13 ~ Overthinking

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pikiranku terlalu dominan.
Seketika membaik, seketika memburuk.
Segala yang aku pikir baik, ternyata tidak.
Segala yang aku kira tidak baik, ternyata sebaliknya.
Hebatnya lagi, pikiran dan hatiku rupanya tidak sejalan.
Sungguh kurang ajar!

(L.K)

🍁🍁🍁

Dama terduduk di atas karpet lusuh. Ia memandang sekitar dengan tatapan yang penuh tanya. Suasananya masih sama seperti tadi saat ia masuk ke warung Mang Rizal. Di ruangan sempit di sebelah dapur yang hanya berbatas dinding bambu.

"Sudah bangun, Dam? Mimpi apa sampai ngigaunya keras banget," tanya Mang Rizal.

"Aku ngigau, Mang? Masa iya?"

"Ho'oh, sambil meringis-meringis kayak ketakutan gitu. Mamang sudah bangunin, tapi kamu ga bangun-bangun. Cuma ha-hem-ha-hem aja, terus abis gitu anteng lagi. Ya sudah Mamang biarin lanjut tidur."

"Serem, Mang. Maaf ngerepotin Mang Rizal terus."

"Bajunya sampai basah gitu. Buka aja, kalau butuh baju ganti pakai kaos Mamang saja."

"Makasih, Mang."

Lelaki muda itu terdiam setelah si pemilik warung meninggalkannya dan bergegas melayani pelanggan yang memesan kopi hitam dan gorengan. Dama mencoba mengingat kembali isi mimpinya.

Dalam mimpinya itu terlalu jelas semua yang diperlihatkan. Ia yang menjelajah hutan, berlari, terjatuh, lalu tenggelam setelah terbawa arus air terjun. Tidak berhenti sampai di situ, tiba-tiba saja ia bertemu dengan kawanan binatang buas.

Hal itu membuat Dama lari tunggang-langgang. Sunggh mimpinya kali ini membuatnya lelah tak berujung. Bahkan saat sudah terjaga, badannya masih terasa lemas. Sungguh, jika dibanding mimpi saat tidur malam, mimpinya kali ini lebih menyeramkan.

Gila! Mimpinya bikin capek nggak kelar-kelar. Nggak lagi-lagi tidur kepagian kayak gini. Bukannya enak, malah makin terasa capeknya, batin Dama. Lelaki itu mengusap kasar wajahnya dan beralih mengusap rambutnya yang ternyata lepek karena keringat.

"Mang ..., Mang Rizal! Ada anak-anak ke sini, nggak?"

Dama tersentak kaget mendengar suara seorang lelaki yang terdengar familiar itu. Sementara, Mang Rizal yang berada di dapur melirik ke arah Dama yang salah tingkah setelah mendengar panggilan tadi.

Mang Rizal langsung bergegas menuju ke arah suara setelah Dama memberi kode dan memintanya untuk merahasiakan keberadaannya di warung ini.

"Maaf, Pak Surya. Anak-anak sudah pergi dari jam setengah delapan tadi."

"Berapa anak? Siapa saja, Pak? Apa ada yang namanya Dama?"

"Duh, saya nggak hafal sama nama-nama anaknya. Semua saya panggil anak bujang kalau pada ke sini masih pakai seragam."

"Dama itu yang paling rapi pakaiannya, anaknya cakep. Putih, terus matanya juga agak coklat."

Mang Rizal menggeleng, "Tapi tadi memang banyak anak-anak ke sini. Setelah ngopi sama makan gorengan, mereka pergi semua."

"Mereka bawa motor?"

"Iya, Pak. Ada sekitar enam sampai delapan motor yang tadi parkir di sini. Pas buyar, langsung sepi, Pak."

"Makasih infonya, Mang." Pak Surya langsung berputar arah dan hendak kembali ke sekolah.

"Pak Surya, tunggu sebentar!" Mang Rizal berlari ke luar warung dan berbicara sedikit berbisik di depan warungnya.

"Ah yang benar saja? Masa begitu? Kalau memang begitu, saya kabari ke sekolah dulu. Sekali lagi terima kasih banyak, Mang." Pak Surya menepuk bahu Mang Rizal dan bergegas memperlebar langkahnya meninggalkan warung sederhana itu.

Setelah Mang Rizal masuk, Dama langsung menariknya ke arah kamar kecil dan menodong si pemilik warung untuk mengetahui apa yang diucapkan di luar warung.

"Sabar, Dam. Mamang nggak bilang kalau kamu di sini. Mamang hanya bilang soal rencana teman-temanmu yang ke sekolah tetangga. Takut mereka kenapa-kenapa kalau nggak ada yang ngatasi."

Dama terduduk dan bisa bernapas lega. Belum selesai rasa leganya, tiba-tiba gawai di sakunya bergetar. Ia melihat sejenak nama si penelepon dan tanpa disadari ia menekan gambar telepon dengan lingkaran hijau.

"Ha—lo ...."

"Kamu ikut tawuran lagi? Kenapa nggak sekolah? Ketahuan sama Bapak mateng ntar. Dimasukkan pondok mau?" tanya Satya, si pemilik suara dari seberang.

"Satu-satu kalau tanya, Kak. Pertama aku nggak tawuran, kedua aku nggak niat ke sekolah. Ketiga, Bapak, Abang, sama Kakak aja nggak ada yang ke pondok, kenapa aku harus ke sana?"

"Allahuakbar! Si bungsu dah berani nyahut."

"Aku mau minta motor. Capek telat terus sampai di sekolah."

"Eh? Serius? Nggak usah! Abis ini kamu berangkat dan pulang sekolah sama Kakak."

"Nggak mau! Dama mau motor sendiri."

"Bilang sendiri sama Bapak."

"Oke! Kakak bisa saja bisa dapat motor pas kelas X, masa aku kelas XI nggak bisa?"

Pelajar yang duduk di kelas XI itu menutup sambungan telepon secara sepihak. Ia lantas mematikan ponselnya dan meletakkannya ke dalam tas. Dama menarik napas dan mengembuskan dengan kuat.

Degup jantungnya meningkat seketika. Tangannya bergetar setelah meletakkan ponselnya ke dalam tas. Ia tidak menyangka bisa membalas ucapan kakaknya kali ini. Biasanya, si bungsu hanya diam atau membalas dengan kata ya dan tidak, tetapi kali ini ia sukses membalasnya.

Jauh dari lubuk hatinya, Dama merasa bangga karena sudah bisa berbicara banyak dengan Satya, si tengah. Namun, pikirannya membuat dia gugup. Bagaimana jika kakaknya melapor pada Bang Asa. Bagaimana jika Bapak diberitahu dan kemudian menolak permintaannya. Bagaimana jika ibunya tahu keinginannya, tetapi justru melarangnya?

Terlalu banyak kata bagaimana di otak Dama. Hal ini membuatnya ragu pada diri sendiri. Pemilik mata sipit itu mendadak berteriak dan membuat pengunjung warung dan Mang Rizal kompak beristigfar bersama.

"Kenapa, Dam?"

"Ha? Kenapa memangnya?"

"Kamu kenapa teriak-teriak? Ini kopi nyaris aja tumpah karena Mamang kaget barusan."

"Ada kecoa, Mang. Iya, ada kecoa lewat barusan."

Mang Rizal meninggalkan Dama sebentar kemudian kembali lagi ke kamar. Ia duduk bersila di hadapan si bungsu. Di tepuknya bahu Dama secara perlahan berulang kali. Tanpa sepatah kata yang keluar dari si pemilik warung.

"Ada yang bisa Mamang bantu? Ceritakan saja. Meski nggak ada penyelesaian karena Mamang belum pernah sekolah tinggi, setidaknya kepalamu lebih lega."

"Kepala Dama rasanya mau meledak!"

Mang Rizal lebih mendekatkan dirinya dan menepuk bahu Dama lebih lembut lagi. "Katakan saja yang mau dikatakan. Nggak apa-apa."

"Seharian Dama ketemu sama orang-orang baik. Semakin banyak ketemu sama orang, Aku makin overthinking, dari overthinking sekarang sudah nyaris oversinting. Capek!"

Mang Rizal tersenyum tipis. Lelaki yang berusia mendekati kepala tiga itu mengelus kepala Dama. "Kamu persis adik Mamang di kampung. Dia kadang suka gemes sendiri, pusing-pusing sendiri, tapi setelah itu dia bisa tertawa lagi."

Dama memiringkan kepalanya, "Kenapa bisa begitu?"

"Entahlah, dia bisa menemukan apa yang dia cari, makanya bisa tertawa lagi. Lakukan apa yang kamu mau, pikirkan baik-baik, lalu ikuti kata hatimu," ujar Mang Rizal.

Dama hanya terdiam. Ia semakin tidak mengerti dengan keadaannya kali ini. menurutnya, sulit sekali menjadi orang dewasa. Lelaki belasan tahun itu masih mencari jati dirinya. Berusaha menemukan apa yang ia cari, apa yang ia inginkan.

Dalam proses pendewasaan, keluarga, teman, dan lingkungan sangatlah dibutuhkan. Bahkan hal yang awalnya tidak mungkin, bisa menjadi mungkin. Semua tergantung bagaimana keadaan membentuknya.

Bersama mereka yang baik, tentunya menjadi putih adalah yang diharapkan. Namun, bersama mereka yang kurang baik belum tentu juga akan menjadi hitam sepenuhnya. Meski hitam sekalipun, sebagai manusia tentu tidak akan tahu seberapa luasnya putih di bawah hitam tadi.

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 09 Desember 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro