Part 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari tengah merekah di ufuk timur, tetapi terhalang perbukitan yang berselingkup kabut tipis. Beberapa petani telah turun ke ladang, memeriksa tanaman-tanaman yang siap dipanen atau bahkan yang gagal panen karena serangan tikus atau hama. Rata-rata dari mereka adalah pekerja di ladang Juragan Hadiningrat. Sebab itulah, gagalnya panen akan dapat memengaruhi kelangsungan hidup mereka, dipecat atau tak diupah sama sekali.

“Waduh, ieu mah bakal gagal. Duh!” rutuk salah satu pria yang memeriksa ladang kubis. Di depannya beberapa tanaman kubis berceceran, tercerabut beserta akar, dan ada bagian yang digigiti binatang pengerat.

“Tikus-tikus laknat!” umpatnya lagi. Cukup keras hingga membuat petani lainnya menghampiri.

“Aya naon, Sep?”

“Kacau ini, Man. Kubis-kubis yang siap panen digerogoti tikus bahkan tercerabut dari akarnya.”

Lima petani berkumpul dan mengamati kubis-kubis yang berserakan. Cukup aneh, pikir mereka. Biasanya serangan tikus tak seperti itu. Kalaupun tikus-tikus itu mengerati tanaman, tak sampai akar-akar itu tercabut.

“Bisa jadi ini perbuatan manusia. Mungkin, ada yang berniat mencuri.” Maman memeriksa akar kubis yang tergeletak di dekatnya.

“Kalau mencuri, mah, pasti dibawa atuh barangnya. Ini, kubisnya ditinggal.” Asep menggeleng-geleng kebingungan.

“Terus kumaha atuh? Kita lapor ke Juragan?”

“Saha nu bade ngalapor? Sayah mah ogah teuing, mun hayang dipecat mah mangga atuh lapor.”

Lima petani tersebut berdebat mengenai lapor atau tidak soal kejadian itu. Namun, ketakutan akan dipecat atau tak diupah membuat mereka akhirnya memilih menutup mulut dan membuang barang bukti ke pinggir hutan.

Seusai bergotong royong membuang kubis-kubis cacat tersebut, mereka kembali ke ladang dan berencana memindahkan sebagian tanaman kubis yang di tengah untuk menutupi bagian yang kosong. Namun, sesampainya di areal ladang kubis, kelimanya membelalang kala mendapati seluruh kubis berserakan. Hal yang membuat mereka takut, pada kubis-kubis itu keluar tetesan darah segar yang memerahkan tanah ladang di pagi itu.

***

Angin pagi berkesiur pelan membelai anak-anak rambut Kamala. Dia memandang dari puncak bukit sisi timur areal ladang dan menikmati kepanikan para pekerja ladang Juragan Hadiningrat. Para petani itu tak bersalah, tetapi selama mereka berkait hidup dengan sang juragan, Kamala tak ingin pandang bulu.

Diangkatnya tangannya lalu digerakannya serupa mengipas. Tanah-tanah berderak dan bermunculan tikus-tikus yang saling mencicit.

“Kutitahkan kalian memakan apa pun yang berada di ladang itu. Jika ada yang tersisa, kumusnahkan kalian!”

Cicitan tikus itu seolah-olah mengiakan sabda yang tak boleh dibantah. Mereka berlarian, cepat, dan merangsek tanaman apa pun yang ditemuinya.

***

Nyai Sadimah menunduk dengan tubuh gemetar. Bukan karena dinginnya kabut pagi yang membelai tubuhnya, melainkan sosok wanita berkebaya merah di depannya. Kamala.

Selama tiga tahun ini dia meyakini Kamala telah meninggal. Nyai Sadimah bukan orang yang polos dan tak mengerti permainan jahat orang-orang berada. Pun tentang Kamala, dia tahu perempuan itu telah dibunuh oleh anggota keluarga Juragan Hadiningrat. Akan tetapi, Kamala yang berdiri tak jauh dari posisinya sekarang, amat jelas dan secantik dulu, tak ada yang berbeda. Bahkan aura kecantikannya makin bersinar.

Gigilan tubuh Nyai Sadimah membuat giginya bergemeletak. Kamala menoleh perlahan-lahan dan tersenyum datar sebelum mendekati perempuan berusia lima puluhan itu.

“Nyai Sadimah ….”

“A, ampun … Kamala. Aku tak tahu apa-apa. Sungguh!” ratapnya sambil menangkupkan tangan.

Kabut pagi terasa sangat dingin. Namun, berhadap-hadapan dengan Kamala tubuh Nyai Sadimah seakan-akan membeku. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Kamala dapat memunculkan darah dari tangannya. Pun dengan keberadaan dirinya yang tiba-tiba terbangun di atas bukit timur. Nyai Sadimah yakin, Kamala di depannya telah berubah menjadi sosok wingit.

“Nyai … aku tidak jahat.” Kamala menangkup tangan Nyai Sadimah.

“Kamala,” sebut Nyai Sadimah lirih. Jantungnya merenyut tak keruan. Tenggorokannya tersekat bagai terhalang batu besar yang mencegah suaranya keluar.

Kamala terkekeh-kekeh ketika mendengar suara degup jantung mantan ketua kelompok jaipongnya. Dia menepuk-nepuk bahu Nyai Sadimah dengan pelan, seakan-akan perempuan itu adalah anak kecil yang perlu ditenangkan.

“Aku tak akan membunuhmu, Nyai. Tidak.” Kamala menggeleng sambil tersenyum manis. “Kecuali … Nyai tak mau memberikan kelompok jaipong itu kepadaku.”

Kata-kata itu dibisikkan tepat di telinga Nyai Sadimah. Tubuhnya makin menggigil kala menatap mata Kamala. Nyai Sadimah memegang dadanya ketika detak jantungnya tak dapat dia atur lagi. Napasnya sesak, tersengal-sengal kepayahan. Kejutan selanjutnya membuatnya makin ketakutan.

Tujuh kabut muncul membentuk tujuh sosok di belakang Kamala. Sosok-sosok bagai danawa yang membawa masing-masing senjata  di tangannya.

“Nyai ….” Kamala kembali mendekatkan wajahnya.

Nyai Sadimah beringsut mundur. Dia mengangguk-angguk. “A, apa … pun.” bibirnya terasa kelu dan sulit digerakkan.

“Ambillah … ambil,” sahutnya setelah berusaha membuka bibir.

Kamala tersenyum. Amat manis, tetapi di mata Nyai Sadimah, senyuman itu amat mengerikan. “Aku akan mengambil alih sesuai perintahmu, Nyai.”

Air mata Nyai Sadimah menggenang lalu rebas begitu deras. Namun, dia tak berani terisak.

“Apakah begitu mengharukan karena aku kembali, Nyai?”

Nyai Sadimah hendak menggeleng, tetapi kemudian memilih mengangguk. Dia takut jawabannya salah dan berakhir dipenggal atau diberikan sebagai makanan kepada tujuh sosok mengerikan di belakang Kamala.

Kamala tersenyum geli ketika membaca pikiran Nyai Sadimah. Karena telah mendapatkan apa yang menjadi tujuannya, Kamala segera menangkup ubun-ubun si Nyai, lalu menidurkannya. Dengan sekali kibasan, tubuh Nyai Sadimah menghilang dikembalikan ke rumahnya.

Setelah itu, Kamala berbalik dan memandangi tujuh guriang yang memberikan salam hormat kepadanya kemudian memasuki gelang batu hijau yang melingkar di pergelangan tangannya.

Kamala menatap hamparan ladang di bawah bukit. Tikus-tikus itu bekerja dengan baik. ladang yang semula rapi dan hijau penuh tumbuhan kini keruntang-pungkang. Terdengar teriakan para pekerja ladang Juragan Hadiningrat sambil berlarian menyelamatkan diri dari ganasnya para tikus yang mengigiti apa pun yang dilihatnya.

Kegemparan itu akhirnya sampai juga di telinga Juragan Hadiningrat dan Darma yang tengah menyantap makan pagi di rumah mereka. Tergesa-gesa, keduanya bergegas menaiki Jeep hitam dan melaju meninggalkan halaman rumah. Namun, baru saja mobil itu keluar dari pekarangan, Darma harus menekan pedal rem karena seorang wanita tua berpakaian lusuh dan compang-camping menghadang jalan.

“Minggir, Setan!” teriak Darma sambil melongokkan kepalanya.

Wanita tua itu mendongak. Wajahnya dipenuhi bekas luka, bahkan mata kirinya hampir menutup sebelah. Singkat kata, amat mengerikan untuk dipandang dan ditatap lama-lama.

“Sial! Pengemis dari mana pagi begini sudah meminta uang.” Darma mencebik lalu merogoh saku celananya mengambil lembar seratus rupiah, mengepalkannya, lalu melemparkan uang tersebut hingga mengenai tubuh wanita tua itu.

“Minggir sekarang!” teriaknya lagi.

Wanita tua itu memungut uang yang diberikan Darma. Dia memandang Darma dan Juragan Hadiningrat kemudian berjalan ke sisi kiri.

“Juragan … aku tak memerlukan uang ini,” sahutnya sambil menunjukkan uang seratus rupiah kepada Juragan Hadiningrat.

Sang juragan membuang wajah, menyuruh Darma kembali melajukan mobil, dan hendak menaikkan kaca jendela mobil.

“Tunggu!” sergah wanita tua itu. “Namaku Nyi Bayan. Hidupmu dan hidup keluargamu tengah dicengkeram kesumat dari sumpah wanita yang telah mati.”

Nyi Bayan menepuk bahu Juragan Hadiningrat. “Kau akan memerlukanku, Juragan.” Dia tersenyum hingga membuat bekas luka di wajahnya makin terlihat mengerikan.

Sambil mengumpat keras dan memaki wanita tua itu, Darma segera melajukan mobil. Namun, dari kaca spion, Juragan Hadiningrat memperhatikan wanita tua tersebut. Dia membuntang ketika sosok Nyi Bayan menghilang bagai ditelan udara kosong. Bahkan, untuk memastikannya, Juragan Hadiningrat melongokkan kepala melihat ke belakang.

Kata-kata Nyi Bayan kembali terngiang. Saat menunduk, Juragan Hadiningrat mendapati tangannya telah menggenggam uang kertas seratus rupiah yang sebelumnya berada di tangan wanita tua itu.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro