A little Family Problem

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng












Kata Jay, aku depresi.

Depresi ringan berkepanjangan, aku tidak tahu singkatan nya yang ia sebutkan, tapi aku tahu apa yang sedang ia tuju.

Dia mencetuskan itu dengan spontanitas ketika kami berdua sedang berlibat dalam suatu aktifitas sialan, acara club senayan golf pagi di hari minggu, biasanya aku selalu mencari acara untuk absen kegiatan ini, tapi pagi ini ayah benar benar memaksaku untuk ikut dengan menyiapkan alat alat golf miliku di samping tas coklat kulit golf miliknya.

Ini adalah kumpulan orang orang berduit saling tertawa satu sama lain tapi saling membunuh jika berada di dalam bisnis. sesaat memang mereka terlihat seperti rekan, tapi jika saja muncul satu kesempatan untuk bisa mendapatkan duit lebih banyak, mereka berubah menjadi orang paling jahat sedunia. Sudah ambisi, membuang lawan.

Ah, tapi papah jay, papah Lohan tidak begitu. Pria itu baik, sudah mengenal ayah jauh sebelum aku lahir katanya, alasan aku kenal dengan jay karena keluarga kami yang masih tetap berhubungan, menjaga mitra hubungan bisnis yang katanya sudah terikat belasan tahun.

Kembali ke kalimat yang Jay lontarkan, aku tidak berkutik dengan makianya, atau memang dia pure ingin memberi tahuku bahwa aku seperti orang depresi.

Mataku masih menatap lurus orang orang yang sedang memperhatikan papa lohan membuang gagangnya siaga untuk memukul bola, tanganku mengengam gagang golf seolah ini adalah tumpuanku. "Gak ngaruh depresi atau gak, gue tetep harus dateng kesini" jawabku ngasal

Jay membenarkan topi putihnya dan melangkah mendekat kepadaku. "Serius tapi, lo pernah sadar gak sih? Kalau lo tuh apa ya, beda?"

Mendengar Jay bicara semakin semrawut, aku melayangkan tatapan malasku kepadanya. "Mungkin gue beda karena gue di tumbuh tampa ibu kandung, gitu kan maksud lo? Ngejek?"

"wow, diana, u really rude to ur self. Gua gak bilang kaya gitu" katanya, "cuman bilang apa yang di pikiran gua"

Aku menghela nafas, berdiri dengan kakiku yang tegak. Berbicara dengan Jay membuat tenggorokan ku kering, jadi aku memutar badan untuk mendekati mobil golf ku dan mencari air disana. Jay mengikutiku dengan cerocosan mulutnya yang seperti knappot motor bagas, trororrkoktokorokktotktotktorkok. Serperti itu.

diantara teman temanku lainya, si jay ini emang paling tau banyak soal keluargaku. Paling sering yang menceramahiku untuk pentingnya pulang kerumah, jay bersikap ala ala anak keluarga cemara yang mau merangkulku karena iba, tampak seperti abang yang banyak nuntut.

Rumahnya juga berguna sih, aku memilih untuk menginap di rumah Lohan ketika tubuhku sedang kurang enak badan, mamahnya akan meeawatku dengan sepenuh hati. Margareth bukan ibu yang seperti itu, ia akan menyuruh dokter untuk mengawasiku.

"Tapi lo gak mau coba konsul?"

hahhhhhh, aku ingin menyemburkan air ini ke mukanya langsung saat ini.

"Iya kalau misal konsul dan tebakan lo benar, apa ngaruhnya januar? Gak ada yang beda kan? nambah nambah list kelemahaan aja, musuh tuh yang bersorak ria" aku membalas dengan panjang lebar, berkaca pingang galak.

Jay tersenyum menyadari ucapanku benar,"Gua Lohan paling sial, karena dapet patner Abraham kaya lo, cewe depresi"

aku melihatnya jay, kesialan itu.

Bibirku tertarik untuk ikut tertawa, benar juga, Jay begitu sial.

Pria dengan lama asli Januar itu duduk di kursi belakang mobil Golf dengan satu kali loncatan, di belakang kami sana para pemain dewasa juga sudah hendak berjalan menuju arah kami, deretan mobil golf dengan langkah perlahan. Aku tidak sadar bahwa sudah waktunya untuk ke arena berikutnya.

"Ayo, sini naik" katanya, tanganya terulur ingin membantuku.

ku biarkan tanganya tetap menggantung, aku tidak lemah lemah amat untuk naik ke posisi pendek seperti itu. Aku juga bisa langsung duduk di sebelahny dengan santai, jay selalu mandangku lemah. "Thanks" kataku basa basi.

Ia hanya terkekeh pelan dan menarik kembali tanganya, merapihkan gagang tongkat golf milik kami supaya saat jalan nanti tidak terjadi hal yang tidak tidak, misalnya jatuh, dia juga menyuruhku untuk duduk dengan benar, mungkin berfikir aku bisa saja keguling tampa sebab.

Papah Lohan dan Ayah memang selalu satu dalam mobil Golf, dari kecil hingga sekarang tempat duduk di belakang selalu menjadi miliku dan Jay. Sebuah peraturan tidak tertulis sejak dulu.

tapi dulu berbeda, januar di pangku oleh ibunya dan aku juga di pangku ibuku dengan lembut. Ibu kami belum yakin bisa melepaskan kami yang kecil untuk duduk di belakang tampa pengawasan.

Jay, selalu mengingatkanku pada betapa dulu harmonisnya keluarga kami, keluarga abraham. Jay selalu menyebut nyebut ibuku atau kenangan yang aku tidak mau ingat, karena terlalu bahagia aku jadi sakit mengetahui bahwa hidupku kini seperti sampah.

Deretan mobil golf segera melaju perlahan, mobil yang kami tumpangi memang berada paling akhir, jadi aku dan jay bisa menikmati pemandangan danau danau dan area dengan sesuka hati.

Aku suka ketika cahaya matahari dengan lembut menyentuh kulitku, lalu angin angin tidak mau kalah bolak balik menghampiriku, bermain dengan rambutku yang ku gerai. Ada sebuah kesenangan tersendiri ketika mataku melihat dataran hijau yang asri seperti ini, rasa cemas tiap waktuku seolah pudar jika aku berada di tempat indah dipenuhi pepohonan.

"Diana, gua mau bilang sesuatu, tapi simpen dulu informasi ini di lo."

aku menoleh kepadanya, bertanya-tanya mengapa ia harus bicara seperti itu jika ia bisa langsung menyebutkan intinya saja.

Januar menahan senyumnya, kepalanya menunduk, sifat sifat bocahnya seperti ini tidak pernah hilang. Januar saat malu dari dulu hingga sekarang seperti bocah 5 tahun yang kegap memandangi pujaan hatinya.

"i will maried, soon. sama Cassie."

patah hati dari cinta pertamaku terjadi, saat aku sedang pulang dari libur kuliahku di belanda. mengikuti acara club golf bersama ayahku, dan ketika Jay berbicara soal rencana bahagianya.

Alis mataku menaik, bibirku tersenyum dengan lebar. "Congratss?"

tidak ada yang pernah sadar bahwa diana yang memiliki standar tingi pada pria, alasan perempuan ini memilih untuk tetap sendiri ketika masa masanya adalah untuk jatuh dalam mabuknya cinta.

Aku kira kami di jodohkan, suatu saat.

tapi sepertinya hidupku bukan bergenre princess, romance hangat dengan bunga bunga mawar di sekitarku, gaun gaun indah yang lucu, pangeran yang selalu mencintaimu kapanpun dimanapun, keluarga yang lengkap memelukmu, dan teman teman yang anggun selalu supportif.

no one loves me, bahkan diriku sendiri pun tidak.

aku tidak akan pernah bisa bahagia, kapanpun dan selamanya.

Jay memang benar, hasil diagnosa psikaterku di belanda menyebutkan hal itu, distimia dan kecemasaan yang akut. Seharusnya menjadi lebih baik karena aku mulai mengikuti sesi konselingnya tiap minggu, walau pikiran pikiran untuk melompat dari jendela apartement tidak pernah hilang. Alasan ku mengambil kuliah di belanda bukan semata mata hanya aku ingin, mengambil jarak yang cukup dari ayah dan keluarga barunya membuatku bisa bernafas dan memahami seluruh neraka dalam hidupku yang tidak pernah hilang.

Tapi hari itu itu, neraka jauh lebih gelap dari pada biasanya.

aku harap aku mati, besok.








___________









Tidakah sudah sulit hidupku kini harus di tambah seorang pria teman sekolah sadarku berdiri di hadapanku dengan segengam pisau yang mengarah kepadaku.

"Bernart." ujarku menyebutkan namanya.

Ben atau bernart ini tersenyum dengan kemenangan setelah para para ninja itu membuatku babak belur, membantaiku dengan mudah tampa perlawanan dari diriku sendiri. Aku sudah berusaha tapi sendiku sangat sakit sialan. Mereka menyergapku dengan cepat tampa ada suara sekalipun, cctv sepertinya sudah di matikan jadi mereka bisa melakukan apa saja kepdaku tampa perlu takut di gangu oleh orang orang asing.

Kini aku terlentang di lantai besment dengan satu orang duduk di atas perutku, menaruh ujung pistol revolver kecil di bawah daguku, memaksaku untuk tetap mendengak menatap ben yang sepertinya memulai pidatonya.

"Oh? Inget?"tanyanya.

Aku yakin bahwa pelaku bullying selalu mengingat korbanya, karena aku masih ingat dengan anak ini. tentu saja aku ingat ketika teman sekelas mulai menjauhi ben karena sudah berani menyukaiku. dulu aku berfikir yang layak menyukaiku adalah si januar, jadi aku marah besar pada bocah itu hingga olok mengolok terlempar beberapa tahun pada ben.

Si ninja yang duduk di atasku kini bukan hanya menaruh ujung pistolnya pada daguku, tapi menyikut leherku sehingga aku sulit bernafas, perutku di tekan, leherku di cekik.

"Gimana tuan putri? Kok masih belum menikah sama pangeranya sampai sekarang? Padahal hama hama seperti cassie sudah di singkirkan bukan?"

cassie meninggal, tapi bukan karena aku, karena jeannette. jeannette gagal melindunginya dari serangan pembenrontakan masyarakat kepada keluarga gubernur jawa barat itu, atau lebih tepatnya jeanette mengikuti permohonanku, untuk membiarkan putri pertamanya mati tertancap gagang besi pager yang sudah berkarat.

Aku meringis dengan jengkel. "Ini yang nyuruh Lo siapa? Keluarga mahatma gak sekaya itu sampai bisa bertindak berani kaya gini" kataku merendahkanya.

Ben kini jongkok di hadapanku, tersenyum dengan lebar hingga hingga mulutnya ingin robek saat ini. "Yah setidaknya mahatma gak punah kaya Abraham yang sebentar lagi berhenti untuk meneruskan warisanya? Lizz—

aku benar benar tidak tahan atas ocehannya yang tidak jelas, melihat wajahnya dari dekat membuatku bergidik jijik. Apalagi mulutnya yang kotor itu berani menyebutkan nama adiku yang bersih dan cantik. Bernart bukan tandinganku, jika dalam kondisi fit sejatinya tanganya sudah terpotong olehku dan mulutnya sudah robek ulah tanganku sendiri.

Dengkulku menghantam dengan keras pungung ninja yang duduk di atas perutku dengan sekali sentakan, cukup untuk membuatnya terkejut dan tanganku bisa mengambil alih pistol revolver yang mengancamku, balik kembali mengarahkan pada ninja di hadapanku dan menembakan satu pelurunya ke arah leher miliknya.

Akibatnya darah memuncat ke sembarang arah, dan geraman amarah ben membuat pria ini yang sedang memegang pisau belati harus menggores lenganku cukup dalam, tapi tidak cukup sakit hingga aku bisa menembak kakinya dengan tepat sasaran, dengkulnya pasti sudah habis nyeri, ben terseret seret untuk mundur dan bersembunyi sebelum jantungnya aku layangkan pistol ini dengan mudah.

Mungkin karena aku mulai melayangkan tembakan asal ke seluruh penjuru, suara berisik mulai terdengar dengan nyaring, ditambah suara alarm alrm mobil di sekitarku membuat kegaduhan ini semakin jadi. Ini yang membuat mereka takut dan terpaksa mundur beberapa langkah menjauh dariku dan mayat rekan team mereka, yang masih tergeletak di atas tubuhku dan mengalirkan darahnya. Kini aku sukses di mandikan darah segar, sampai sampai rambutku juga menjadi basah kuyup olehnya.

Sekali hentakan, aku memaksa tubuhku bangun dan melupakan rasa nyeri sakit pada setiap otot otot kaki dan lenganku, otaku kini fokus untuk merasakan pedih pada lenganku yang sobek seperti daging sapi yang dibelah oleh pisau daging, darahku mengalir dengan deras, tetesannya jatuh ke lantai, ke atas tubuh mayat si ninja.

Aku sama seperti mereka, bersembunyi di dekat mobil kapsul untuk mengambil jeda sebentar dan melihat rencana mereka. Gerakan sedikit saja dariku akan berakibat fatal jika tidak di pikirkan secara matang matang, bahkan hanya sekedar untuk berlari dua kali langkah menuju masuk dalam mobilku.

Kini aku jelas kalah, mau pertarungan jarak jauh ataupun dekat. Aku kalah jumpah, 1 vs 15 itu bukan perkelahian namun pembantaian. Mungkin bisa saja aku menang jika aku tokoh utama suatu film action, atau aku adalah jeannette.

SWUSSH!

satu tembakan mulai kembali melayang ke arahku, di susuk tembakan tembakan lainya dari arah yang tidak terlihat olehku. Mereka pasti mengunakan senapan dengan peluru bisa ratusan, sialan, selain kalah jumlah aku juga kalah amunisi.

Tubuhku masih menempel pda mobil kapsul di sebelah mobilku, yang mesinya masih menyala. Sekarang aku bisa saja lari dan masuk ke dalam mobil, tapi ini terlalu janggal.

Diantara uji cona penculikanku atau pembunuhanku, ini selalu mudah, tentu saja mereka tidak terlihat pandai dan elok dalam fisik. Itu terbukti dalam sekali pukulan pda pungung, ninja ninja ini sudah terkejut dan hilang fokus. LALU BEN? ben itu anak karate dengan 3 tahun di sabuk tingkatan yang sama, dia bego.

apakah aku selemah itu? Mengapa mereka tidak mengirimu yang sehebat jeannette? Ah sialan mood ku jadi jelek.

Dua ninja ninja hatori versi hitam muncul di sebelahku dengan tiba tiba, aku berteriak dalam hati karenanya. Salah satunya melayangkan satu gagang kasti kearah kepalaku dengan cepat, karena itu sebuah kayu jadi aku tangkis dengan mudah dengan kakiku dimana sepatu hak tinggi merah mudah kesayanganku masih menempel pada ujung kakiku. Kepalanya aku pelintir dengan kakiku yang membawanya mendekat pda tanganku, hingga bunyi krek! Kepalanya sudah berputar 360 derajat. Setelah itu pistol revolver ku arahkan pada rekan satunya yang membawa sejenis celurit—senjatanya murahan sekali—ke arah dadanya, tepat sasaran mengenai uluh hati miliknya.

Sisa 3, dengan ben.

Kakiku melangkah masuk dengan cepat ke arah mobil ketika hujanan peluru kembali ke arahku tampa ampun. Berisik sekali sudah, gaduh seperti ada syuting acara action.

Di dalam mobilku aman, kacanya anti peluru. Tapi jika aku adalah pelaku yang hidup diam diam di rumah cezka, dimana aku ikut menginapkan mobil ku malam-malam, sepertinya aku akan menaruh sebuah bom kontrol jarak jauh pda bagian bawa mobil ini untuk membunuhku.

tapi tunggu, itu akan jauh lebih mudah, membunuhku dengan menaruh bom pengontrol jarak jauh pada bagian bawah mobilku. mengapa mereka harus repot repot mengirim ben dan pasukanya untuk mengerjapku? TENTU SAJA MEREKA INGIN AKU HIDUP-HIDUP.

aku tersenyum puas, mengambil pistol lainya pada bangku samping pengemudi untuk ku gengam erat-erat. baiklah ini memang terlalu sulit untuk mereka, membawaku hidup-hidup adalah hal yang sangat sulit. mereka tahu hal ini.

aku mendorong gas untuk segera melajukan mobil keluar besment, tembakan tembakan itu kini mulai menghujaniku tampa ampun, tapi itu tidak bisa membuatku berhenti. ban mobil ini juga kuat dan pesat, warnannya khusus sehingga sulit untuk di fokuskan dalam membidik pistol ke arah bannya. 

maaf ternyata mobilku ini mobil bagus dan keren.

Cahaya matahari siang mulai menerpa tubuhku, serta dua satpam yang ternyata dalam perjalanan menuju besment tempatku berada, aku baru menyadari ketika tempat post satpam ramai ramai di kelilingi orang, tiga satpam lainya sudah tergeletak tidak berdaya, alasan mengapa tidak ada yang mengechek besment ketika aku mulai membuat kegaduhan.

portal jalan keluar masuk kantorku terbuka lebar, bodoh tapi aku jadi bisa keluar dengan cepat tampa pelu memaksa menabrakan palang itu pada mobilku. ada sekitar dua orang karyawan yang ternganga melihatku menyetir dalam mobil dengan kondisi berdarah-darah, ini diperparah dengan kemejaku yang putih, darah di bajuku seolah itu adalah miliku, padahal tentu saja aku tidak pernah membiarkan tubuhku dalam kondisi menyakitkan seperti itu.

Jalanan jakarta tidak sepadat biasanya, aku terus memajukan mobilku dengan kecepataan paling tinggi yang bisa aku raih. aku tahu ben tidak bisa melukaiku, walau sedanya bisa menyamai kecepatanku, tapi tembakanya tidak bisa membuatku berhenti. 

bodoh, bodohhh!!! rasanya sangat lucu melihat kebodohan mereka dalam rencana,

HAHAHAHAHAHAAAHAHAAHAHA

HAHAHAHAHA AKU INGIN TERTAWA SAMPAI MULUTKU ROBEK RASANYA.



__________













Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro