2. Pertemuan Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Update lagi, nih.
Ada yang nungguin nggak?
Jangan lupa tap bintang dulu sebelum baca, ya.

Cast untuk Rey: Kim Seon Ho
Cast untuk Aisha: Bulan Sutena
Kalau belum kenal mereka, sila googling. Wkwkwk
Wp sekarang agak susah buat up foto. Hiks

Selamat membaca ...

♡♡♡


Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dini hari. Kini menyisakan mendung yang membayangi kota ini. Sekarang sudah pukul delapan pagi dan aku harus segera menuju rumah Kak Rey, karena aku dan Mas Raden janjian bertemu di sana jam sepuluh. Aku khawatir kejadian kemarin kembali terulang, membuat Kak Rey menunggu trrlalu lama. Kali ini aku berusaha kalem pada sopir ojek daring karena berangkat lebih awal. Berbeda dengan saat itu, aku tergesa-gesa.

Akhirnya aku tiba di tempat tujuan setelah satu jam lebih bejibaku dengan jalanan. Aku kembali memastikan alamat pemberian Kak Rey. Sudah benar. Pandangan kuedarkan untuk mencari bel. Tidak ada. Ah, kenapa aku tidak menghubunginya saja?

Berulang kali aku menghubungi nomor Kak Rey, tetapi tak ada jawaban. Nomornya aktif. Kirim pesan? Telepon saja tidak diangkat, bagaimana pesanku akan cepat dibaca? Mas Raden juga belum ada kabar. Aku seperti orang ilang di sini. Mana mulai gerimis. Aku menatap ponsel saat ada tanda pesan masuk. Kak Rey.

From: Pak Rey
Masuk saja. Pintu gerbang tidak digembok.

Tahu begitu tadi kirim pesan. Aku bergegas membuka pintu gerbang untuk masuk. Gerimis semakin deras. Syukur dia kirim pesan sebelum hujan mulai deras. Aku mengibas baju saat tiba di depan pintu utama karena terkena rintik hujan. Saat aku akan mengetuk pintu, benda besar itu terbuka sendiri. Aku segera menurunkan tangan saat mendapati sosok di balik pintu. Siapa lagi jika bukan sang empunya rumah? Penampilannya membuatku tertegun. Berbeda dengan kemarin saat bertemu di restoran miliknya. Jika kemarin dia mengenakan pakaian rapi, berbeda dengan saat ini. Bayangkan saja. Dia saat ini hanya mengenakan kaus putih lengan pendek dan celana bokser. Belum lagi rambutnya acak-acakan. Kulitnya juga glowing sekali. Aku jelas kalah jauh.

"Ayo masuk," ajaknya.

Langkah kuayun untuk mengikutinya. Rumah ini seperti baru. Tadi, saat aku melewati halaman terlihat rumput yang belum lama ditanam. Ruang tamu saja hanya ada satu sofa panjang dan meja. Dinding pun masih kosong.

"Mau langsung survei ruangan atau mau duduk dulu?" tanyanya saat tiba di ruangan yang aku yakini adalah ruang tengah.

"Nunggu Mas Raden dulu," balasku sambil tersenyum ramah.

"Tadi dia bilang kalau bakal datang terlambat."

"Kapan?"

"Mungkin sekitar jam satu."

"Apa aku pulang dulu?"

"Yakin mau pulang? Di luar masih hujan. Jarak dari sini ke kantor Sam lumayan jauh. Lagian sekarang sudah jam sembilan lewat. Mending tunggu saja sampai Raden datang. Aku buatkan minum." Dia berlalu dari ruangan ini.

Iya juga, sih. Aku nggak mungkin balik sekarang dan belum lagi masih hujan. Tapi masa harus nunggu sampai Mas Raden datang.

Rasa takut tiba-tiba muncul. Tanda-tanda orang lain pun tak ada. Aku takut jika dia berbuat macam-macam saat kita hanya berdua. Tapi dia teman dekat Kak Sam.

"Kenapa? Takut? Tenang saja. Aku nggak akan berbuat macam-macam."

"Nggak, kok," jawabku cepat. Duduk di sofa yang ada di ruangan ini.

Dia meletakkan satu mug di atas meja depanku, lalu duduk di sofa lain. Posisi sofa yang kami duduki membentuk huruf L, menghadap ke arah televisi besar yang tak jauh dari sini.

"Rumah ini terdiri dari dua lantai. Lantai atas terdiri dari kamarku, ruang kerja, dan ruang santai. Ruangan-ruangan itu yang akan dipasang furnitur. Lantai bawah ada dua kamar, dapur, dan ruang ini. Karena hari ini ada beberapa barang yang akan datang, kamu fokus saja pada pemasangan gorden, sisanya biar aku yang mengawasi. Hari ini aku tidak sibuk, jadi akan menghabiskan waktu untuk masalah rumah. Jika aku ke luar kota atau ke Korea, kamu yang akan bertanggung jawab sepenuhnya dengan proyek ini," jelasnya panjang lebar.

"Iya," balasku singkat karena masih bingung.

"Ada yang ingin kamu tanyakan?" tanyanya sambil meraih cangkir yang sempat dia letakkan di atas meja.

"Belum ada."

"Silakan diminum," perintahnya.

Anggukan kepala kembali kuberikan, lalu meraih cangkir berisi minuman di hadapanku. Sesaat aku terdiam, mengamati isi di dalam cangkir ini. Lagi? Cokelat panas. Bagaimana dia bisa tahu jika aku suka dengan cokelat? Atau ini hanya kebetulan lagi?

"Masih takut? Atau nggak suka cokelat?"

"Nggak. Ini mau aku minum." Aku segera menyesap cokelat panas itu.

Sumpah. Cokelat hangat buatannya berbeda dengan yang biasa aku minum. Sama seperti yang kemarin aku minum di restoran miliknya. Ini enak dan pas takarannya. Pasti mahal. Deringan ponsel memecah keheningan. Bukan suara ponselku. Sudah tentu milik empunya rumah. Dia beranjak dari sofa, meraih ponsel dari dalam saku, lalu pergi dari ruangan ini. Langkahnya menuju tangga dan menaiki satu per satu sampai menghilang dari pandanganku.

Rumah ini sepertinya luas. Dilihat dari muka, luasnya sekitar dua belas sampai lima belas meter. Desain bangunannya seperti rumah di Eropa. Warna dinding depan semua putih. Ruang tamu di bagian tengah, sedangkan sebelah kanan sepertinya kamar tamu, dan sebelah kiri sudah bisa dipastikan garasi, karena kentara saat dilihat dari halaman rumah. Aku suka dengan desain rumah ini. Sangat cocok dan sepertinya nyaman. Terutama ramah untuk anak-anak. Terlebih di sebelah kiri ada taman kecil yang terhubung dengan garasi. Hujan masih terlihat deras. Jika tahu akan seperti ini, lebih baik aku memilih di kantor saja. Aku menguap karena rasa kantuk menyerang. Mata terasa berat. Aku menyandarkan tubuh pada sofa karena merasa bosan, lalu memejamkan mata sambil menunggu Kak Rey turun.

Aku mengerjapkan mata. Miring? Perasaan tadi menyandar sofa. Aku bergegas duduk saat merasa ada yang aneh. Bisa-bisanya aku tertidur di sini. Pandanganku beralih pada tubuh. Aman. Lalu beralih pada benda yang merosot dari tubuhku. Selimut? Siapa yang menyelimutiku? Apa ... Kak Rey? Tidak mungkin. Aku menatap jam di tangan. Sontak mataku melebar saat jarum pendek mengarah pada angka dua belas. Hampir dua jam aku tertidur. Dahi kutepuk.

"Sudah bangun?"

Hampir saja jantungku loncat dari dada. Aku segera menyibak selimut saat dia menuruni tangga, beranjak dari sofa sebelum dia sampai di tangga akhir, lalu melipat kain yang sudah menyelimutiku. Ah, bikin malu. "Maaf, Kak." Aku menunduk, meletakkan lipatan selimut di atas sofa. Bahkan aku baru sadar jika penampilannya sudah berganti. Sekarang dia mengenakan kaus warna abu dipadu celana kain pendek warna putih.

"Its okay," balasnya sambil melewatiku.

Dia mau ke mana?

"Kak ..."

"Aku keluar sebentar mau menemui kurir."

Syukurlah. Aku kira dia akan meninggalkanku sendirian di sini. Ah, lagi-lagi aku merutuki diri karena sudah tertidur di sini. Semoga saja Kak Rey tidak berpikiran yang aneh-aneh. Aku segera merapikan penampilan sebelum dia kembali ke sini. Demi apa aku malu luar biasa. Tak lama, dia kembali. Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajah maluku. Rasanya lebih malu saat ketahuan menyontek soal sekolah. Dia meletakkan jinjingan berlogo restoran cepat saji di atas meja. Rasa lapar seketika menyerang.

"Saya izin ke toilet," ucapku.

"Pakai saja toilet di kamar itu. Toilet di dekat dapur belum dibersihkan." Dia menunjuk ke arah dinding dibelakangku.

Tanpa pikir panjang aku segera meninggalkan ruangan tengah. Napas kuhela saat sudah memasuki kamar ini. Pandangan kuedarkan ke sekitar. Seperti kamar wanita. Bisa dilihat dari seprai dan ada barang lain yang hanya dimiliki seorang wanita. Apa ini kamar pacarnya? Ah, aku tak peduli. Lebih baik aku segera cuci muka dan keluar dari kamar ini.

Pak Rey terlihat sudah duduk dan sedang menikmati makanannya saat aku sudah selesai dari kamar mandi. Kalau saja ada alasan untukku pergi dari sini, mungkin aku akan melakukannya.

"Makan dulu. Kamu belum makan, kan?" tanyanya tanpa menatapku.

"Saya makan di belakang saja, Pak."

"Kenapa?" Kali ini dia menatapku.

Aku hanya bisa tersenyum miris. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu.

"Ada yang mau aku bahas. Kamu nggak perlu khawatir."

Pasrah. Aku duduk di tempat sebelumnya. Dia menyodorkan satu paket makanan padaku. Tunggu. Kenapa masih sepi?

"Aku ingin menanyakan tentang penilaian masalah rumah padamu, siapa tahu kamu bisa memberiku masukkan dan aku bisa mempertimbangkannya. Boleh?"

"Mas Raden belum datang?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya.

"Ada kendala perihal gorden, jadi dia akan terlambat datang. Kemungkinan jam satu baru datang."

"Oh," balasku sekenanya. Lebih ke arah menutupi malu.

"Bagaimana dengan perkataanku sebelumnya?" ulangnya di sela menyantap makanan.

"Boleh, Pak. Eh, Kak." Aku meralat.

"Aku berniat memasang wallpaper di sana. Bagaimana menurutmu?"

Kepalaku terangkat. Dia menunjuk dinding di belakang televisi datar itu. "Bagus."

Hening. Aku menatapnya. Tatapan kami bertemu. Dia terlihat tanpa ekspresi. Apa aku salah berkata?

"Aku butuh jawaban jujur, bukan terpaksa." Nadanya terdengar kesal.

Ternyata dia menyebalkan. Aku harus sabar menghadapinya. Demi pekerjaan.

"Di sana memang cocok dipasang wallaper agar terlihat hidup. Akan tambah hidup jika di ujung ruang ini ada hiasan aksesoris atau tanaman." Aku menyampaikan. Puas?

Selanjutnya, obrolan berlanjut mengenai niatnya untuk melengkapi aksesoris di rumah ini. Aku hanya memberi masukkan sesuai ilmu yang ada. Jujur, aku pun bingung saat dia meminta pendapat, sedangkan ilmuku di dunia furnitur baru seumur jagung.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro