10 ~ Yang Lalu & Berlalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang sepi membuatku damai.
Namun, kesepian tidaklah mengenakkan.
Sederhana, tetapi aku tidak suka kesepian

(L.K)

🍁🍁🍁

Seragam almamater yang dikenakan seharian sudah bertengger di kursi warung. Tersisa kaos oblong berwarna putih yang melekat di badan Dama. Hampir dua jam remaja itu berkumpul bersama teman tongkrongannya.

Beberapa kali ia mengecek ponsel barangkali kakak atau ibunya memberi kabar bahwa mereka sudah di rumah. Namun, ponselnya tetap sepi dari pemberitahuan. Meski sedikit kecewa, setidaknya adanya teman sebayanya sedikit menghibur kala Dama kesepian.

Pikirannya kembali membawa pada kisah masa lalunya. Ketika bapak dan ibunya baru saja membuka usaha baru yaitu membuka warung dekat pasar induk di kota. Hal itu membuat Dama dan kedua kakaknya dipaksa untuk mandiri.

Sepuluh tahun yang lalu, Keluarga Renandito tidak seperti sekarang yang sudah mulai sukses dalam dunia pertanian. Si sulung kerap kali menjadi sasaran untuk membatu ekonomi keluarga dengan ikut dalam berdagang membuka warung di pasar.

Si tengah yang masih usia sekolah juga terpaksa menjadi pengasuh untuk si bungsu yang baru berusia enam tahun. Semua tampak selaras pada awalnya, hingga sebuah kelalaian membuat semuanya harus berhenti dan menata kembali dari awal

"Satya di rumah dulu sama Adek, ya? Abang masih mau nyusul Bapak sama Ibu. Ingat, jangan biarkan Adek sendirian. Harus ditemani."

"Iya, itu sudah kesekian kalinya Abang kasih tahu. Aku juga nggak akan ke mana-mana, kok."

"Dama sama Kak Satya. Nurut sama kakaknya, jangan main di luar, kalau memang mau ke luar harus pamit."

Anak berusia enam tahun itu mengangguk dan kembali ke ruang tengah dan bermain dengan mainan seadanya. Mobil-mobilan yang sudah lepas dua rodanya, sebuah robot yang sudah lepas satu kaki dan satu lengannya, bahkan ada boneka beruang yang sudah tidak memiliki mata lagi.

Belum beberapa lama Bang Asa pergi meninggalkan keduanya, Dama yang merasa mengantuk akhirnya tertidur di atas karpet lusuh di ruang tengah. Saat melihat adiknya tertidur, Satya berjalan pelan kemudian mengunci seluruh pintu rumah, kemudian bergegas untuk pergi ke salah satu rumah temannya menanyakan tugas.

Saking terlalu asyiknya, Satya lupa bahwa sang adik sendirian di rumah yang sepi tanpa penghuni. Ia teringat pada rumah saat adzan magrib berkumandang. Satya berlari sekencang-kencangnya supaya cepat sampai di rumah.

Rupanya, Bapak, Ibu, dan Bang Asa sudah sampai di rumah. Sang ibu dan ayahnya bertengkar dengan hebat. Sementara si bungsu Dama berada di pelukan si sulung. Si kecil sedang menangis tanpa suara.

"Dama kenapa, Bang? Maaf, aku lupa kalau ninggalin Dama sendirian. Tadi dia tidur pas aku ke rumah Rusman buat tanya tugas."

"Abang sudah bilang jangan tinggalin adek sendirian. Kenapa masih ditinggal juga? Mana tanggungjawabmu sebagai kakak?"

"Maaf ...."

"Dari terlalu lamanya dia nangis sendirian di rumah yang terkunci, suaranya sampai habis. Dari mana sa—ja?" Suara Bang Asa terjeda sejenak kala suara benda pecah masuk ke indra pendengarannya.

Dama yang berada di pelukannya tampak ketakutan, badannya menggigil dengan tangan menutup rapat telinganya. Matanya menatap kosong, tetapi bibirnya bergerak menggumamkan kata-kata yang tidak begitu jelas.

Kedua orang tua di rumah itu masih saja beradu argumen. Tanpa ada yang sadar bahwa ketiga putra mereka sudah berdiri di tengah-tengah kekacauan. Ya, hari itu adalah hari terburuk. Hari bersejarah di mana rumah berantakan dan si kecil mulai mendapat traumanya.

Dari situ bermulanya Dama benci pada suasana sepi dan gelap. Ditambah lagi dengan suara pertengkaran hebat, saling berteriak dan melempar barang. Entah sudah beberapa kali keluarga ini terlibat dalam pertengkaran hebat.

Namun, setiap kali pertengkaran itu terjadi, sebelum Bang Asa menikah, ialah yang menjadi penenang dan penengah. Terutama untuk menenangkan adik bungsunya yang terlihat paling terluka. Kemudian, pertengkaran pertama setelah si sulung menikah adalah saat Dama terluka tempo hari karena tawuran. Sudah lumayan lama, tetapi rasanya masih sama.

🍁🍁🍁

"Dam, pulang!" perintah Satya saat menghampiri adiknya ke warung kopi tempat tongkrongan.

Dama langsung menyambar baju almamater dan menenteng ranselnya, kemudian mengekori langkah si tengah. Tidak ada sepatah dua patah kata yang diucap oleh si tengah. Bunyi langkah yang menjadi penanda bahwa Dama berjalan dengan seorang manusia menuju rumahnya.

"Ibu sudah pulang juga?" tanya Dama pelan.

"He'em. Sampe rumah nggak ada orang. Makanan juga sampai utuh. Kakak masih di rumah Syifa pas Ibu telepon kalau kamu belum juga pulang."

"Aku nggak suka di rumah kalau sepi."

"Lain kali tuh bilang kalau nggak di rumah. Biar kita juga nggak nyariin," ujar Satya ketus.

"Kakak sama Ibu juga nggak bilang kalau pulangnya malam. Aku pikir pas sampai di rumah kalian nungguin aku pulang. Nyatanya? Aku sendirian nungguin kalian pulang. Gelap, sepi, terlalu sunyi. Aku nggak suka. Makanya aku cari tempat lain."

"Telepon kan bisa? Kasih kabar kalau di luar rumah."

"Kakak sama Ibu ada telepon aku dan bilang mau pulang jam berapa? Kalau dulu semua pintu nggak di kunci, aku juga bakalan cari tempat lain yang lebih ramai, dan mungkin aku nggak perlu dengar pertengkaran yang sampai sekarang masih aku ingat dengan sangat jelar."

Satya terpaku di halaman rumahnya untuk beberapa saat setelah mendengar penuturan sang adik. Tidak disangka kejadian yang sudah bertahun-tahun dilalui masih saja diingat dan meninggalkan luka untuk adiknya.

Rasa bersalah mulai merambahi relung hati Satya. Semua masalah kala itu adalah kelalaliannya. Ia pikir semua sudah selesia dan tidak ada masalah, rupanya masalah selalu hadir pada sang adik ketika dihadapkan dengan situasi yang sama dalam waktu yang berbeda.

"Dama ke mana, Sat? Adiknya sudah ketemu 'kan?"

"Sudah, Bu. Dia langsung naik ke kamarnya. Dia di warung tempat nongkrong."

"Ya, sudah. Setelah ini suruh adikmu turun. Sepertinya dia juga belum makan. Ini lauknya masih utuh. Sayur juga masih sama seperti tadi."

Satya mengangguk lalu pamit untuk mandi dan berganti pakaian. Suasana hatinya mendadak tak nyaman melihat sorot mata sang adik yang tetap menyimpan luka.

Sorot mata yang paling ia hindari selama ini. Jika sudah seperti itu, Dama seperti menjadi orang lain. Sosok adik yang sepertinya akan semakin sulit untuk dijangkaunya.

Si tengah memasuki kamar dengan langkah gontainya. Ia melempar tubuhnya ke kasur dan berbaring sambil menatap langit-langit. Dirogohnya saku celana dan mengambil ponsel pintarnya.

Ia buka aplikasi percakapan memilih satu nama kemudian melakukan panggilan pada nomer tersebut.

"Halo, aku sudah di rumah. Baru aja bawa si bocil balik," ujar Satya dengan nada tidak semangat.

"Ada di mana? Tempat nongkrong?"

"Hm, seperti biasanya."

"Aku kan sudah bilang buat cepat pulang. Kenapa masih juga ngotot nemenin?"

"Ya, tugasmu belum selesai, gimana aku bisa pulang?"

"Aku masih bisa kerjain sendiri. Sudah tahu Dama nggak bisa sendiri masih saja ditinggal-tinggal gitu. Berapa kali aku bilang sama kamu, dekati Dama, ajak main bareng. Jangan biarkan dia itu nyaman sama orang lain, tapi justru jauh sama keluarga."

"Kok malah ngomelin aku?"

"Kamu kalau nggak diomelin nggak pernah paham, Sat!"

"Terus? Keuntungannya buatku ngajak Dama main tuh apa?"

"Dia bakal nurut dan nggak susah digapai, pergaulannya juga terjaga kalau dia mudah kamu awasi, paham?"

"Tau ah, gelap! Belain saja itu si bocil, bye, aku mandi dulu."

Satya memutus panggilan itu secara sepihak. Dipandangnya foto profil wanita pujaannya itu sambil tersenyum.

Harusnya Dama tahu kalau banyak yang sayang sama dia. Bahkan calon kakak iparnya saja lebih membelanya dibanding aku, kakaknya, batin Satya

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 02 Desember 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro