Part 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Santika terbangun dan langsung terduduk. Peluh membasahi wajahnya. Dia menoleh dan mendongak, memastikan bahwa keadaannya aman. Hingga kemudian, dia ingat pada sosok Nyai Bayan. Namun, wanita tua tak ada di kamarnya.

Malam rupanya telah menjelang. Santika melihat pelayannya masuk membawa senampan makanan. Pelayan itu terlihat ketakutan dan hanya meletakkan makanan lalu bergegas pergi. Melihat tingkah mereka, Santika merasa geram. Namun, dia tak ingin berbuat ulah karena hal ini akan membuat ayahnya makin membencinya.

Santika mengambil sepiring makanan. Namun, baru saja satu suapan, dia meludahkannya. Makanan di piring itu terlihat enak, tetapi Santika tak menyukainya.

Dia berdiri lalu berjalan ke arah pintu. Entah pelayan itu teledor atau ibunya memang berniat melepaskannya, pintu tak dikunci seperti biasanya. Santika tersenyum lalu segera menyelinap keluar.

Langkahnya seringan bulu ketika berjalan ke ruang tamu. Anehnya, rumah tampak sepi. Pelayan maupun ayah dan ibunya tak ada. Rumah begitu hening hingga membuat Santika dapat mendengar suara sekecil apa pun.

“Ibu!” panggilnya. Namun, tak ada jawaban apa pun.

Santika keluar dari rumahnya. Dia menghidu aroma-aroma lezat yang membuatnya mengendus-endus. Entah mengapa rasa lapar pada akhirnya membuatnya hilang akal. Dia segera mengikuti aroma makanan yang makin lama makin menggugah seleranya.

Lalu, saat melihat limpahan makanan tersaji, Santika tak lagi menahan diri. Bagai tak pernah makan bertahun-tahun, dia meraup apa pun yang ada. Tak dihiraukannya jerit ketakutan para pelayan yang melihatnya menggigiti ayam dan memakannya hidup-hidup.

***

Baru saja sampai di rumahnya, jeritan para pelayan membuat Asti dilanda cemas. Dia merasa Santika kembali berulah. Entah apalagi kali ini, Asti tak tahan dengan permasalahan yang sama.

“Ju, juragan … itu ….” Salah satu pelayan yang datang menyongsongnya segera menunjuk ke kandang ternak.

Rasa hati Asti makin tak enak. Ketika dia menguak kerumunan pelayan, dilihatnya Santika tengah membunuhi ayam-ayam dan memakannya hidup-hidup.

“Santika!” jeritnya sambil menarik anaknya.

Santika memberontak dan mendorongnya. Dia menggeram-geram. Asti segera memerintahkan pelayannya untuk menyeret Santika. Meski demikian, tenaga Santika cukup kuat untuk mendorong semua orang.

“Tika … ini Ibu, Nak.”

Santika menggeram-geram dengan mata mencelang. Para pelayan yang ketakutan segera berlari dan berteriak meminta tolong. Melihat tak ada yang dapat diminta tolong, Asti mundur dan memerintahkan pelayan memanggil Juragan Hadiningrat. Asti memutuskan mengunci kandang dan membiarkan Santika berada di dalamnya.

Hatinya hancur, tetapi Asti tak dapat melakukan apa pun.

***

Darma memasuki rumahnya sambil melemparkan jaket ke sembarang tempat. Hatinya gulana karena beberapa hari ini Laksmi seolah-olah menghilang. Meski dia membujuk Nyai Sadimah, wanita itu tak mau memberikan informasi apa pun.

Setelah meneguk air minum, Darma menyalakan rokok dan berdiam di sisi jendela. Diisapnya rokok itu kuat-kuat, lalu diembuskannya dengan kasar.

Asap rokok tersebut sedikit mengaburkan pandangan. Dia mengibas-ngibaskannya agar asap lekas pergi. Akan tetapi, asap itu makin bergumul banyak dan bertambah. Darma mundur ketika asap di depannya bergulung-gulung membentuk sosok manusia pucat.

“Ini tak nyata.” Dia menggeleng-geleng.

Namun, saat pandangannya mengitari sekitar, Darma baru menyadari bahwa dirinya tak lagi berada di rumah. Hanya ada kegelapan ke mana pun matanya memandang.

“Di mana aku?”

Bau busuk mulai terhidu. Darma beringsut dan menutup hidungnya. Gema suara tawa lantang membuat badannya makin menggigil. Itu suara Kamala, katanya dalam hati.

Tiba-tiba, suara tawa itu menghilang digantikan suara tangis bayi. Darma menutup telinganya dengan kedua telapak tangan.

“Pergi! Pergi, berengsek!”

Darma kembali menggeleng ketika suara tangis bayi itu makin lantang. Dia berputar dan mencoba lari ke mana pun lorong itu membawanya keluar. Akan tetapi, seperti menemui kebuntuan, Darma selalu kembali ke tempat semula.

Dia bersandar sambil terengah-engah. Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah belakang, sepasang tangan berkuku panjang, merangkul lehernya, lalu mencekik kuat-kuat. Darma berusaha memberontak. Namun, cekikkan itu amat kuat.

Bugh!

Tepat di ulu hati, sesuatu menendangnya dengan keras. Darma terbatuk-batuk sebelum tersungkur. Tepat setelah tubuhnya menyentuh tanah, tiba-tiba tangannya diseret lalu dilemparkan hingga menabrak dinding kembali.

“To, tolong … ampuni aku. Aku ….”

Suara tawa menggelegar membuat suara Darma tersekat. Dia menunduk dengan tubuh gemetar. Rasa sakit karena benturan membuat kepanya sedikit pening.  Sungguh, dia dicekam kebingungan dan ketakutan. Musuh dalam bayang-bayang kegelapan tak dapat dia hadapi begitu saja.

“Siapa kau? Mu, muncullah … aku akan ….”

Kembali ucapan Darma terhenti ketika suara tawa itu kembali terdengar. “Aku memberimu dua pilihan, Darma. Mati atau mengorbankan hidup orang lainnya.”

“Apa maksudmu?” Dengan takut-takut, Darma kembali mendongak.

“Mati atau menukar nyawamu.”

Darma menggeleng-geleng. “Aku tak ingin mati. Aku akan menukar nyawaku dengan hartaku.”

“Mati atau menukar nyawamu?”

Darma melihat sekelilingnya. Benar-benar tak ada tanda sama sekali dia berada di mana. Percuma jika dia lari, akan bernasib sama seperti sebelumnya, kembali ke tempat yang sama.

“Tukar nyawa,” sahutnya memutuskan.

Tawa itu kembali terdengar. “Siapa yang ingin kau tukar nyawamu?”

Darma terlihat berpikir-pikir. Namun, ketika bentakan itu kembali, Darma menjerit dan menyebut, “Santika. Kau bisa ambil nyawanya. Dia ….”

“Adikmu?”

“Ya, ya, kau bisa ambil nyawanya. Benar. “ Darma mengangguk-angguk takut.

“Bagaimana jika dia tak setuju bertukar nyawa denganmu?” Suara itu kembali menggelegar.

“Aku … aku akan membunuhnya.” Darma menggeleng-geleng, tetapi bagai sebuah kata kunci tiba-tiba saja ruangan itu kembali berubah. Darma menelungkup di kasur dengan pakaian yang masih utuh.

Dia terbangun dengan peluh bercucuran. Mimpinya sungguh aneh. Dia merasa melihat Kamala dalam mimpinya. Namun, gadis itu sangat tidak bahagia.

Darma lantas berpikir apa arti mimpinya. Meski jarang, Darma pernah melihatnya dalam mimpi. Mimpi berisi Kamala, bukanlah mimpi indah, melainkan sebuah kutukan dan kesialan. Dan kali ini, mimpi itu datang menjadi lebih mendetail. Sejujurnya, Darma makin takut jika Kamala benar-benar datang dan menagihnya.

***

Nun jauh di atas bukit, Kamala dengan selendang hijaunya tengah bersemedi. Tujuh batu di tangannya mulai kembali bersinar. Pun dengan wajahnya yang berangsur-angsur tak pucat lagi.

Namun, di dalam dirinya, Kamala tahu tubuhnya mulai rusak. Kematian yang ditangguhkan membuat tubuhnya perlahan-lahan akan menemukan titik hancur.

“Kamala … tirakatmu selesai. Kau harus kembali” Panglima Guriang berbicara dengan nada penuh wibawa.

“Apakah mereka tengah menungguku?”

“Ya, Kamala. Namun, kami tak ingin kau menghadapi Nyai Bayan dalam kondisimu yang masih lemah. Kecuali, kau mempunyai tubuh baru.”

Kamala melihat selendang hijaunya. Ingatan pada jasad suaminya yang digantung membuat hatinya makin masam dan penuh berang. Setitik air mata jatuh dari matanya. Dia mendongak ke langit dan bibirnya mendendangkan sebuah langgam.

“Wahai Alam, bisakah engkau memberikan keadilan untukku. Pada rasa sakit di hati yang bagai penuh tikaman sembilu.”

Angin malam seakan-akan sukarela menyiarkan langgamnya ke seantero desa.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro