3. Menepis Dugaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Gaes. Aku update lagi.
Ada yang nungguin nggak, nih? Wkwkwk

Jangan lupa tap bintang dulu biar aku semangat nulisnya. Tenang saja, cerita ini insyaallah hanya akan publish di sini, jadi jangan khawatir nanti akan berhenti dan pindah. Okay.

♡♡♡

Pekerjaan sebagai penanggungjawab proyek tak semudah yang dibayangkan. Walaupun santai dan hanya memerhatikan para tukang yang sedang bekerja, tetapi jika ikut lembur sampai malam sama saja membuat tubuh lelah. Dua hari berturut-turut aku pulang malam karena menemani tukang memasang beberapa pesanan Kak Rey yang sudah jadi. Walaupun tak sampai dini hari, tetapi tetap saja jika sudah melewati pukul sembilan terbilang malam bagiku yang belum lama tinggal di kota ini.

Syukurlah hari ini belum ada barang yang dikirim atau keperluan lainnya di rumah itu, jadi aku bisa santai dan menikmati hari libur bersama kasur dari pagi sampai sekarang. Hari ini, aku dibolehkan libur oleh Kak Sam setelah semalam drama merajuk minta libur dengan alasan cape. Jadilah aku di sini, di kamar indekos. Aku memang tinggal di indekos, karena tidak mau ikut tinggal di rumah kakakku. Ada mertua kakakku di sana, jadi untuk kenyaman bersama, pilihan ini adalah yang terbaik, walaupun tempat ini milik mertua kakakku juga.

Deringan tanda telepon masuk menggema. Aku meraba kasur dengan malas, meraih ponsel di samping bantal, lalu membuka mata. Mengerjap. Nomor baru. Siapa? Aku beranjak duduk, menelan ludah untuk membasahi tenggorokan, lalu menggeser layar ponsel.

"Halo?" sapaku ragu.

"Apa ini Aisha?" Terdengar suara seorang wanita di seberang sana memastikan namaku. Suaranya terdengar asing, tetapi dia tahu namaku. Siapa?

"Halo."

"Ini siapa, ya?" tanyaku memastikan.

"Aku Hana, adiknya Rey. Bisa kita ketemu? Aku butuh kunci rumah kakakku sekarang. Tadi aku sudah telepon dia, tapi ternyata dia lagi di Bali. Dia suruh aku telepon kamu."

Di Bali? Kapan berangkatnya? Kemarin masih di rumah.

Dia kembali memanggilku, membuat pikiranku buyar.

"Bisa. Mau ketemu di mana, Kak?"

"Dekat rumah kakakku, ya, soalnya aku tadi naik taksi. Aku tunggu di kafe Lemonade. Tau, kan?"

"Tau, Kak. Aku segera ke sana."

Setelah obrolan berakhir, aku berniat mengirim pesan pada Kak Rey untuk memastikan, tetapi dia sudah lebih dulu mengirim pesan padaku.

From: Kak Rey
Maaf merepotkanmu. Bisa tolong antarkan kunci rumah pada adikku? Dia sudah menunggu di depan rumah. Aku belum sempat memberinya kunci cadangan padanya.

Aku beranjak dari kasur untuk menuju kamar mandi, mengabaikan pesan Kak Rey. Jangan sampai membuat adiknya menunggu lama. Sambil menggosok gigi, jari dan mataku fokus pada layar ponsel untuk memesan ojek daring. Jika tahu akan membuatku seperti ini, mungkin lebih baik aku tetap menolak menerima kunci itu. Akan lebih baik jika Kak Sam yang menyimpannya. Mungkin jika kunci itu kembali diserahkan padaku, maka akan aku alihkan pada Kak Sam. Titik.

Setelah selesai urusan di kamar mandi, aku segera keluar karena ojek yang kupesan sudah dapat dan sedang berjalan untuk menjemputku. Celana jins warna hitam dan kemeja lengan pendek menjadi pilihanku. Setelah dua kain itu menempel di tubuh, aku segera meraih tas, lalu beranjak dari kamar sambil menyisir rambut dengan jari. Tak lupa memastikan barang tujuan masih ada di dalam tas. Aman. Ojek daring masih belum sampai saat aku tiba di depan gerbang indekos. Sambil menunggu, aku mengoleskan pelembab ke wajah dan bibir. Kepalaku terangkat untuk memandang langit. Tadi sempat panas, tetapi sekarang justru mendung. Semoga saja tidak hujan sampai aku bertemu dengan adiknya Kak Rey.

♡♡♡

Cuaca di luar dugaan. Saat hampir sampai di tempat tujuan, hujan justru turun, bahkan deras. Ingin sekali berhenti untuk meneduh, tetapi sudah dekat dan khawatir jika adiknya Kak Rey menunggu terlalu lama. Memang sudah menunggu lama, satu jam lebih. Aku meminta supir ojek tancap gas tanpa peduli dengan hujan demi segera tiba di tempat ini, karena tinggal lima puluh meter lagi. Basah kuyup? Tak sampai. Aku segera masuk ke dalam kafe setelah memberikan helm dan uang pada supir ojek daring. Ponsel kuraih dari dalam tas untuk menghubungi adiknya Kak Rey. Aktif.

"Aku sudah sampai. Kakak duduk di sebelah mana?" ucapku saat telepon tersambung sambil berjalan masuk ke dalam kafe, lalu mengedarkan pandangan ketika tiba di dalam.

Terlihat seorang wanita di ujung ruangan melambaikan tangan. Aku segera menghampirinya sambil menutup panggilan, lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Tak lupa meraih kunci rumah Pak Rey. "Maaf kalau sudah membuat Kakak menunggu terlalu lama," kataku saat tiba di dekatnya. "Ini kunci rumah Kak Rey," lanjutku sambil mengulurkan benda tersebut.

"Aduh, aku yang harusnya minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kamu jadi hujan-hujanan seperti ini." Dia menerima kunci pemberianku.

"Nggak apa-apa," balasku santai.

"Ayo, duduk dulu sambil nunggu hujan reda," sambungnya dengan nada ramah.

Aku hanya mengangguk disertai senyum ramah, lalu duduk di kursi berseberangan dengannya. Dia menawariku untuk memesan minuman, tetapi aku menolak dengan alasan tidak haus. Dia tak jauh berbeda dengan kakaknya: putih, tinggi, cantik, dan memiliku wajah khas bule. Dari info yang kudapat melalui Kak Sam, Kak Rey pindah ke Indonesia saat berusia 8 tahun karena ibu dan ayahnya bercerai. Ibunya orang Bandung, sedangkan ayahnya orang Korea. Saat di bangku SMP, dia dan kakakku satu kelas, jadi dari sana mereka mulai menjalin pertemanan. Entah karena insiden apa yang membuat mereka berteman, Kak Sam tidak menceritakannya padaku, termasuk wanita cantik yang saat ini ada di hadapanku. Kak Sam hanya bilang jika Kak Rey memiliki adik perempuan. Mereka berteman hanya tiga tahun, karena setelah lulus SMP, Kak Rey ikut ayahnya ke Korea, sedangkan adiknya ikut tante dari ibu, karena ibu mereka meninggal dunia sebulan setelah dia lulus SMP. Kak Sam pun tak menceritakan kenapa adiknya tidak ikut ke Korea, justru tinggal di Bandung bersama adik ibunya.

"Nanti mampir dulu ke rumah, ya, Kak. Kakak nggak mungkin pulang dalam keadaan baju basah kayak gini, nanti masuk angin." Nada bicaranya terdengar khawatir.

"Nggak apa-apa, kok, udah biasa hal kayak gini buat saya." Aku berusaha menenangkannya.

"Pokoknya mampir dulu, ya. Aku takut Kak Rey marah kalau Kakak sampai sakit."

"Iya." Daripada panjang, aku memilih mengalah. Lagi pula tidak jauh dari sini dan dia bisa lega hati.

Obrolan kami berlanjut mengenai hal-hal kecil. Aku kira, dia tak ramah seperti ini, tetapi dugaanku salah. Usia kami hanya selisih satuh tahun, lebih tua aku. Walaupun dia lebih muda, tetapi aku harus sopan dengannya. Dia diminta Kak Rey untuk tinggal bersama di rumah itu setelah cukup lama berpisah, karena Kak Rey di Korea, sedangkan dia di Bandung. Alasannya pun tak dijelaskan. Sama seperti yang diceritakan Kak Sam. Aku jadi penasaran. Apa karena mereka beda ayah? Entah.

Setelah hujan reda, kami meninggalkan kafe untuk berjalan ke rumah Kak Rey. Hana pasti cape setelah perjalanan cukup jauh. Pemandangan langit masih terlihat mendung. Rintik gerimis masih turun meski tak deras. Butuh waktu sepuluh menit berjalan kaki dari kafe ke rumah Kak Rey. Tak lama, kami tiba di depan gerbang rumah tujuan. Hana langsung membuka pintu gerbang, lalu segera masuk. Sesaat, aku mengembuskan napas saat akan masuk. Baru saja semalam senang karena tidak akan ke sini hari ini, tetapi semua itu pupus. Terdengar obrolan Hana dengan seseorang saat aku memasuki gerbang. Dia terlihat sedang berdiri di depan pintu untuk membuka benda itu.

"Iya, Kak. Aku masih sama Kak Aisha. Barangkali juga ada yang kurang sreg di kamar aku, kan nanti bisa langsung nanya ke dia."

Ternyata dia sedang telepon dengan kakaknya. Aku hanya bisa berdiri di dekatnya karena pintu masih belum di buka. Menjadi pendengar obrolannya.

"Ya sudah, aku mau masuk, mau mandi, mau beres-beres. Kakak hati-hati di jalan."

Obrolan berakhir. Hana terlihat kaget saat mendampati aku sudah di belakang tubuhnya, lalu segera membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam rumah ini. Dia langsung mengajakku ke kamar yang sempat kuduga kamar pacarnya Kak Rey. Tetapi dugaanku salah karena ternyata kamar itu untuk adiknya. Aku menggigit bibir bawah saat tiba di dalam kamar itu. Kamar ini terbilang luas karena ukurannya lebih luas dari kamar indekosku. Jika kamar adiknya saja seluas ini, bagaimana dengan kamar kakaknya? Jujur saja aku belum lihat kamar Kak Rey, karena barang-barang khusus untuk kamar Kak Rey belum ada yang jadi, termasuk gorden.

"Pakai baju ini."

Lamunanku seketika buyar. Pakaian di tangan Hana segera kuterima. "Makasih."

Dia tersenyum ramah. "Suka nonton Drakor nggak?" lanjutnya bertanya.

"Nggak begitu." Aslinya tak suka, tetapi demi menghargai dia, aku terpaksa berkata seperti itu.

"Aku punya beberapa list drama bagus, siapa tau Kakak suka. Kalau nggak suka nanti ganti saja, ya. Aku tinggal mandi dulu." Dia sibuk dengan layar televisi yang tak jauh dari posisi kami.

Setelah itu, dia bergegas masuk ke kamar mandi, sedangkan aku segera berganti pakaian. Aku tak begitu tahu mengenai drama Korea. Sambil menunggu Hana mandi, aku duduk di karpet yang tak jauh dari televisi, persis di lantai ujung ranjang. Aku bisa bersandar pada tepian ranjang. Efek dingin dan nyaman membuatku menguap dan merasa kantuk.

♡♡♡

Bersambung ...

Koment, dong, gimana kesan dengan bab ini?
Thanks, Gaes.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro