12 ~ Menemukan Tempat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mencari tempatku.
Yang tidak terusik, yang tidak gaduh.
Aku hanya ingin tenang, lalu menang.
Menang melawan ego yang sudah mengambil alih.

(L.K)

🍁🍁🍁

Dama melompat dari bus dan tak lupa mengucap terima kasih pada kondektur. Itu sudah menjadi kebiasaannya sejak SMP. Kata abangnya, banyak-banyaklah mengucap terima kasih pada siapa saja, terutama yang membantu meski dalam hal kecil.

Dalam hal ini, Dama sering diajarkan untuk mengucap terima kasih pada siapa saja. Entah itu petugas pom bensin, sopir angkutan/bus, kenek/kondektur bus, bahkan pada pengamen sekalipun.

Saat si kecil Dama mempertanyakan untuk apa mengucap terima kasih, abangnya hanya berujar, "Mereka sudah membantu meringankan pekerjaan kita, mereka juga bersedia menerima pemberian kita, sudah sepantasnya berterima kasih."

Tidak di duga, setiap orang yang pernah bertemu dengan Dama, seperti kondektur tadi, selalu membalas ucapan terima kasih Dama dengan senyuman. Dan saat bertemu kembali, mereka mengenali si anak tadi.

"Ya, sama-sama. Bolosnya jangan sering-sering, ya. Nanti ibunya marah," teriak sang kondektur dari pintu bus.

Dama mengacungkan jempolnya dan berlari ke dalam sebuah gang kecil yang berjarak dua ratus meter dari sekolahnya. Ia menyusuri jalan sampai bertemu dengan sebuah warung yang tidak begitu besar.

"Oi, Dam! Bolos juga?" Suara Irza lebih dulu menyapanya.

"Niat dari rumah emang nggak pengen ke kelas."

"Tumbenan nak baik kayak kamu lagi gak pengin ke kelas?"

"Lagi nyari sesuatu," ujar Dama sambil masuk menuju dapur kemudian berbelok menuju sebuah ruangan di sebelah dapur.

"Lah, malah ngilang tuh anak. Dam, mau ikut ke sekolah tetangga, nggak?" tawar salah seorang siswa kelas XII.

"Nggak, makasih, Kak."

"Kuy, berangkat saja. Toh Dama emang nggak masuk daftar tetap. Besok-besok saja ajak dia."

Suara riuh beberapa siswa SMA Patriot Pancasila yang menyalakan motor mengusik telinga Dama dan beberapa warga di sekitar warung. Tidak sedikit juga warga yang berteriak untuk mematikan motor dengan suara knalpot yang sumbang itu.

"Mang, numpang tidur di sini, ya? Kalau ada yang nyari bilang nggak ada."

"Memangnya yang tahu kamu ada di sini siapa? Percaya diri banget bakal ada yang nyariin?"

"Kali saja guru saya gabut dan berkelana mencari murid kesayangannya yang hilang."

Si pemilik warung tertawa. Ini bukan kali pertama Dama menumpang untuk beristirahat. Terhitung beberapa kali Dama sudah pernah kabur di jam pelajaran, entah beruntung atau memang nasibnya ditakdirkan untuk baik. Setiap kali kabur, disaat bersamaan memang guru pada jam tersebut berhalangan hadir.

Jadilah nama Dama selalu aman dan tidak terdeteksi membolos pada jam pelajaran. Warung itu sebenarnya adalah tempat berkumpulnya siswa SMA Patriot Pancasila. Selain itu, biasanya tempat itu adalah markas untuk menyusun berbagai rencana untuk bertanding dengan sekolah lain.

🍁🍁🍁

Sebuah mobil terparkir di halaman rumah yang tidak begitu luas. Si pemilik rumah keluar dan menyambut tamu sambil menggendong putri semata wayangnya. Setelahnya, sang istri menyusul dan menyambut sepasang kekasih itu.

"Mbak sudah lama nungguin kapan Syifa diajak main ke sini. Akhirnya kesampaian juga, ya?" Salsabila—Bunda Yaya—langsung mendekat dan memeluh calon ipas suaminya itu.

"Onty!" seru Yaya sambil beralih ingin berpindah ke pelukan Syifa, tunangan dari Satya.

"Kita di sini saja, biarkan cewek-cewek di dalam dan berkreasi sesuka hatinya saja." Bang Asa menarik lengan adik tengahnya itu.

"Iya, Bang."

Setelah percakapan itu, keduanya justru terjebak dalam sasana canggung. Sama-sama fokus pada gawai masing-masing. Beruntungnya, suara gelak tawa dari salam rumah menyadarkan keduanya. Sehingga Abang Asa lebih dulu meletakkan gawainya dan disusul oleh Satya.

"Ibu tadi cerita kalau kamu mau melamar jadi guru di sekolah Dama, benar?"

Satya mengangguk. "Asal disetujui sama Bapak, aku mah tinggal kirim lamarannya, Bang."

"Dama gimana? Apa dia tau rencanamu?"

"Belum tahu, nanti sajalah kasih tahunya. Takut belum keterima malah bikin malu."

"Justru itu. Kamu sama Dama itu sebelas duabelas. Paling susah kalau lingkungannya itu ada keluarga. Nggak akan dianggep soalnya."

"Apa kata nanti lah, Bang." Satya mengambil gawainya kembali dan membuka sosial media dan menjelajahinya. "Semalam aku sama Ibu lupa bilang kalau pulang telat. Dama nggak pulang ke rumah, malah nongkrong sama lainnya di warung."

"Bukan salah Dama, bukan salah Ibu sama kamu juga, Sat. Dia butuh ramai saja, paham kan? Sesekali lah ajak Dama main sama kamu juga. Abang mau ajak dia sudah nggak sempat, Sat."

"Nah, apa aku bilang? Nggak salah 'kan, kalau aku nyaranin kamu ajak si bontot main? Abang Asa saja berpikiran yang sama kayak aku." Suara Syifa yang cempreng mendadak terdengar.

Dua perempuan dewasa dan satu balita mendekat dengan membawa minum dan cemilan di tangan. Si balita langsung menuju ke arah Satya, dan dua perempuan tadi langsung mengambil posisi berhadapan dengan pasangan masing-masing.

"Kenapa lagi dengan Dama, Sat?" tanya Salsabila.

"Nggak apa-apa, Mbak, moodnya lagi jelek tu anak."

"Bohong, Mbak. Dama ditinggal sendirian di rumah. Satya sudah aku suruh pulang dari sore, malah dia nggak pulang-pulang sampai Ibu Laras yang telepon." Syifa mencoba meluruskan hal yang tidak jelas dalam percakapan tersebut.

"Kebiasaanmu, Sat. Jangan gitu lagi, Dama pasti nungguin dulu sebelum dia milih untuk pergi gabung sama teman-temannya. Abang kan sudah bilang ...."

"Terus, terus, terus ... lanjutin aja terus. Tiga lawan satu, siapa takut?" Satya memasang wajah cemberut karena merasa diintimidasi oleh abangnya, kakak iparnya, dan tunangannya. "Untuk kali ini tinggal Yaya yang dukung Om Satya."

Yaya menoleh dan menatap wajah omnya. "Nggak, Yaya mau sama Om Dama."

Si kecil langsung turun dari pangkuan Satya dan menghampiri ayahnya. Sementara kedua perempuan dewasa sudah tertawa melihat kemalangan yang menimpa Satya.

"Aku sudah pernah bilang, Mbak. Kalau sama Dama itu jangan bicara keras, nggak akan diterima baik. Eh, kalau sama Satya nggak, malah diceramahin panjang lebar udah ngalah-ngalahin aku kalau PMS terus dia berulah."

Salsabila dan Bang Asa menatap tajam pada Satya. Si terdakwa hanya sanggup menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. Satya salah tingkah, ia memilih mengambil minuman untuk menetralkan rasa canggungnya.

"Abang sudah berapa kali bilang, Dama itu berbeda dari kita. Jauh perbedaannya. Kalau kita mah anak Bapak sama Ibu yang tahan banting. Jangan samakan dengan Dama. Di luarnya saja kelihatan tangguh, kasih suara keras dikit saja dia meleyot, Sat."

"Ya, maaf, Bang. Aku nggak sengaja juga kalau pas tiba-tiba ikut marah atau ngasih tahunya terlalu keras."

Percakapan ringan terus saja bergulir hingga mendekati tengah hari. Pembahasan keluarga memang tidak pernah ada habisnya. Bahkan sampai sepasang kekasih itu undur diri, tidak ada hal tidak penting yang dibahas.

Baru sepuluh menit mereka Syifa dan Satya meninggalkan halaman rumah Abang Asa, ponselnya menerima pesan dari salah satu guru yang juga temannya di SMA Patriot Pancasila. Sebuah kabar bahwa siswa mereka menantang siswa sekolah tetangga. Ditambah lagi guru tersebut mengatakan bahwa Dama tidak ada di kelasnya.

Pikiran Satya mulai kacau. Ia baru saja berjanji untuk tidak bersuara keras pada si bungsu. Namun, jika seperti ini keadaannya, bagaimana bisa ia mengendalikan amarahnya?

🍁🍁🍁

Seneng nggak dapat double up? 😁😁😁
Masih mau nungguin Dama dan saudara-saudaranya?

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 06 Desember 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro