Part 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ladang yang semula bagai permadani hijau, membentang di bawah kaki Gunung Kendang, kini berubah menjadi lautan darah. Tak hanya itu, tikus-tikus yang menyerang amat sulit ditangkap, seolah-olah mempunyai keahlian khusus menghilang ke dalam tanah.

Juragan Hadiningrat hampir memuntahkan isi perutnya saat bau amis dan busuk terhidu. Lekas dia berbalik dan kembali memasuki mobil Jeep.

Sama halnya dengan sang ayah, Darma bergegas memasuki mobil setelah sebelumnya muntah karena tak tahan bau busuk yang menguar.

"Apa yang harus kita lakukan, Ayah?" tanya Darma sambil mengembuskan napas dengan kasar. Di luar mobil, centeng-centeng ayahnya pun memilih menjauh dari ladang daripada harus berbaur dengan haru biru lalat-lalat yang mulai berdatangan.

Juragan Hadiningrat kembali menatap ladangnya yang dipenuhi darah. "Bakar semuanya!"

Darma membelalak. Namun, dia sendiri tahu, tak ada jalan keluar lagi selain membakar ladang tersebut. Setelah menitahkan pembakaran ladang kepada anak buahnya, Darma dan ayahnya bergegas pergi.

***

Desas-desus ladang Juragan Hadiningrat dikutuk membuat para warga desa tak berani keluar rumah. Kepercayaan warga terhadap hal-hal gaib masih amat lekat. Sebab itu pula, ketika Darma datang dan menawarkan pekerjaan untuk menghijaukan kembali lahan yang terpaksa dibakar, Warga desa memilih menolak dengan berbagai alasan.

"Bangsat!" Darma menggebrak meja hingga cangkir yang terisi kopi, jatuh dan mengotori lantai kayu.

"Sabar, Kang." Sulastri keluar dari kamar lalu mengelus pundak suaminya.

Darma baru saja menikahi Sulastri beberapa bulan lalu. Seharusnya mereka pergi ke kota untuk berbulan madu. Namun, masalah yang menimpa ayahnya pada akhirnya harus menghentikan rencana mereka.

Sulastri adalah kembang desa di desa sebelah. Perawakan anggun nan semampai disertai senyum manisnya berhasil memikat Darma. Tak butuh waktu lama, Darma dapat memboyongnya sebagai pengantin. Oleh karena itu, kebahagiaannya sedikit terganggu karena masalah ladang. Bagaimanapun, suatu saat, ladang ayahnya akan dimilikinya. J

adi, jika desas-desus ini terus bercokol, ladang itu hanya akan menjadi tanah gersang dan mati. "Kang, kenapa kita tak membuat sedekah bumi saja? Untuk buang sial." Sulastri mengambil cangkir yang baru lalu mengucurkan air kopi dari termos. Dia menyodorkannya ke hadapan sang suami.

"Sedekah bumi?" Darma merasa tercerahkan. "Benar. Orang-orang desa tolol itu akan kembali percaya jika kita membuat pesta syukuran sebagai buang sial. Mereka pasti mau bekerja kembali."

"Nah, itu maksudku, Kang. Menghadapi para penduduk tak perlu akang berkeras lidah. Akang cukup berikan hiburan untuk mereka, makanan yang enak, pasti mereka akan menurut."

Darma memandang Sulastri sambil tersenyum miring. "Selain cantik, kau juga pintar." Dia merogoh saku, mengeluarkan dompet, lalu mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan. Diselipkannya uang-uang tersebut ke belahan dada istrinya.

Sulastri terkikik-kikik bahagia sambil mengambil uang suaminya.

Setelah mendapatkan jalan keluar masalah ladang, Darma bergegas keluar rumah dan segera menemui ayahnya yang berada di rumah sang gundik.

Tak dia sadari, sosok kelelawar yang hinggap, menggantung, di langit-langit serambi rumahnya membuka matanya yang merah lalu mengepakkan sayapnya terbang ke timur.

***

Nyai Sadimah menatap bayangannya di cermin. Wajahnya sudah menua, bahkan make up tak lagi dapat menutupi kerutan dan layunya sang wajah. Lebih dari itu, pikirannya yang dipenuhi mimpi aneh bertemu Kamala membuat tampilannya makin terlihat lebih tua.

Namun, benarkah itu mimpi? Nyai Sadimah menggeleng-geleng. Kejadian itu seperti nyata. Dia bahkan masih mengingat rasa dingin di kulitnya.

"Nyai!"

Suara panggilan disertai ketukan pada pintu kamarnya membuat Nyai Sadimah kembali sadar. Dia beranjak lalu membuka pintu. Dia mendapati Surati, salah satu penari jaipongnya, tersenyum senang.

"Nyai, ada pesanan dari Juragan Hadiningrat. Besok malam, Juragan mau mengadakan pesta dan mengundang kelompok jaipong kita."

Nyai Sadimah berbinar-binar. "Bagus. Kalau begitu kau persiapkan segalanya. Ingat, Juragan Hadiningrat menyukai penari-penari muda. Siapkan pula pakaian yang terbuka."

"Baik, Nyai." Surati segera berbalik lalu berlari pendek menuju pondok tempat para penari.

Sementara Nyai Sadimah mengembuskan napas lega. Dia mengangguk-angguk dan menganggap apa yang dilihatnya itu hanyalah mimpi. Mana mungkin, Juragan Hadiningrat mengadakan pesta jika ladangnya bermasalah, pikirnya.

Dia segera menutup pintu, menyelotnya, kemudian berbalik untuk mempersiapkan pakaian khusus. Akan tetapi, tubuhnya membeku seketika saat melihat sosok wanita berkebaya merah dengan selendang hijau duduk di depan cermin riasnya, memoles bedak perlahan-lahan ke wajah ayunya.

"Nyai ... kau menerima permintaan mereka?" tanya Kamala.

Nyai Sadimah gemetar. Bibirnya kelu seketika. Wangi kenanga bercampur amis darah merajai penciumannya. Apa yang sebelumnya dipercaya hanya mimpi, ternyata semua nyata.

Tak mendapatkan jawaban Nyai Sadimah, Kamala menoleh dengan tatapan tanpa emosi. "Nyai ... aku bertanya kepadamu."

"Bub ... tu ... tu ...." Hanya suara tergagap yang tak jelas keluar dari bibir Nyai Sadimah.

Kamala menggeleng-geleng. "Sudah kubilang, aku tak akan membunuhmu, Nyi. Kecuali ... kau membantah perintahku."

Nyai Sadimah meneteskan air mata lalu bersimpuh dengan tubuh gemetar. "Ampun ... ampuni saya, Kamala. Saya ...."

"Cukup! Aku tak menyalahkanmu. Aku bahkan senang kau menyanggupi permintaan Juragan Hardi. Namun, dalam acara itu, semua ... harus dalam kendaliku."

Nyai Sadimah mengangguk-angguk. Dia akan mengiakan apa pun kemauan Kamala asal dirinya selamat. Dia terus menunduk, tak berani menatap wajah Kamala, atau bahkan meliriknya.

Namun, ketika tak ada lagi pergerakan atau perkataan dari Kamala, Nyai Sadimah perlahan-lahan mendongak. Dia kembali terbelalak saat melihat kursi riasnya kosong. Bahkan ketika dia mengedarkan pandangan ke sepenjuru kamar, tak ada sosok Kamala.

Nyai Sadimah menekan dadanya karena jantungnya makin terasa sakit saat berdegup. Entah dalam satu hari ini berapa kejutan yang dia dapatkan, hingga jantung tuanya hampir-hampir saja sulit berdetak kembali.

***

Kepala Desa menyalami tamunya, seorang notaris dari kota. Dia menyelipkan amplop putih berisi uang kepada sang notaris yang diterimanya dengan senyum tipis sambil mengangguk-angguk.

"Senang bekerja sama dengan Anda," sahut notaris tersebut sambil memasukkan amplop berisi uang ke dalam koper berkas. Setelahnya dia diantar Nurdi, si kepala desa, sampai ke mobilnya.

Setelah berpamitan sekali lagi, si notaris melajukan mobilnya.

Nurdi kembali memasuki rumah, rumah Kamala tepatnya. Dia telah mengambil alih hak rumah tersebut, membalik nama surat-suratnya dengan bantuan sang notaris dari kota.

"Kang, apa kita enggak dosa mengambil rumah temanku ini?" Marti memandangi kertas-kertas yang telah ditandatangani suaminya sebagai pemilik sah tanah dan rumah Kamala.

"Sudahlah, Marti. Tak ada soal dosa di sini. Suamimu ini kepala desa, tak ada yang akan protes, kecuali Kamala bangkit dari kuburnya."

"Kang!" Marti membentak sambil beringsut mendekati suaminya.

Nurdi terkekeh-kekeh berhasil menakut-nakuti sang istri.

Tahu tengah dijahili, Marti mencubit lengan suaminya sebelum beranjak memasuki kamar diiringi tawa sang suami.

Marti memandang kamar Kamala. Sejak dulu, ketika diajak main ke rumah Kamala, Marti terus mengidam-idamkan perabotan klasik dan unik yang dibuat kakek Kamala. Kayunya yang kuat serta ukiran-ukiran berseni tinggi membuat kualitas perabotan itu terasa benilai tinggi.

Tangannya menyusuri ukiran meja rias dengan bentuk cermin unik tersebut. Pada bingkai cermin, ukiran sulur-sulur dedaunan begitu terlihat hidup. Pun terselip huruf-huruf sansakerta yang tak Marti ketahui artinya.

Marti masih asik mengagumi ukiran-ukiran tersebut, hingga kemudian dia memandang bayangannya sendiri. Wajahnya tak secantik Kamala, tetapi Marti berpikir nasibnya lebih baik daripada temannya itu.

"Kamala ...," bisiknya. Dia membekap bibirnya sendiri. Jantungnya merenyut keras hanya dengan mengucapkan nama itu.

Tiga tahun ini nama Kamala adalah kata terlarang diucapkan. Namun, entah mengapa, tanpa sadar dia mengucapkannya begitu saja.

"Kamala," ucapnya kembali tanpa sadar. Marti menggeleng-geleng.

"Ya, Marti ... kau memanggilku?"

Marti menjegil kala bayangan pada cermin berubah menjadi sosok Kamala yang pucat pasi dan dipenuhi belatung.

Dia hendak menjerit, tetapi tiba-tiba Kamala keluar dari cermin lalu memasukkan tangan pucat penuh dengan belatung ke dalam mulut Marti.

Marti tersedak. Lebih dari itu, organ dalamnya terasa dikoyak-koyak. Tak tahan menahan rasa syok dan sakit, kesadaran Murti direngkuh kegelapan.


bersambung .... 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro