1. Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Test ombak dulu.
Ini cerita baru ya, Gaes.
Mohon dukungannya semoga lancar.
Ceritanya juga ringan, biar kalian nyaman.

Buat yang belum follow, yuk, difollow dulu akunku.
Jangan lupa tap bintang dulu sebelum baca. Gomawwo.

♡♡♡

Ini Minggu keduaku di Jakarta setelah cukup lama meninggalkan kota ini karena harus pindah ke Semarang. Jika hari Minggu kemarin kuhabiskan waktu untuk istirahat, berbeda dengan Minggu ini. Kak Sam memintaku untuk menggantikannya menemui konsumen, sedangkan dia sedang menikmati liburan bersama istri dan anaknya. Mengesalkan sekali. Belum lagi cuaca di Jakarta masih masuk musim hujan. Aku tak memikirkan ini sebelumnya, karena tawaran dari Kak Sam yang kuutamakan. Lebih tepatnya tak ingin menjadi beban untuk Mama karena terlalu lama menganggur.

Seperti pagi ini. Suasana langit Jakarta masih mendung diiringi gerimis kecil setelah beberapa menit yang lalu hujan lebat. Aku harus segera sampai di tempat yang sudah ditentukan oleh konsumen tepat waktu. Kalaupun terlambat, semoga saja si konsumen mengerti karena kendala hujan, belum lagi lokasi tempat bertemu cukup jauh. Butuh waktu satu jam lebih untuk tiba di sana jika dilihat dalam kondisi seperti ini. Lagi pula, dia teman SMP kakakku, jadi aku rasa tidak masalah jika terlambat beberapa menit.

Aku turun dari motor saat tiba di halaman tempat tujuan. Setelah memberikan uang dan helm pada sopir ojek daring, aku bergegas menghampiri teras restoran tempat janjian karena gerimis semakin lebat. Aku mengibas sweter yang basah saat tiba di teras restoran, lalu memastikan ikat rambut dan pakaian agar terlihat rapi, walaupun pakaianku lembab karena terkena rintik hujan. Pandangan kualihkan pada pintu masuk. Close. Beralih pada halaman restoran. Sepi. Hanya ada satu mobil putih lambang segitiga. Apa aku salah tempat? Tidak. Nama restoran dan letaknya sudah benar.

Suara pintu terbuka membuat jantungku hampir saja loncat dari tempatnya. Kontan aku menoleh ke belakang. Seorang laki-laki dengan pakaian khas karyawan restoran berdiri di belakangku.

"Mbak Aisha?" tanyanya.

"Iya," balasku singkat. Bingung. Dari mana dia tahu namaku?

"Sudah ditunggu Pak Rey di dalam." Dia menyampaikan dan menyilakan aku untuk masuk. Ah, aku baru ingat nama teman kakakku adalah Rey.

"Oh, iya." Aku mengangguk sambil memaksa senyum. Berjalan masuk ke dalam restoran itu.

Sepi kembali terasa saat pandanganku mengitari isi restoran ini. Aku masih berjalan mengikuti karyawan tadi menuju ke dalam. Dari balik dinding kaca, aku mendapati hujan terlihat deras. Langkahku terhenti saat karyawan itu menghentikan langkah. Sosok seseorang yang masih memunggungi kami terlihat duduk seorang diri sambil menggeser layar ponselnya. Potongan rambutnya rapi. Kulitnya terlihat putih. Kemeja putih menghiasi tubuhnya. Karyawan itu memberi isyarat jika laki-laki itu adalah orang yang dimaksud. Aku mengangguk saat karyawan itu pamit. Sesaat, aku menarik napas untuk menyiapkan mental. Dehaman terdengar dari arahnya. Ah, dia pasti sudah tahu jika aku ada di belakang tubuhnya.

Aku berjalan maju lima langkah dengan cepat. "Maaf, tadi saya kejebak macet di jalan, jadi saya terlambat datang," ungkapku.

Dia meletakkan ponselnya di atas meja. "Silakan duduk."

Demi apa laki-laki di hadapanku saat ini terlihat sangat tampan? Wajahnya khas bule. Rambutnya hitam. Kulitnya sangat putih. Dan aku yakin postur tubuhnya tinggi walaupun saat ini dalam posisi duduk.

"Perkenalkan, saya Aisha, adiknya Sam." Aku mengenalkan diri setelah duduk di seberang meja. Posisi kami berhadapan, hanya terhalang meja.

Hanya senyum tipis yang dia berikan sambil mengangguk pelan. Aku hanya bisa tersenyum paksa. Entah kenapa aku merasa jika dia kesal. Apa karena menungguku terlalu lama? Padahal aku hanya terlambat sepuluh menit. Seorang karyawan tiba di antara kami.

"Kamu bisa pesan makanan atau minuman terlebih dahulu." Dia menawarkan.

"Nanti saja, Pak," tolakku halus.

Dia mengangkat tangan seperti meminta sesuatu pada karyawan itu. Nota pesanan di tangan karyawan itu diberikan padanya. Sangat jarang pengunjung bisa bebas seperti ini di restoran yang menurutku cukup elite. Karyawan itu pamit pergi setelah menerima nota pesanan. Aku kembali menegakkan tubuh. Fokus.

"Aku ingin kamu menjadi penaggung jawab proyek furnitur yang akan berlangsung di rumahku," ungkapnya membuka obrolan.

"Pe-penanggung jawab?" tanyaku terbata. Memastikan. "Maksud Bapak?" lanjutku segera.

"Iya. Aku ingin kamu yang mengawasi semuanya."

"Bapak yakin? Sudah konfirmasi dengan kakak saya? Saya belum lama bekerja dan belum ada pengalaman di lapangan, Pak. Coba Bapak konfirmasi dulu dengan kakak saya."

"Aku sudah berbicara dengan Sam beberapa jam yang lalu dan dia mengajukan namamu untuk menjadi penangungjawab proyek furnitur di rumahku. Apa dia tidak menyampaikan hal ini padamu?"

Astaga! Kenapa Kak Sam nggak bilang dulu sama aku? Jadi pertemuan ini mengenai tawaran jadi penanggung jawab?

"Aku setuju dan percaya karena kamu adiknya Sam."

"Tapi ada yang lebih berpengalaman dari saya, Pak. Apa nggak Mas Kukuh saja? Atau Mas Raden? Mereka lebih berpengalaman dari saya." Aku masih berusaha menolak.

"Apa aku terlihat tua melebihi kakakmu sehingga kamu memanggilku seperti itu?"

Aih, ini orang lagi ngomongin serius malah ngeributin masalah panggilan. Kak Sam juga, kenapa dia nggak bilang ke aku dulu masalah ini?

"Semua kembali lagi padamu mengenai tawaranku."

"Akan saya pikirkan."

"Sudah tidak ada waktu. Bukankah pesananku sudah mulai jadi? Lusa pagi, kamu datang ke rumahku karena Raden akan datang untuk memasang gorden." Dia terlihat merogoh saku, mengeluarkan sebuah dompet. "Alamatnya akan aku kirim lewat pesan," lanjutnya sampil meletakkan seperti kartu nama di hadapanku.

Tebakanku benar. Sesaat, aku menghela napas, lalu meraih kartu nama itu dengan gerakan ragu. Terlihat jelas tulisan nama bercetak tebal 'Kim Rae Won'. Di saat yang sama pelayan datang membawa minuman dan beberapa makanan. Aku kembali dibuat bingung saat secangkir minuman panas terhidang di hadapanku. Perasaan, aku tidak memesan apa pun.

"Mas, perasaan tadi aku nggak pesan apa-apa," protesku.

"Pak Rey yang pesankan, Mbak," tukas sang pelayan.

"Selain mendapat gaji dari kakakmu, aku akan memberimu tambahan gaji setelah semua pesananku terpasang." Dia melanjutkan obrolan.

Bukan masalah uang, tapi ini masalah tanggung jawab. Gimana kalau ada kerusakan atau semisalnya? Atau masalah lain yang nggak ada diprediksi?

Dia meletakkan cangkir setelah menyesap isinya. "Baiklah, aku kasih kamu waktu sampai besok malam. Kamu bisa bicarakan lagi dengan Sam."

"Terima kasih." Aku hanya mengangguk pasrah.

"Nikmati makanan yang tersaji. Jika kurang, kamu bisa pesan pada pegawaiku. Aku harus pergi. Lusa, aku tunggu pukul sembilan pagi di rumah." Dia beranjak dari sofa, meraih kunci di atas meja, lalu beranjak dari hadapanku.

Kontan tatapanku mengikuti punggung laki-laki itu yang berjalan menjauh menuju pintu keluar. Langkahnya terhenti saat seorang karyawan menghampirinya. Dia terlibat obrolan dengan karyawan itu. Tak ingin lebih lama memerhatikannya, tatapanku kembali pada minuman dan makanan di atas meja. Masih tak percaya jika dia adalah pemilik restoran yang saat ini aku duduki. Pantas saja laki-laki itu menyuruhnya masuk dalam keadaan restoran masih tutup.

Hujan kembali turun, terlihat dari balik kaca restoran ini. Membuatku mengurungkan niat untuk pulang. Lagi pula, sayang jika makanan yang tersaji ditinggalkan begitu saja, karena belum tersentuh olehku atau dia. Aku meraih cangkir, memastikan cairan bewarna coklat di dalamnya.

Cokelat?

***

Masih ada waktu sampai sore nanti untukku memberi jawaban pada Pak Rey, eh, Kak Rey. Huh, mengesalkan jika mengingat masalah panggilan. Aku sudah membicarakan hal ini pada kakakku, tetapi Kak Sam justru mengembalikan keputusan padaku. Kata kakakku tidak ada salahnya mencoba menerima tawaran temannya itu. Dia juga sudah berusaha menenangkanku, tetapi tetap saja aku masih berat menerima tawaran itu.

"Lo sakit, Sha?"

Aku menegakkan tubuh saat mendapat pertanyaan itu. Mas Kukuh terlihat duduk di kursinya. "Nggak, Mas. Lagi bingung saja," ungkapku.

"Masalah pribadi?" tanyanya sambil membuka laptop.

"Masalah tawaran Pak Rey."

"Terima saja. Dia baik, kok. Lagian cuma mandorin doang, kan?"

"Tetap saja aku belum ada pengalaman terjun ke lapangan, Mas. Kenapa nggak Mas saja atau Mas Raden yang lebih berpengalaman."

"Gue sibuk gambar, Raden sibuk ngurusin konsumen lain dan WS, kakak lo juga sibuk ngurusin bahan. Cuma lo yang santai. Ini bisa jadi buat pengalaman lo juga. Udah, percaya saja sama Rey dan kakak lo," celoteh Mas Kukuh. Lebih tepatnya menasehatiku.

Iya juga, sih. Kak Sam juga sudah bilang kayak gitu, tapi kenapa aku masih ragu kayak gini? Lagian Pak Rey, eh, Kak Rey temen deket Kak Sam dan Mas Kukuh waktu SMP, jadi apa yang harus aku takutkan?

Setelah cukup lama berpikir dan merasa yakin, aku meraih kartu nama dari dalam dompet untuk mengirim pesan pada laki-laki asal Korea itu. Dia memang dari Korea kata Kak Sam. Sesaat, aku terdiam menatap kartu nama berwarna gold itu. Ingatanku kembali pada sosok laki-laki yang aku temui kemarin. Masih belum hilang dalam ingatan tentang paras, postur dan ucapan laki-laki bernama lengkap Kim Rae Won. Aku segera menggeleng, menepis bayangan dia dari dalam pikiran. Belum sempat aku mengirim pesan padanya, perhatianku justru teralih pada satu pesan masuk dari nomor baru. Aku segera membuka pesan itu.

From: 0812xxxxxxxx
Kompleks Patra, blok 2, no 6, Joglo, Jakarta Barat.

Dahiku berkerut. Panjang umur. Entah kebetulan atau memang dia sudah memprediksi jika aku akan menerima tawarannya. Alamatnya juga masih satu kecamatan dengan tempat tinggal keluargaku dulu sebelum pindah ke Semarang.

To: Pak Ray
Baik, Pak. Saya akan datang besok pagi.

Aku mengembuskan napas setelah mengirim pesan tersebut, lalu meletakkan ponsel di atas meja kerja. Kartu nama yang masih tergeletak di atas meja kembali menjadi pusat perhatianku. Berharap nanti dia akan memperlakukanku dengan baik saat menjadi mandor di rumahnya.

Tanda pesan masuk membuat perhatianku teralih. Pasti balasan pesan dari laki-laki asal Korea itu. Benar saja. Aku kembali mengembuskan napas melihat balasan pesan itu.

From: Pak Ray
Bukankah aku sudah mengingatkanmu agar tidak memanggilku seperti itu?

To: Pak Ray
Maaf, Kak, saya lupa.

Mood seketika berantakan. Aku beranjak dari kursi setelah membalas pesan laki-laki itu dan memasukkan ponsel ke dalam saku. "Mas, aku ke depan sebentar mau beli kopi. Mas Kukuh mau nitip nggak?" pamitku pada Mas Kukuh sekaligus menawarkan.

"Boleh. Kayak biasa, ya."

"Siap." Aku bergegas meninggalkan kantor. Berharap setelah mencari udara di luar dan membasahi tenggorokan dengan minuman membuat mood-ku kembali membaik.

***

Bersambung ...

Gimana prolognya?
Terima nggak, nih, tawaran dari Rey? Wkwkwk ...

Jangan lupa follow dan tap bintang biar akuc epat update. Koment juga tak tunggu, ya, Gaes.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro