Part 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika memasuki kamar Santika, Asti melihat anaknya tengah termenung di depan meja rias. Tangannya terus menyisiri rambut, tetapi pandangannya terlihat kosong. Asti mendekat lalu membelai rambut Santika.

“Tika, ayo makan, Nak. Ibu membawakan makanan kesukaanmu.” Asti menunjuk nampan berisi sepiring makanan.

Santika tetap bergeming meski ibunya mengambil alih sisirnya. Asti menyisiri rambut Santika hingga terlihat rapi. Dipandangnya bayangan anaknya di cermin, cantik dan anggun. Menurutnya, Santika adalah gadis tercantik di desa ini. Hanya saja, dia terlalu layu untuk mekar membuktikan diri.

“Tika, Nak ….”

“Bu, aku ingin keluar rumah.”

Asti terperenyak. Santika menatapnya dengan memohon.

“Apa ibu juga menganggapku gila?”

Asti menggeleng-geleng. “Tidak, Nak. Tidak.”

“Lalu? Kenapa Ibu mengurungku?”

“Ibu tidak mengurungmu. Kau hanya sedang sakit, dan Ibu perlu merawatmu.”

Santika kembali menatap bayangannya di cermin. “Yang kurasakan, di sini tak ada lagi kasih sayang untukku, Bu. Sejak hari itu, tiga tahun yang lalu, kalian semua berubah.”

Asti ingin membantah, tetapi kata-katanya tersekat di tenggorokan. Dia menunduk sambil meremas-remas tangannya. Sedikit banyak, perkataan Santika benar. Keluarganya memang telah berubah sejak tiga tahun lalu.

“Santika, dengarkan Ibu. Ibu akan terus membelamu. Ibu akan terus berpihak padamu.”

“Kalau begitu, bunuhlah Darma untukku, Bu.”

Perkataan Santika membuat Asti membelalak. Dia memegang bahu Santika lalu memutar tubuhnya hingga mereka berhadapan.  Lekat-lekat ditatapnya mata anaknya yang terlihat sayu. Rundungan kesedihan sejak tiga tahun lalu sepertinya tak pernah lesap bersama waktu.

“Santika, kita sudah membicarakan ini dari awal. Kau boleh melakukan apa saja semaumu, tetapi ayahmu tak akan mengizinkanmu menyentuh Darma.”

“Tapi dia menyentuhku, Bu. Dia yang memperkosaku, Bu. Dia yang menghancurkan segalanya. Dia ….”

“Santika!” Suara Asti bergetar ketika Santika mengingatkannya kembali akan dosa yang telah coba dihapuskan.

“Jangan pernah mengungkit-ungkit itu lagi! Tidak kepadaku, apalagi kepada ayahmu.”

Santika menunduk, perlahan mengangguk-angguk, lalu tertawa terbahak-bahak. Tawanya membuat Asti merinding hingga segera melepaskan tangannya dari bahu Santika.

“Berhenti tertawa, Santika!”

“Jika Ibu tak dapat membunuh Darma, bisakah Ibu membangkitkan Hardi untukku, Bu?”

“Tika!” bentak Asti ketika melihat Santika makin tak waras.

“Ya, Bu. Tak apa jika Darma tak Ibu bunuh, tapi tolong bangkitkan Hardi untukku, Bu.” Santika meneteskan air matanya. “Aku menyesal telah membunuhnya, Bu. Aku ingin dia kembali hidup, dan mencintaiku.”

“Santika! Ya Gusti nu Agung ….” Asti menggeleng-geleng. “Orang mati tak mungkin bisa bangkit kembali. Jangan gila, Tika!”

“Aku dapat mengabulkan keinginan anakmu.” Tiba-tiba sebuah suara menyela pembicaraan mereka.

Asti dan Santika menoleh ke pintu masuk. Terlihat Nyai Bayan berdiri dengan tongkat hitamnya. Bibirnya tersenyum, tetapi senyum itu terlihat mengerikan karena bekas luka yang membelah sudut bibirnya.

Dari awal kemunculannya, Asti tak menyukai keberadaan wanita tua misterius itu meskipun suaminya pernah ditolong. Terlebih lagi, Nyai Bayan seolah-olah tak pernah menghormati keberadaan Asti.

“Aku tak meminta pendapatmu.” Asti melengos. Namun, Santika berdiri dan mendekati Nyai Bayan dengan mata berbinar-binar.

“Apakah benar perkataanmu? Bisakah kau membangkitkan orang yang telah mati?”

Nyai Bayan terkikih-kikih. “Tentu, Anak Muda. Kau dapat memegang kata-kataku.”

“Lalu, kapan itu?”

“Pada bulan mati esok, malam selasa kliwon, aku akan membangkitkannya.”

Hati Santika menggelenyar. Asa bermekaran dalam pandangannya. Dia meraih tangan Nyai Bayan tanpa merasa jijik meski tangan itu hitam dan berkuku panjang. “Nyai, apa pun yang kau minta, akan kukabulkan. Kau ingin harta? Akan ada banyak harta untukmu.”

Nyai Bayan kembali terkikih-kikih. “Aku tak memerlukan itu, Nak.”

“Lalu apa yang dapat kubayarkan untuk mengupahmu, Nyi?”

Nyai Bayan mendongak dan mengamati wajah Santika. Bulu mata lentik dengan bola mata bak obsidian murni, hidung kecil nan mancung sempurna, kulit bersih tanpa noda, serta bibir penuh dengan merah alami, sungguh perpaduan indah yang menyatu bagai jelmaan dewi kahyangan.

“Suatu saat aku akan meminta apa yang kuinginkan, Anak Muda.”

Santika mengangguk-angguk. “Ya, Nyai, aku akan memberikan apa pun yang kau mau.”

“Santika!” Asti menarik anaknya agak menjauh, lalu memelototi Nyai Bayan. “Keluar dari Kamar anakku!”

“Ibu!” tegur Santika.

“Aku diperintahkan suamimu untuk menyembuhkan anakmu, karena itu kau tak dapat mengusirku.”

Asti berang. Hatinya masam karena sang suami memutuskan apa pun tanpa berunding dengannya. Karena hal itu, dia melupakan isi percakapan Nyai Bayan dan anaknya. Dalam pikirannya saat ini, dia terus mengharapkan hari ritual asihan secepatnya datang agar suaminya kembali bertekuk lutut. Selain gundik sundalnya itu, Asti akan mengusir wanita tua aneh itu. 

Tak tahan dengan rasa benci yang menggelegak, Asti segera keluar dari kamar Santika. Dia tak lagi peduli apa pun. Dia harus bertemu Nyai Sadimah sekarang juga dan meminta agar ritual dipercepat.

Sepeninggalnya Asti, Santika menyambut Nyai Bayan dengan perlakuan yang baik. Dia bahkan meminta para pelayan untuk membawakan minuman dan makanan. Ketika pelayan pergi menyiapkan segala yang diminta, Santika duduk berhadapan dengan Nyai Bayan.

“Jadi, Nyai. Apa yang harus kulakukan untuk membangkitkan Hardi?”

Nyai Bayan menatap wajah Santika, tangannya terulur, lalu membelainya. Santika sedikit risih, tetapi tetap bertahan meski aroma tak mengenakan memasuki penciumannya. Dia sedikit beringsut ketika Nyai Bayan membelai pipinya agak kasar.

“Maaf, kau pasti bingung dengan apa yang kulakukan. Tapi, ini untuk kebaikanmu.”

Santika mengusap pipinya dengan punggung tangan ketika Nyai Bayan telah menarik tangannya. “Maksud Nyai?”

“Kau sedang diincar oleh wanita mati. Wanita yang dipenuhi dendam kesumat, yang tak akan mungkin reda jika tidak mengorbankan darah keluargamu.”

Santika mencelang. Pikirannya langsung tertuju kepada Kamala. Dia mengangguk-angguk dan berucap, “Aku telah menduganya, Nyai. Wanita keparat itu masih hidup. Dia tak akan mati sebelum membunuhku. Dia adalah pusat kesengsaraanku, Nyai. Aku ….”

“Kau tak usah takut, selama aku di sini, aku akan melindungimu.”

“Terima kasih, Nyai. Tapi … yang kutakutkan, bagaimana jika Hardi hidup kembali, dan Kamala akan mengambilnya dariku, Nyai. Dia pasti akan mengambilnya kembali.”

Nyai Bayan tersenyum sinis. “Aku akan menjamin, Hardimu tak akan mengenalinya. Dia, hanya akan jadi milikmu.”

Binar di mata Santika makin menyala. Pikirannya telah membayangkan bagaimana kehidupannya dengan Hardi kelak: berdua, bahagia, dan tanpa Kamala. Memikirkan Kamala, raut wajahnya kembali dilumuri amarah.

“Nyai, apakah Kamala dapat dibunuh? Dia ….”

“Tentu saja. Dia dapat dibunuh, bahkan olehmu.”

“Olehku?” Santika menggeleng-geleng. “Keberadaannya saja aku tak tahu, Nyai. Dia begitu lihai bersembunyi, bahkan tak ada yang percaya kepadaku kalau perempuan sundal itu masih hidup dan akan membunuhku.”

Ingatan Santika melayang kepada sosok murid Nyai Sadimah. Dia begitu yakin bahwa perempuan itu adalah Kamala.

Nyai Bayan tersenyum sinis kala melihat Santika sibuk dengan pikirannya. Gadis di depannya mempunyai hati yang hitam sehingga mudah untuk dibujuk dan digiring pada sebuah rencana. Nyai Bayan ingin memanfaatkannya menemukan Kamala. Dia masih tak menyangka, dalam terungkunya, Kamala dapat melepaskan diri dengan memakan jiwa iblis.

“Nyai, bagaimana cara membunuh Kamala?”

Senyum Nyai Bayan mengembang membuat wajahnya yang penuh luka terlihat mengerikan. “Aku sudah menunggu pertanyaanmu ini.”

Perlahan-lahan, Nyai Bayan mengeluarkan sebuah belati dari kantong bajunya. Belati Kecil dengan gagang berupa ukiran naga.

“Tusuk tepat di dadanya. Dia akan menjadi manusia biasa, sehingga kau dapat membunuhnya.”

“Hanya itu?”

“Tidak.” Nyai Bayan menggeleng. “Terlebih dahulu, kau harus bersepakat dengan iblis.”

Tepat setelahnya, Santika merasakan tetesan yang mengenai hidung, bulu mata, serta tangannya. Setetes, dua tetes, dan makin berjebah membasahi tubuhnya. Santika perlahan-lahan mendongak. Saat itulah matanya bersirobok dengan mata merah kuntilanak hitam yang tengah menekan bahunya. Jeritan Santika membuka jalan aura-aura hitam mendapatkan wadah untuk bersemayam.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro