11 ~ Berproses (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika memang di sana bukan tempat yang nyaman,
setidaknya di sini jauh lebih tenang.
Tidak ada mereka yang sering lupa padaku.
Tidak ada mereka yang mencoba buatku nyaman.
Namun, selalu ada mereka yang menantiku untuk bermain.

(L.K)

🍁🍁🍁

"Dek, makan dulu. Ibu sudah hangatkan makanan—nya ...," ucap Ibu Laras perlahan saat memasuki kamar si bungsu.

Ucapan Ibu Laras terjeda sebentar karena melihat si pemilik kamar sudah bergelung di bawah selimut. Didekatinya ranjang Dama dan ditatapnya wajah lelah si bungsu. Dilihatnya kamar bernuansa gelap yang sedikit berantakan.

Sang ibu beralih pada seragam yang berceceran di lantai. Memindahkan sepatu dan kaos kaki yang bertebaran, kemudian memindah seragam di tangannya ke keranjang khusus pakaian kotor.

Begitu selesai merapikan, dihampirinya ranjang si bungsu, kemudian diusap kepalanya dengan sangat perlahan. Maafkan Ibu yang belum bisa buat Dama bahagia, belum bisa buat Dama nyaman dengan rumah ini, sering tinggalin Dama sendirian, batin Ibu Laras dengan tangan yang terus saja mengusap kepala Dama.

Tanpa disadari, rupanya si pemilik kamar belum tertidur sepenuhnya. Dama memang mengantuk, matanya pun sudah terpejam sangat rapat. Namun, indera pendengarannya masih bisa mendengar suara pintu dan langkah sang ibu yang mondar-mandir di kamarnya.

Apalagi ketika usapan mulai terasa di kepalanya. Dama nyaris saja bergerak dan menghindar, tetapi ia memilih berdiam diri dan menikmati perlakuan lembut sang ibu. Sampai akhirnya Dama merasa pencahayaan kamarnya meredup dan suara pintu tertutup, barulah ia berani membuka matanya dan menghabiskan malam dengan melamun.

Sementara itu, Satya yang merasa perutnya keroncongan sudah menunggu di meja makan. Berharap sang ibu bisa menggeret adiknya dan menemaninya makan malam yang ternyata sudah terlalu malam.

"Dama mana, Bu?"

"Sudah tidur. Ibu mau banguni juga nggak tega, kayaknya capek banget si Adek."

"Mungkin sudah makan, makanya langsung tidur. Tadi di warung Kakak lihat di depannya sudah ada mangkuk, bisa mangkuk bakso atau mie, Bu."

Sang Ibu mengangguk dan mulai mengisi piring Satya dengan nasi dan lauk kesukaannya. Setelahnya giliran Satya yang mengisi piring ibunya. Makan malam kali ini terlihat lebih romantis. Hanya ada Ibu Laras dan putra keduanya.

"Udah kayak nge-date sama Ibu, ya, Kak?"

'"Hm ... Jarang-jarang seperti ini. Kalau ada Pare mah, Kakak nggak kebagian kencan sama Ibu. Dimonopoli terus sama kepala negara. Btw, kapan Bapak pulang, Bu?"

"Masih lama, Kak. Kenapa? Kangen?"

"Nggak juga, sih. Cuma pengin cerita saja soal pekerjaan sama Bapak, tapi mau telepon sungkan. Hm, kalau misalnya Kakak taruh lamaran di sekolah Dama, gimana, Bu?"

Ibu Laras menatap si tengah dengan wajah penuh tanya. Sebab sebelumnya Satya sering menyinggung dirinya paling tidak suka jika harus bekerja dan ada salah satu keluarga berada dekat dengannya di tempat kerja.

"Yakin? Kenapa tiba-tiba memutuskan ke sana?"

"Pertama, ada lowongan pekerjaan sesuai dengan jurusan Kakak. Kedua, sekolah Dama termasuk sekolah favorit incaran banyak lulusan baru, artinya di sana prospeknya bagus. Ketiga, karena Dama ada di sana."

🍁🍁🍁

Dama merasa terlalu lelah untuk mengikuti pelajaran. Kali ini ia ingin egonya yang menang dan membolos seperti rencananya sesaat setelah bangun tidur. Hal ini merupakan kejadian langka, tetapi tidak lagi jika hari ini ia loloskan niat hatinya.

Masih sama seperti rutinitas biasanya sebelum berangkat sekolah, ia akan berjalan menuju jalan utama, kemudian menunggu bus lewat dan membawanya ke sekolah. Namun, kali ini ia sengaja melewatkan tiga bus yang melintas di hadapannya.

Bus-bus itu berhenti, tetapi Dama tetap berdiri dan enggan bergerak untuk menaikinya. Barulah saat bus keempat lewat ia bergegas masuk dan disambut dengan beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya.

"Dek, apa nggak terlambat ke sekolah? Ketinggalan bus?" tanya kondektur yang bertugas untuk menerima ongkos dan memberikan karcis pada penumpang.

Dama hanya mengangguk tanpa, ia lantas menyodorkan sejumlah uang yang ditukar dengan karcis dengan tulisan berwarna hijau sebagai penanda bahwa itu adalah karcis khusus pelajar.

"Sini, duduk sini saja, Dek," tawar seorang pemuda yang tampak lebih tua dari usia Dama.

Lagi-lagi Dama mengangguk dan duduk di tempat yang ditawarkan pemuda itu. Paling pojok dan dekat dengan jendela. Ia menikmati pemandangan di sepanjang jalan menuju sekolah.

Selama perjalanan, rupanya si pemuda di sebelah Dama banyak mengajaknya berbincang. Dama yang biasanya canggung dengan kehadiran orang baru, akhirnya merasa nyaman dan terbawa suasana untuk turut bercerita.

"Adek rupanya kreatif juga, ya? Karcis saja bisa dijadikan origami," ujar si pemuda.

"Cuma iseng saja, Kak."

"Setelah lulus penginnya lanjut di mana?"

"Nggak tau. Dulu pas TK pengin jadi tentara, giliran masuk SD ganti pengin jadi dokter. Nah, pas SMP ganti lagi pengin jadi orang banyak uang. Kalau sekarang ditanya, penginnya jadi anak baik saja."

"Bagus juga. Jarang-jarang ada yang bilang pengin jadi anak baik. Soalnya meski kamu jadi tentara, dokter, guru, tapi nggak bisa baik ke keluarga, untuk apa?"

"Kenapa Kakak nggak seperti kebanyakan orang yang langsung menghakimi saat saya tidak punya cita-cita yang pasti?"

"Memangnya pernah dihakimi?"

"Secara verbal iya. Dikatain anak nggak punya masa depan."

Lelaki di sebelah Dama tertawa, tetapi tidak lama. Ia menoleh dan menyentuh kepala Dama tanpa permisi dan mengacak pelan rambutnya. Untuk sepersekian detik Dama terpaku dengan perlakuan lelaki tersebut.

"Mereka salah. Sebaik apapun manusia, mereka mempunyai masa lalu. Seburuk apapun manusia, mereka masih punya masa depan. Dan untuk kamu, adik kecil, kamu punya masa depan yang baik."

Dama kembali menoleh pada sosok di sebelahnya. Sosok asing yang tiba-tiba saja membuatnya nyaman. Beginilah jalan hidup, tidak bisa diduga kapan, siapa, dan di mana kita bisa menemui seseorang yang mampu mengubah jalan hidup.

"Dulu, saya dituntut untuk dewasa. Dan saya memang ingin dianggap dewasa. Ternyata, jalan menuju dewasa serumit ini."

"Kamu tidak sendirian. Kakak pun demikian. Dipaksa dewasa oleh keadaan, dipaksa untuk sanggup bertahan hidup karena keadaan, dan semua dari yang terpaksa akhirnya menjadi bisa."

"Dewasa itu rumit, ya?"

"Tergantung bagaimana kamu cara kamu mencari kedewasaan itu. Nikmati saja masa mudamu, tapi ingat jangan sampai kelewatan."

Sebuah tepukan pelan mendarat di tangan Dama. Seiring dengan tepukan itu, lelaki yang menemani perjalanannya ke sekolah itu pamit undur diri karena tujuannya sudah terlihat.

Dama mempersilakan lelaki itu untuk turun. Tidak lupa ucapan terima kasih ia sampaikan. Suasana hatinya yang sedikit mendung sejak terjaga, kini mulai terobati. Percakapan singkat itu seperti menambal sisi hatinya yang kosong.

Katanya, anak-anak yang menginjak remaja itu lebih rentan untuk mudah terpengaruh. Dalam kehidupan sehari-hari mereka akan mencari apa yang belum ditemukan.

Lebih sering mencoba dan mencari tahu. Ketika bertemu dengan lingkungan dan kawan yang salah, maka mereka akan dengan mudah tertarik ke dalamnya. Begitu juga dengan Dama. Ia masih dalam proses mencari.

Sebuah pencarian jati diri yang dialaminya akan memberikan banyak pelajaran berharga. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Beberapa mungkin akan memberikan pelajaran telak, beberapa mungkin hanya berupa teguran.

Setelah melewati terminal dan bus kembali berjalan, Dama mulai menyiapkan dirinya untuk turun di depan sekolah. Namun, saat melirik jam tangannya, ia memutuskan untuk turun beberapa ratus meter sebelum sekolahnya.

"Kiri, Pak!" ujar Dama keras dan membuat sang sopir langsung meminggirkan busnya.

"Sekolahnya masih jauh, Dek! Takut dihukum, ya?" celetuk si kondektur sambil mempersilakan Dama untuk turun.

"Saya nggak niat ke sekolah, Pak. Terima kasih."

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 06 Desember 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro