Part 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Santika mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia terperenyak melihat sekeliling. Sebuah tempat bertanah basah dan dingin. Kabut yang cukup pekat membuat pandangannya pun terbatas.

Dia mengumpat ketika tangannya terasa sakit. Saat memeriksanya, sebuah lebam cukup besar tercetak di pergelangan tangan. Santika makin heran karena sebelumnya tak ada benturan atau apa pun pada tangannya.

Perlahan, dia bangkit dan meraba-raba sekitar, berharap ada sebuah penanda dirinya ada di mana. Hingga kemudian, tangannya menyentuh batu. Ketika ditelusuri, batu tersebut berukuran besar dan memanjang. Tak sadar, Santika terus berjalan sambil meraba sisi batu tersebut hingga kabut perlahan-lahan menipis dan membebaskan pandangan Santika.

Namun, yang dilihatnya kemudian, bukanlah sebuah jalan keluar. Di hadapan Santika, sebuah kolam berwarna merah serta berbau amis. Tak tahan dengan hal itu, Santika segera menutup hidung. Dia mundur dua langkah, berbalik, dan hendak berlari. Akan tetapi, tubuhnya menabrak dinding batu. Jalan yang sebelumnya dia lalui, menghilang, seolah-olah tak pernah ada.

Santika kembali berbalik. Kali ini peluh mulai bermunculan di pelipisnya. Jantungnya berdegub cepat kala keheningan di sana berganti dengan suara tawa yang terdengar jauh.

“Siapa?” Santika mendongak. Dilihatnya langit-langit berbatu, yang membuatnya mengerti bahwa dia berada di dalam gua.

Suara tawa itu menghilang berganti dengan suara angklung. Hanya satu nada yang dimainkan. Namun, setiap kali nada itu disenandungkan, kolam berwarna merah darah itu beriak.

Kembali bau amis itu menyeruak indra penciumannya. Santika segera beranjak, mencoba mencari celah jalan keluar, atau sekedar lubang kecil untuknya berteriak meminta tolong. Namun, baru saja beberapa langkah dia melangkah, tanah yang dipijaknya bergetar, perlahan dan berubah makin keras hingga menimbulkan retakan besar.

Santika menjerit ketika sebuah tangan keluar dan mencengkeram kakinya. “Jangan! Lepaskan aku!”

Dia mencoba menarik kakinya, tetapi kaki tersebut makin erat dicengkeram. Cengkeraman itu amat kuat hingga bunyi retakan terdengar seiring jeritan Santika yang memekakkan.

Peluh telah membuat rambut santika menempel di pipi dan leher. Dia tersungkur tak berdaya menahan rasa sakit patah tulang. Hingga kemudian, suara angklung tersebut kembali berbunyi membuat kolam semerah darah itu beriak. Makin keras, riak air kolam makin bergelombang.

Santika terbelalak ketika gelombang air itu berputar-putar hingga membentuk lekuk tubuh sintal seorang wanita.

Wanita berkebaya merah dengan bunga mawar diselipkan di celah cuping telinganya berjalan perlahan-lahan keluar dari kolam. Dari bibirnya, senandung nada dilantunkan disertai senyum sinis.

Santika tertegun. Rasa sakit di kakinya bahkan terlupakan karena degup jantungnya berdetak lebih cepat. Hawa dingin menyelapi kulit hingga membuatnya menggigil.

Santika menggeleng dan tak sadar bibirnya berucap, “Kamala.”

Ucapan itu membuat wanita berkebaya merah semakin mendekat dengan dagu terangkat. Santika beringsut. Sialnya, cekalan pada kaki membuatnya tak bisa bergegas pergi.

“Pergi … pergi! Kau sudah mati!” Santika mengibas-ngibaskan tangannya.

Sosok Kamala terus mendekat hingga wajah mereka berhadap-hadapan.

“Tika … aku masih hidup.” Kamala mengusap rambut Santika. “Aku ada di dalam jiwamu, Tika.”

Santika menggeleng lalu segera mendorong sosok Kamala. Dia menjerit dan mencengkeram leher wanita itu sekuat tenaga.

Sosok Kamala hanya tersenyum tenang meski Santika sekuat tenaga mencekik lehernya.

“Ya. Bunuh aku, Santika!”

***

“Santika!” Juragan Hadiningrat melemparkan tamparan ketika anaknya tersebut mencekik salah satu pelayan mereka.

Santika terengah-engah kemudian membeliak, terperangah menatap ayahnya. Dia melihat pelayannya segera ditarik oleh dua pelayan lain dan dibawa keluar.

“Ayah, Ibu … aku ….” Santika menggeleng-geleng.

“Sudah, Nak. Sudah, tak apa-apa. Kau hanya sedang kebingungan.” Asti, ibu Santika, mendekat dan memeluk anaknya.

Santika menangis sambil meremas-remas tangannya. Hampir saja, pikirnya. Jika ayahnya tak menampar, mungkin pelayan itu akan jadi korban keempat yang kehilangan nyawanya.

“Sudah, Tika. Semuanya baik-baik saja. Ayah dan ibumu akan memberikan uang tutup mulut. Mereka tak akan berani bergunjing atau menyebarkan berita yang bukan-bukan.”

Santika mengangguk-angguk. Dia kembali memeluk erat ibunya.

Juragan Hadiningrat mencebik sebelum berbalik dan keluar dari kamar anaknya. Melihat suaminya pergi dalam keadaan kesal, Asti segera melepaskan pelukan Santika. Dia bergegas menyusul dengan memanggil-manggil suaminya. Namun, sang suami terus saja melangkah.

“Kang! Tunggu! Akang bade ka mana?” Asti berhasil mengejar langkah suaminya kemudian menarik tangannya.

“Ke rumah Wiwin. Di sana lebih tenang daripada di sini.” Juragan Hadiningrat hendak kembali melangkah, tetapi Asti segera menghalanginya.

“Akang lebih memilih sundal itu daripada keluarga di sini?”

Juragan Hadiningrat tak menjawab pertanyaan Asti. Dia mendorong istrinya kemudian melenggang pergi. Tak lagi dihiraukannya sumpah seranah sang istri yang memaki-maki gundik barunya. Benar-benar, rumahnya tak ada lagi ketenangan seperti tiga tahun silam.

***

Santika mendengar pertengkaran ibu dan ayahnya. Cukup lantang suara mereka hingga terdengar di kamarnya. Dia cukup pintar memikirkan bahwa ayahnya tak lagi mendukungnya. Bahkan mungkin, gara-gara gundik barunya yang disodorkan Darma itu, ayahnya sekarang berbalik membencinya.

Saat ini hanya ibunya yang menjadi penopang dan pendukung di keluarga ini. Dia harus berterima kasih karena ibunya membawanya pulang dari rumah sakit jiwa. Sebab itulah, Santika harus memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali membalik keadaan.

Akan tetapi, dia tak memiliki kekuatan apa-apa. Ayahnya mengawasi segala gerak-geriknya. Pun sang ibu tak lagi mempunyai kuasa ketika ayahnya lebih memilih gundik barunya itu.

Santika menghela napas kemudian beranjak menuju cermin. Dilihatnya bayangan dirinya: wajahnya bersih dengan bibir kemerahan alami, hidung mancung dengan tahi lalat di ujungnya yang menambah manis wajahnya. Akan tetapi, wajah secantik itu mengapa ditolak Hardi? Santika, sampai kapan pun, tak pernah dapat menemukan jawabannya.

Dibandingkan Kamala, dia lebih sempurna. Keluarganya kaya raya, wajah tak kalah memikat, serta dia mengenyam pendidikan tinggi di kota. Hardi itu bodoh, pikirnya. Ya, pria itu bodoh menyia-nyiakan cintanya. Karena itu, Hardi pantas mati.

Mata Santika yang semula memandang lembut berubah menjadi tajam dibaluri kebencian.

“Mereka sudah mati. Hardi mati. Perempuan sundal itu pun mati.” Santika mendongakkan dagunya. “Aku tak perlu takut lagi. Aku seharusnya bahagia. Ya … benar.”

Dia terus mengamati bayangan wajahnya, menampilkan aura percaya diri dengan senyum sinis terkembang.

“Mereka yang menghalangiku akan mati,” ucapnya lirih. Dia tersenyum makin sinis.

Bayangan di cermin terlihat beriak. Perlahan-lahan lalu makin kencang disertai kabut merah yang membungkus bayangan Santika.

Santika menjegil. Dia beringsut mundur. Bau amis tercium menyeruak ke segala penjuru ruangan. Santika menutup hidungnya dan hendak berbalik. Namun, gerakannya terhenti ketika bayangan di cermin berubah menjadi sosok wanita berlumur tanah basah, menunduk dengan tangan memegang perutnya. Dari kedua pahanya mengalir darah segar hingga membasahi lantai.

Jantung Santika merenyut. Napasnya tersengal-sengal saat sosok di dalam cermin itu mendongak, menampakkan wajah Kamala berlumur darah.

“Santika … tolong … jangan bunuh anakku!”

Santika mencengkeram rambutnya, menjerit gila, ketika sosok dalam cermin itu mencoba menggapai-gapai dirinya. Bau amis makin pekat tercium diiringi hujan belatung yang melimpahi tubuh Santika.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro