-pasang mata merah bermunculan mengelilingi Kamala. Bibir mereka menyeringai kala menatap makanan yang diantarkan oleh Nyai Bayan.

Kegelapan berangsur-angsur temaram. Setiap sosok makhluk hitam menjelma menjadi raga, kegelapan berkurang. Dengusan napas mereka mengantarkan aroma bangkai. Tangan-tangan mereka yang memiliki tiga jari berkuku panjang beruluran, bersiap mencabik-cabik Kamala.

“Shruuuph!” Tiap kali mendekat, mereka mengeluarkan suara menjijikan. Namun, Kamala seolah-olah tak terganggu.

Makhluk-makhluk itu kemudian bersatu hingga menjadi sosok makhluk hitam besar dengan mata merah menyala. Dia meletakkan tangannya tepat di kepala Kamala bersiap memakan auranya.

Di dalam tidurnya, Kamala berada di sebuah padang mawar talita. Mawar-mawar itu mekar berwarna oranye dan menguarkan aroma menenangkan. Kamala memetik setangkai lalu menghidunya dalam-dalam.

Dia terus berlarian sambil tertawa. Di tengah taman bunga, Hardi membawakan berkuntum-kuntum mawar talita yang diikat selendang hijau. Kamala tersenyum lalu berlari menghambur ke pelukannya.

“Kakang ….”

“Ya, Kamala.”

Kamala memeluknya erat. Bibirnya merekah dan sesekali mengecup dada suaminya. “Aku merindukanmu.”

Hardi tak menjawab. Pun Kamala tak membutuhkan jawaban apa-apa. Dia makin erat memeluknya, terbuai dalam elusan lembut.

Aroma-aroma mawar kembali terhidu. Kamala makin terlena dalam rengkuhan Hardi.

“Bangunlah, Kamala. Lepaskan dia!”

Kamala membuka mata. Itu suara para Guriang, tetapi suara itu kembali menghilang. Dia menggeleng lalu memejamkan mata dan mengeratkan kembali pelukannya.

“Bangun, Kamala. Lepaskan dia! Bangunlah!” Kali ini suaranya lebih keras hingga Kamala benar-benar membuka matanya.

Dia mengerjap-ngerjap dan mengendus aroma Hardi. Aromanya serupa kemenyan yang bercampur pandan. Kamala tertegun sejenak lalu mendongak perlahan-lahan. Hardi tersenyum kepadanya.

“Kang Hardi … apakah kau yang membawaku ke sini?”

“Ya.” Hardi mengangguk. “Ini tempat yang kausukai bukan?”

Kamala tersenyum lalu melepaskan rengkuhannya. Dia melihat sekelilingnya yang teramat indah. Perlahan matanya memejam, meneteskan sebutir air mata. “Aku tahu ini tak nyata,” ucapnya dalam hati.

Saat perlahan matanya membuka, mawar-mawar talita itu perlahan-lahan menghilang dan bergantikan tulang belulang yang bertumpuk-tumpuk. Wangi mawar berganti dengan bau bangkai menyengat. Meski tak lagi gelap, tempat itu tertutupi kabut kelabu bercampur debu.

Kamala berbalik menatap Hardi yang terdiam.

Tak ada lagi senyum di wajah Hardi. Wajah pasi itu perlahan-lahan berubah retak. Bola mata beningnya kini berganti hitam sepenuhnya. Meski tampilannya mirip, dia bukanlah Hardi.

Tiba-tiba keheningan itu dipecah oleh desau angin yang menderu-deru. Kamala terdorong hingga menabrak tumpukan tulang. Dalam keriuhan angin, dia mendengar suara lemah para guriang.

“Jika kau ingin keluar dari tempat ini, makanlah jiwa hitam makhluk itu.”

Kamala berusaha berdiri dan menatap makhluk yang menyerupai Hardi itu. Melawan angin, dia melangkah tertatih-tatih. Beberapa kali langkahnya terdorong, tetapi dia terus bergerak maju.

Tiap langkahnya memijak, kebenciannya kepada Darma, Santika, serta orang-orang yang membuatnya kehilangan Hardi makin merebak. Matanya menatap nanar pada sosok yang menyerupai Hardi tersebut. Gelegak dendam perlahan-lahan membuka tirai yang menutupi mata batinnya. Dia meraih selendang hijau lalu membebatkan pada luka di pergelangan kirinya.

“Wahai tujuh guriang yang bersemayam dalam diriku. Berikan kekuatan kalian. Berikan tujuh jiwamu untuk kutukar dalam tujuh kehidupan.”

Mata Kamala memejam ketika sinar hijau menyelubunginya. Meskipun sinar itu lemah, Kamala harus memanfaatkan kekuatan itu untuk keluar dari tempat aneh ini. Para Guriang itu membisikkan mantra-mantra yang Kamala ikuti perlahan-lahan.

“Sagha pati tu winangun
Shukma ku payuhan
Para wisesa angen geutih sabadan-badan.”

Makhluk di depannya berubah wujud menjadi sosok besar berbulu hitam. Dia menggeram dan secepat kilat menyerang Kamala.

Mantra-mantra terus diucapkan Kamala dengan lantang. Saat dia membuka mata, tangannya bergerak dan menyakal tepat di perut makhluk itu. Makhluk itu meraung ketika rasa panas menyelar ke sekujur tubuhnya. Saat Kamala memejamkan mata, makhluk itu meledak hingga darahnya menyimbahi seluruh tubuh Kamala.

Hening, desau angin perlahan-lahan mendingin. Kamala berdiri dengan tubuh berbalut darah dari ujung kepala hingga kaki. Matanya nyalang saat tempat itu perlahan-lahan dipenuhi sinar terang.

Ringkikkan kuda yang menarik kereta penumpang berderap menuju Kamala. Kamala menyeringai ketika mengenali sosok perempuan yang menumpanginya. Nyai Sadimah.

***

“Nyai,” sapa Asti ketika melihat Nyai Sadimah berjalan dengan salah seorang pelayan. Setelah mengantarkan Nyai Sadimah, pelayan itu undur diri.

Asti segera menarik tangan Nyai Sadimah ke sebuah kursi panjang. “Nyai kenapa baru datang? Saya sudah menunggu dari hari lalu. Biasanya Nyai datang tepat waktu. Dan, kau hanya sendiri kemari?”

“Maafkan saya Juragan Istri, saya harus menangani beberapa sinden baru dan mengajari mereka.”

Asti mengangguk-angguk. “Ya sudahlah.” Dia menghela napas beberapa kali sebelum berkata, “Saya membutuhkanmu saat ini, Nyai.”

“Ya?”

“Aku merasa suamiku berubah, Nyai. Sejak tiga hari lalu pulang dengan badan kotor, dia hanya sebentar di sini, lalu pergi ke rumah gundiknya. Sampai saat ini dia tak pernah pulang lagi. Nyai, apa yang harus kulakukan, mantramu tak lagi manjur.”

Kamala, yang menyerupai Nyai Sadimah, menunduk sambil tersenyum licik. Dia lalu berkata, “Itu mudah saja, Juragan. Namun, kali ini prosesnya lebih rumit, tapi saya pastikan Juragan Hadiningrat akan takluk dan kembali kepadamu.” 

“Apa pun, Nyai. Apa pun akan saya lakukan asal dia kembali dan meninggalkan sundal itu.”

Kamala tersenyum sekilas sebelum berkata, “Baiklah, pada bulan mati dua hari lagi, di malam selasa kliwon, kita akan melakukan ritualnya.”

Asti mengangguk-angguk. “Apa yang harus saya persiapkan, Nyai?”

“Juragan tak perlu mempersiapkan apa-apa. Saya akan mempersiapkannya.”

Asti tersenyum dan menggenggam tangan Nyai Sadimah. “Nyai, jika tak ada dirimu, saya tak tahu harus ke mana meminta tolong.”

Kamala menunduk dan memelototi tangannya yang digenggam Asti. Perasaan jijik dan marah bergumul di hatinya. Dengan lembut, dia melepaskan tangan Asti. “Tentu, Juragan. Saya dengan senang hati membantu Juragan Istri.”

Asti kembali berterima kasih. Hatinya makin tenang. Terbukti senyum manisnya mengembang sempurna. Kecantikannya semasa gadis belum pula luntur, tetapi menghadapi wanita lain yang berusia lebih muda, rasa tak percaya diri selalu membalurinya.

Poin yang sangat mudah untuk dimanfaatkan Kamala. Rasa cemburu dan iri hati yang bercokol pada setiap diri perempuan.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro