a cup of ur shit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Dulu aku suka menggambar, menggambar seluruh hewan hewan di dunia ini yang aku tahu dengan deretan crayon berharga berjuta juta, alat lukis semahal para pelukis handal di luar sana. Dulu kata bunda, aku akan menjadi pelukis yang baik hati, ia bilang seperti itu dengan mengelus kepala ku menggunakan tanganya yang lentik dan halus.

Bunda tidak bisa keluar karena kesehatanya, rencana ayah untuk menunjukan binatang binatang yang jauh lebih banyak dengan melihatnya langsung kepadaku harus pupis, katanga hal itu  supaya aku bisa menggambarnya dengan jelas dengan pengalaman mataku sendiri. Sebagai gantinya Ayah membuat kebun binatang mini di halaman belakang, mulai dari hewan hewan cantik seperti merak, kalkun, kelinci, Rusa hingga yang menyeramkan sekaligus, Macan dan seekor banteng spanyol. Sejatinya aku juga sempat di tawari gajah oleh ayah, aku menolak nya karena aku takut mati terinjak oleh kaki betonya.

Ruangan kerja Ayah adalah ruangan paling luas yang memakai bagian belakang rumah dari ujung ke ujung, di balik meja gagah perkasanya tempat ia bekerja berderet jendela jendela tampa batas yang menunjukan seluruh kebun binatang kecil miliku, serta taman bunga mawar dan anggrek milik bunda yang setiap waktunya selalu berbunga dengan indah. Jadi tampa perlu membawa bunda turun, atau pening karena aku akan berlari tidak terkendali di bawah, kami melihat hasil pengeluaran bertriliun (kebun binatang) dari ruang kerja ayah yang sangat nyaman.

Aku tidak tahu dulu ayah kerja dimana, karena setiap harinya ayah kerja di rumah kami, di dalam ruanganya.

Ayah berkutat dengan dokumen kerjanya, di sebelah meja gagah perkasanya meja kecil bewarna merah muda di buatkan untuku, ujung meja kami saling berhimpitan dan menempel, menggambarkan dulu aku sedekat itu dengan ayah. Biasanya bunda akan duduk di sofa bewarna cream di hadapan ku, ia menyeduh teh madu untuk menghangatkan dirinya, membiarkan dirinya berjemur di dalam ruangan sebagai anjuran dokter.

Dulu keluarga kami memang tidak banyak bicara satu sama lain, tapi aku tahu, saat aku duduk di meja kecil bewarna merah muda itu, mata ayah dan bunda selalu memandangku dengan rasa bangga dan kasih sayang. Memuji apapun hasil karya paling jelek miliku, lalu membandingkanya dengan kami sama sama memandang halaman luas belakang kami dengan perasaan bangga.

Kini, setelah 15 tahun memiliki memori indah tentang ruang kerja ayah, aku kembali lagi berdiri disini.

Tidak ada interior yang di ubah satu jengkal pun oleh ayah, hal hal kecil yang sering aku perhatikan dulu seperti arah patung macan di dekat pintu pun masih berdiri menyerong menghadap lemari berisi pedang pedang kuno, kursi cream milik bunda juga terletak sama di tempatnya.

meja merah muda kecil milku masih berdiri berdebu di sebelah meja perkasanya, kini ayah dengan posisi yang sama seperti tahun tahun lalu, duduk dengan ekpresi tenang, menggengam pulpen biru kesayanganya, menggunakan kemejanputih yang di lapisi jaket rajut hasil rajutan bunda.

Ayah masih sama, ruangan ini masih sama. Yang berbeda hanya dua : ketidak hadiran bunda, dan tubuhku yang semakin besar.

pertanyaan mulai muncul di benaku, apakah ayah merasa dejavu kembalinya lagi aku ke ruangan ini? Apakah hati ayah menyayat karena merindukan bunda?

Aku cukup lama berdiri di hadapan ayah, menunggu dirinya berhenti untuk menyelesaikan tugas kerjanya dan mendengah menatapku.

mau itu puluhan menit, aku siap untuk berdiri disini, menunggunya selesai dengan urusanya, sama seperti aku kecil dulu yang gemar menarik perhatianya.

Tangan ayah akhirnya berhenti menulis sesuatu di atas tumpukan kertas dokumen, nafasnya menghela panjang dan kini wajah tegas milik abraham miliknya mengadah memandangku dengan ekpresi paling tidak menunjukan apapun disana.

Tubuhnya memang sama, tapi di dalam, ayah bukan seorang ayah yang aku kenal.

Harapanku sepertinya terlalu jauh, di ekpresi wajahnya yang ku rindukan disana akan terbesit sedikit kekawatiran ketika melihat putrinya datang dengan tubuh bersimbah darah, air matanya jatuh dan urat urat di lehernya akan muncul, ia akan marah kepasa siapa yang telah menyakiti satu satunya peninggalan istri tercintanya. Tapi ayah, tidak akan melakukan seperti itu.

"ada urusana?" ia bertanya, menaruh kedua tanganya terpaut untuk menjadi tumpuan dagunya.

Aku masih berdiri berjarak 2 meter dari ayah duduk, dengan pakaian paling berantakan yang aku tampilkan. Mulutku terkunci, otaku berfikir keras untuk menjwab pertanyaan simple miliknya.

Apakah aku harus perlu menjelaskan situasiku? Ia buta atau memang bodoh?

"aku kayaknya kena teror"

Ayah masih terdiam membeku disana, menungguku melanjutkan kalimatku lalu mencari dimana letak hal pentingnya, tapi dari tampangnya sepertu berharap aku segera menyelesaikan omong kosongku yang tidak penting untuknya, sehingga pekerjaan di hadapanya bisa segera ia urus.

"ini..luka, jadinya begini" kataku cangung, tertawa menunjukan seluruh tubuhku yang berbau amis.

Tangan ayah yang menjadi tumpuan dagu rahang miliknya kinu kembali meraih pena biru tua kebangganya, ayah juga menganguk kecil setelah lagi lagi menghela nafas nya panjang.

"Telfon ibu, ibu yang biasa nanganin kaya gini," kata ayah, tanganya kini mulai bergerak menulis kembali di atas kertas, pandanga kami terputus begitu saja.

Tubuhku masih mematung, perintah ayah begitu jelas, saking jelasnya ingin membuatku menangis sekarang juga. Amarahku berkobar dengan lahap membuat otaku membayangkan bagaimana jika aku menyeret jerigen minyak tanah dan menunpahkanya di meja kerja ayah? Lalu mengambil korek api besinya dan menjatuhkanya di atas meja basah tersebut. Sepertinya aku akan menangis bahagia melihat bahan kerjanya sekarang terbakar dengan lahap.

Ayah meliriku bingung, aku yang tak kunjung keluar dari ruang kerja miliknya di rumah hitam kecoklatan ini. Berdiri seolah rakyat diluar sana yang menuntut keadilan pada pemerintah, mungkin ayah melihatku sama seperti pemerintah melihat rakyat, sebuah hama yang banyak menuntut.

"Seharusnya kan kamu ke asosiasi, kenapa harus pulang?. Rumah kita gak se hebat itu sampai punya ruang inap penuh medisnya sendiri" celoteh ayah, ekpresinya kini seperti menunjukan bahwa ia sangat terganggu pada kehadiranku.

Apakah ini yang aku sebut rumah untuk tempat aku kembali? Bangunan bisu yang tidak memiliki kehangatan padaku sedikit saja?

Aku. Aku ingin sekali meninggalkan rumah ini sejak dulu, mengepack barang barangku dan memilih tinggal di apartement milik asosiasi. Walau ku sebut rumah, bangunan ini tak lebih dari semen semen yang di bentuk sebagai sebuah bangunan bisu.

masalahnya pada, Bunda sendiri yang bilang ia sangat suka dengan rumah kami, cocok sekali dengan selera dan kenyamanan nya. Aku menghormati keputusan bunda, bahwa ia ingin aku suatu saat melihat rumah ini seperti dirinya melihat hal ini. Keluarga kecil kami dulu bagaikan dogeng cita-cita milik bunda yang terwujud, bagiku hanyalah awalan sebelum nereka terjadi.

setelah di pikir-pikir, untuk apa aku menetap dirumah ini? Bunda juga sudah mati, tidak perlu di hormati apalagi yang masih hidup bertingkah seperti hewan menjijikan.

Mulutku mendecal, rasa tegamg yang terbalut emosi tadi mendadak hilang digantikan sebuah santai pada tubuhku. Aku berani kembali menatap ayah dengan pandangan meremehkan, mulutku kembali terbuka untuk berbicara

Bunda pantas mati, ia tidak layak mendapat suami seperti iblis.

Aku berharap aku ikut bunda untuk mati dari pada di tinggal bersama bajingan seperti mu.

Bunda tidak akan mencintaimu lagi, yang seperti ini.

Berhentilah seperti ini, ada apa dengan mu?

Aku berharap ayah yang mati dari pada harus bunda yang mati.

deretan deretan kalimat menusuk itu berakhir hanya mengiang di kepalaku, tidak bisa bersuara oleh lidahku.

kalimat itu menyakitkan, memuaskan emosi kekecawaanku pada ayah yang sejatinya tidak bisa hanga di ungkapkan oleh kata kata. Tapi bagaiman jika itu melukai hati ayah sangat dalam?

aku tidak ingin melukainya,

jadi mulutku kembali terkatup. Rapat-rapat.

Ekpresi ayah sekilas berubah menjadi penuh kebingungan, mulutnya sendikit terbuka tapi tidak ada suara yang keluar dari sana.

tubuhku semakin lemas, oleng karena keraguan hatiku yang tidak jelas merasakan apa pada ayah, sayang sekaligus membencinya. Tanganku dengan sigap menyentuh ujung tinggi kursi cream bunda, meninggalkan bercak darah di atasnya karena luka robeku masih mengeluarkan darah.

"selamat pagi"

aku segera undur diri, berbalik badan dan menyeret tubuhku perlahan keluar dari ruanganya. Aku tidak mau untuk menoleh kebelakang padanya.

Pintu kayu jati setinggi harapanku pada ayah menutup kembali setelah aku melangkah keluar. Bunyi reyotan nya kencang hingga menimbulkan dentuman kencang yang tidak kalah dari suara hatiku yang kecewa pada segalanya.

Aku tidak pernah menundukan kepalaku pada siapapun kecuali Ayah, satu satunya orang dimana kepalaku menunduk, ia seorang yang mendapat kehormataan loyalitas dariku namun dengan mudah ia selalu hancurkan dan acuhkan seluruh persembahaanku.

jika ayah senang melihatku menderita, akan ku lakukan sesuai apa yang ia sukai.

Mari hancurkan diri ini dengan brutal hingga abraham akan mengadakan pesta duka kedua kalinya dari darah yang sama.

As u wish, jeffrey xav.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro