[WOOZI] Lets Begin the New Life

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara musik berdentum hebat menyebar ke segala penjuru ruangan. Sebelas orang pria duduk bersandar di salah satu sisi ruangan. Mereka heboh menyaksikan dua rekannya yang sedang berlatih koreografi lagu duet khusus untuk mereka berdua. Beberapa kali terdengar seruan terpukau saat ada gerakan yang sangat susah. Soonyoung dan Jihoon tidak terpengaruh sama sekali. Pandangan mereka terpaku pada cermin di hadapannya, meneliti gerakan yang sekiranya belum dirasa sempurna.

Di sisi lain ruangan, terlihat beberapa orang yang tampak sibuk berdiskusi. Ada Minho, Sungmin, Junseo, Hyesung, dan Jisung. Mereka berlima sedang membahas masalah jadwal Seventeen di Jepang nanti. Walaupun penanggung jawab kegiatan Seventeen selama di Jepang sudah beralih ke Junseo, sejak Hyesung pergi, gadis itu kali pun ikut menyumbangkan ide. Pimpinan agensi yang notabene merupakan paman Hyesung, meminta tolong padanya untuk ikut turun tangan dalam comeback Seventeen kali ini.

"Sepertinya kita harus mengatur ulang jadwal syuting di Jepang. Jadwal Seungkwan, Mingyu, Soonyoung, dan Hansol minggu depan sangat padat," ungkap Sungmin sembari mengamati timeline jadwal para member.

Hyesung mengamati kertas di tangannya dengan sebelah tangan menopang dagu. Gadis itu mengetuk-etukkan sepatunya mengikuti irama musik. Ia kemudian menyandarkan punggung ke kursi.

"Bulan depan minggu kedua," ucap gadis itu. "Bagaimana? Jadwal para anggota tidak terlalu padat di minggu itu. Kita bisa meminta jadwal penayangan di saluran televisi untuk diundur tiga hari. Tidak terlalu jauh juga dari jadwal comeback mereka. Justru lebih menguntungkan dalam hal promosi."

Jisung mengangguk-angguk mendengar usul adik sepupunya. "Sepertinya bisa," pandangan pria itu beralih pada Junseo. "Bisa tolong kau urus hari ini juga?"

Junseo mengangguk mantap menyanggupi. Keempat orang lainnya ikut lega karena satu masalah akhirnya selesai. Jisung menyerahkan berkas-berkas dihadapannya kepada Hyesung, gadis itu dengan sigap merapikan.

"Kalau begitu rapatnya sampai disini saja," ucap Jisung. Ia mengakhiri pertemuan itu dengan ucapan terima kasih dan salam.

Hyesung ikut berdiri ketika Jisung juga bangkit dari duduknya. Tangannya penuh membawa tumpukan dokumen.

"Oppa," panggil Hyesung sambil menyusul kakak sepupunya itu. Ia terlihat ragu-ragu ingin menanyakan suatu hal. Jisung menunggu dengan sabar. "Hmm, masalah Jeonghan oppa. Kapan pihak agensi akan mengeluarkan pernyataan kalau sekarang istrinya sedang mengandung?"

Jisung tersenyum. Sebelah tangannya terjulur menepuk puncak kepala adiknya itu. "Ya ampun, kau ini sangat memperhatikan artis-artisku ya," ucapnya setengah bercanda. "Tenang saja, kita cari waktu yang tepat. Aku tahu kekhawatiranmu pada comeback Jepang nanti. Apalagi ini menyangkut Jeonghan, yang memiliki banyak penggemar di sana."

Hyesung mengangguk. "Jadi, bagaimana?"

"Lihat nanti. Kita harus diskusi dulu dengan yang bersangkutan sebelum membawa masalah ini ke pihak kantor. Belum lagi, keluarga Pyo Nari dari golongan orang-orang terpandang. Aku tidak mau salah ambil langkah." Hyesung mengangguk paham.

Jisung benar-benar bangga pada perhatian penuh adiknya yang tidak pernah berkurang pada artis perusahaannya. Bukan hanya pada Seventeen, ia juga kenal dekat dengan artis lain dan para trainee. Andaikan saja ia tidak memilih bekerja sebagai seorang dokter, maka dengan senang hati Jisung akan merekrutnya sebagai bagian resmi dari agensinya.

"Nikmati saja sisa hari liburmu ini," ucap Jisung. "Kalau Jihoon sudah selesai latihan, kau bisa pergi berkencan. Sebentar lagi jadwal Seventeen akan kembali padat. Silahkan nikmati waktu yang ada." Jisung mengerling jenaka menggoda Hyesung.

Hyesung tertawa kecil menanggapi ucapan Jisung. Ia melambaikan sebelah tangannya ketika Jisung berlalu pergi.

"Tidak berat kau bawa dokumen sebanyak itu, hm?" Suara Jihoon berhasil membuat Hyesung terkejut. Hampir saja ia menjatuhkan kertas-kertas ditangannya.

Jihoon meringis, sedikit merasa bersalah. Tangannya terulur, mengambil alih beban berat di pelukan gadisnya. Hyesung membiarkan perlakuan Jihoon. Gadis itu berjalan mengekori kekasihnya menuju salah satu kursi.

"Hyesung-ah, kau tidak kembali ke rumah sakit?" tanya Seungcheol.

Hyesung menggeleng. "I take my day off. Besok aku baru masuk lagi."

"Karena kau rindu padaku, kan?" Joshua mengalungkan sebelah lengannya pada bahu gadis itu.

Hyesung mengernyitkan dahi sambil menutup hidung dengan dua jari. Sambil main-main, ia mendorong pelan bahu Joshua agar menjauh. "Kau bau keringat, jangan dekat-dekat."

"Ah, curang. Kalau Jihoon saja kau mau dipeluk, masa denganku tidak?" Protes Joshua.

"Hyung, jangan menggoda kekasihku," komentar Jihoon.

Seungcheol tertawa melihat raut muram di wajah Jihoon. Pria itu justru menarik pergelangan tangan Hyesung agar duduk di sisinya. Gadis itu tidak tahu apa-apa. Ia menurut saja.

Jihoon yang melihatnya langsung memberikan tatapan mematikan ke arah Seungcheol. Ia meletakkan berkas-berkas milik Hyesung di atas meja secara asal. Pria itu bergegas menarik Hyesung dan membawanya jauh dari para hyung-nya.

"Argh, kalian ini benar-benar menyebalkan," ucap Jihoon.

Seungcheol maupun Joshua tertawa karena merasa menang. Hyesung baru sadar. Ternyata dua pria itu sedang berusaha membuat kekasihnya kepanasan dibakar api cemburu. Tawa Hyesung ikut pecah. Ini bukan pertama kalinya line kelahiran 95 menggodanya, jadi ia sudah kebal dengan rayuan mereka.

"Kalian cepatlah menikah. Beruntung juga Jeonghan hyung sudah punya istri, jadi dia tidak ikut-ikutan kalian lagi," omel Jihoon.

"Wah, ada apa kau panggil-panggil namaku?" Jeonghan datang dengan sebotol air mineral di tangannya. Ia melihat ke arah Joshua, Seungcheol, Jihoon, dan Hyesung bergantian. Pria itu kemudian mengangguk paham.

"Sayang sekali, tapi selama istriku sedang hamil aku tidak bisa menggoda Hyesung seperti biasa," keluh Jeonghan main-main.

"Hyung!" Empat orang lainnya disana hanya tertawa mendengar pekikan Jihoon.

Melihat keseruan itu, anggota Seventeen yang lain ikut dalam lingkaran perbincangan mereka. Kehadiran Hyesung memang sudah seperti magnet. Dimana gadis itu berada, suasana selalu kembali hidup. Tidak heran, pria pendiam dan tertutup seperti Jihoon pun dapat tersihir dan jatuh hati padanya.

"Yoon Jeonghan! Istrimu datang!"

Seruan Sungmin, salah satu manajer Seventeen, menghentikan percakapan seru mereka. Jeonghan yang dipanggil pun segera berdiri. Senyumnya mengembang ketika mendapati sang istri berdiri di ambang pintu. Wanitanya itu berjalan masuk ragu-ragu sambil membungkuk kecil memberi sapaan para seluruh orang.

Jeonghan berlari kecil menghampiri Nari. Pria itu langsung menarik Nari agar masuk dalam dekapannya.

Hyesung menjerit tertahan sambil menutup mulut. Pandangan mata member Seventeen yang awalnya terarah pada Jeonghan-Nari kini berpindah ke arah gadis itu. Jihoon bahkan menggenggam sebelah tangan Hyesung. Ia memandang ke arah gadisnya dengan raut wajah khawatir.

Menyadari bahwa kini dirinya sedang jadi bahan tontonan, Hyesung meringis. Ia menunjuk ke arah Jeonghan dan Nari yang kini sudah berjalan mendekat ke arah mereka.

"Aku hanya kaget melihat interaksi mereka berdua. Hampir saja aku mengira Jeonghan oppa lupa kalau Nari eonni sedang hamil muda dan menariknya dengan terlalu keras," jelas Hyesung.

"Ommo, jiwa doktermu itu sangat berguna," komentar Mingyu.

Melihat satu-satunya wanita diantara member Seventeen, Nari menyapa Hyesung dengan hangat. Hyesung bangkit dari duduknya dan menghampiri Nari.

"Annyeonghaseyo, saya Han Hyesung," ucap Hyesung memperkenalkan diri.

"Ah, jadi kau kekasih Jihoon yang sering diceritakan Jeonghan itu?" Pekik Nari terkejut. "Aku Pyo Nari, senang bertemu denganmu."

Hyesung mengangguk menyetujui. "Akhirnya ada wanita lain selain diriku disini."

Nari tertawa mendengar ucapan wanita berbadan mungil di hadapannya. Pertemuan pertama yang berjalan dengan baik. Kesan yang dibawa gadis bernama Hyesung itu benar-benar menyenangkan. Bahkan, Nari yang notabene susah untuk nyaman berada di lingkungan baru, kini merasa lega dengan kehadiran Hyesung yang baru pertama kali ia temui.

"Ya ya ya, anak kecil kembali saja ke sisi Jihoon," ucap Jeonghan berusaha menyudahi perkenalan kedua wanita itu. "Ada hal yang harus aku bicarakan dengan Nari."

Hyesung merengut ketika dirinya disebut sebagai anak kecil oleh Jeonghan. Nari sampai mencubit pelan pinggang suaminya agar menjaga ucapannya. Jeonghan menunjukkan senyum polos, berpura-pura.

"Nanti kita ngobrol lagi ya," ucap Nari berusaha mengangkat mood Hyesung.

Hyesung tertawa kecil. "Tentu saja. Tadi aku hanya bercanda kok. Aku sudah kebal dengan godaan thirteen boys ini. Mereka tidak ada yang dewasa, bocah semua."

Nari segera menarik tangan Jeonghan menjauh ketika suaminya sudah buka mulut siap menanggapi ucapan Hyesung. "Kalau begitu aku izin pergi sebentar dengan Jeonghan. Tidak akan lama kok."

Hyesung mengangguk kecil. "Aku tunggu!"

---

Ketiga belas pria itu kembali berlatih. Kini Hyesung bebas mengobrol berdua saja dengan Nari. Wanita yang sedang mengandung Yoon junior itu ternyata cukup enak diajak bicara. Ia terlihat dewasa dan keibuan. Apa mungkin ini adalah salah satu efek samping dari kehamilan?

Sebenarnya, Hyesung merasa sangat bersalah karena tidak menghadiri pernikahan Jeonghan. Saat itu dirinya belum berani untuk kembali bertemu dengan member Seventeen. Bahkan ia hanya sesekali bertukar kabar dengan Mingyu. Maka dari itu, ia amat senang ketika pada akhirnya dapat bertemu dengan sosok bernama Pyo Nari ini.

"Kulihat kau sangat dekat dengan mereka," komentar Nari. Matanya tak lepas memandangi ketiga belas orang pria yang sedang serius berlatih koreografi.

Hyesung terkekeh pelan. "Dulu aku bertugas sebagai 'counselor' mereka, tapi jadi keterusan gini. Karena sudah saling nyaman, kalau ada masalah mereka datang padaku. Atau bahkan kebalikannya. Aku juga tidak pernah bermimpi akan sedekat ini dengan mereka," jawab Hyesung.

Nari menoleh ke arah gadis itu. "Terima kasih karena kau sudah berada di sisi para member," ucap Nari tulus.

"Kami sudah seperti keluarga," balas Hyesung tersipu malu. "Sudah seharusnya begitu."

Nari mengangguk mengerti. "Terus, sekarang bagaimana hubunganmu dengan Lee Jihoon?"

"Ah, itu...," Hyesung mengetukkan-etukkan jemarinya ke atas meja. Pandangannya lurus menatap pria berbadan kecil yang semangat menari. "Aku sendiri juga masih tidak yakin."

Nari menatap Hyesung dari samping dengan perasaan iba. Tangannya bergerak pelan mengelus punggung gadis itu. "Aku ada di sini kalau kau mau cerita. Siapa tahu kau membutuhkan saran dari seorang eonni?" Nari mengakhiri ucapannya dengan tersenyum jenaka.

Hyesung tertawa. Ia memeluk erat lengan wanita yang lebih tua dua tahun darinya itu. "Jeonghan oppa benar-benar beruntung bisa bertemu dengan wanita sehebatmu," puji Hyesung.

Nari tertawa kecil. Sebelah tangannya terulur mengelus punggung Hyesung. Baik Hyesung maupun Nari adalah anak tunggal di keluarga mereka. Terkadang keduanya merasa kesepian karena di rumah tidak ada saudara yang bisa diajak bermain. Bermula dari perkenalan hari ini, mereka jadi merasa saling memiliki.

---

"Kalian berdua sedang membicarakan apa? Kayaknya seru," Jeonghan menghampiri Nari dan Hyesung yang sedang tertawa bersama menatap ke layar laptop.

Hyesung mengangkat wajah. "Foto masa kecil Jeonghan oppa. Termasuk foto-foto aib member Seventeen," jawabnya riang.

"Ya! Noona! Kau dapat itu dari mana?!" pekik Seungkwan ketika mencoba mengintip gambar yang ada di layar. "Kau diam-diam jadi paparaziku ya?"

Hyesung menggeleng kecil, ia tak paham dengan penyakit percaya diri akut yang dimiliki pria bermarga Boo itu. Ia menutup layar laptopnya agar Seungkwan tidak bisa menghapus foto jeleknya saat sedang tidur. Seungkwan mengomel panjang meminta laptop gadis itu. Hyesung tidak mengindahkan ucapannya dan berlalu pergi menghampiri Jihoon.

Kini tinggal Nari dan Jeonghan yang tersisa. Pria itu duduk di sebelah sang istri. Belum sampai lima menit, punggungnya sudah didorong agar menjauh.

"Sudah kubilang, bau keringatmu membuatku mual," ucap Nari sambil menutup hidungnya.

Jeonghan meringis. Ia kemudian duduk menjauhi Nari. "Hanya keringatku saja? Saat tadi Seungkwan berdiri di belakangmu, kau tidak terlihat mual."

Nari mengangkat kedua bahu. "Sepertinya hanya denganmu saja. Sudah sana, cepat mandi dan antar aku ke rumah sakit."

Jeonghan mengelus puncak kepala Nari cepat dan berlalu menuju kamar mandi dengan tas di bahu. Nari melepas jepitan di hidungnya. Akhirnya ia bisa bernapas lega.

"Morning sickness, kenapa disebut morning sickness kalau tidak hanya mual pada pagi hari?" Gerutu Nari kesal.

"Karena mual paling dirasakan pada saat bangun tidur di pagi hari. Walaupun begitu, pada beberapa orang bisa saja dirasakan sepanjang hari," Hyesung menampakkan batang hidungnya di hadapan Nari.

Gadis itu mengelus dada karena terkejut. "Kau mengejutkanku, Hyesung!" Hyesung hanya tertawa kecil menggodanya. "Aku sampai lupa kalau kau adalah dokter."

"Yup, tapi aku bukan dokter kandungan, jadi maaf saja tidak bisa membantu banyak dalam mengatasi kehamilan eonni," ucap Hyesung. Gadis itu berputar mencari-cari sosok Jeonghan. "Kemana Jeonghan oppa pergi? Kalian tidak jadi berangkat ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan?"

"Diaa kusuruh mandi dulu. Aku tidak tahan dengan bau keringatnya," ucap Nari jujur. "Kau sendiri tidak jadi pergi bersama Jihoon?"

"Ini aku sudah mau berangkat," ucap Hyesung. Senyuman manis gadis itu tidak berkurang barang sedetik pun. "Maaf ya aku pergi duluan. Lain kali kita harus bertemu untuk membicarakan banyak hal tentang wanita, okay?" Hyesung mengedipkan sebelah matanya pada Nari. Ia kemudian bergerak menjauh sembari melambaikan sebelah tangan. "Aku pergi dulu!"

Hyesung kemudian menyamai langkah Jihoon yang sudah berjalan terlebih dahulu di depan. Gadis itu mengambil alih tas kecilnya yang tersampir di bahu Jihoon. Sempat terjadi perdebatan kecil. Namun, Hyesung berhasil memenangkannya dan membawa barang-barang miliknya seorang diri.

Nari mengamati keduanya sembari mengulum senyum. Pasangan muda itu benar-benar terlihat imut.

---

"Tadi kau ngobrol apa saja dengan Noona?"

Hyesung mengangkat pandangan dari atas piring. Ia menelengkan kepala menatap kedua mata Jihoon yang menatapnya lekat. Gadis itu meraih segelas air mineral dan meminumnya untuk membersihkan kerongkongan.

"Banyak hal."

Saat ini Hyesung dan Jihoon sedang berada di sebuah restoran Jepang terkenal rekomendasi Hyesung. Belum lama ini keduanya kembali dekat. Walaupun belum sepenuhnya terbuka, gadis itu mulai bisa menerima kembali kehadiran Jihoon di hidupnya. Untuk memulai awal yang baru, keduanya mulai berwisata kuliner. Kegiatan yang dulu sering mereka lakukan ketika masih bersama.

"Oppa," panggil Hyesung. "Tolong ceritakan bagaimana Jeonghan oppa dan Nari eonni bisa bersama. Aku tidak menyangka sama sekali bahwa Jeonghan oppa akan mengakhiri masa lajangnya sebelum umur tiga puluh tahun."

Jihoon terkekeh geli. "Kalau kau begitu penasaran, kenapa tidak kau tanyakan saja pada orangnya langsung?"

Hyesung mendelik. "Aku malu. Lagipula ini kali pertama aku bertemu dengan Nari eonni," ucap Hyesung berkilah.

Jihoon mengangguk-angguk paham. "Mereka sudah berteman sejak kecil. Yah, setelah melalui banyak halangan disana-sini, ujung-ujungnya tetap saja mereka bisa hidup bersama. Hm, bagaimana ya. Beberapa orang menganggap cerita cinta mereka itu romantis. Namun menurutku, itu cenderung terdengar lucu."

"Kenapa lucu?" tanya Hyesung heran.

Kedua alis Jihoon terangkat. Ia tersenyum kecil ketika menyadari gadis di hadapannya sangat antusias dengan kisah Jeonghan. "Lucu saja. Mereka tidak menyangka bahwa jodohnya selama ini ternyata berada sangat dekat."

Hyesung membulatkan mulut. Jujur, ia tidak berpikir ke arah sana. "Terus, apa benar kalau Jeonghan sempat membenci Nari?"

Jihoon tampak berpikir keras. "Bukan benci sih. Lebih tepatnya, jika ia melihat gadis itu, maka kenangan buruk yang berusaha ia lupakan akan kembali terangkat. Siapa yang tahan dengan siksaan itu?"

"Kejamnya," lenguh Hyesung. "Untung saja, keduanya segera sadar dan memilih pilihan yang tepat."

Jihoon menggeser mangkuk ramennya yang sudah kosong ke pinggir. Pria itu mencondongkan tubuh bagian atasnya agar lebih dekat ke arah Hyesung. "Bagaimana denganmu? Sudah memutuskan pilihan apa yang akan kau ambil?"

Hyesung menelengkan kepalanya tak mengerti. "Maksud oppa?"

"Tentang kita."

Blush! Kedua pipi Hyesung memerah. Ia teringat peristiwa dua bulan yang lalu ketika pria itu kembali menyatakan perasaan padanya. Hyesung merutuki dirinya dalam hati ketika sadar bahwa saat itu tanpa sadar ia ikut menyuarakan isi hatinya tanpa pikir panjang. Benar-benar memalukan!

"Hm, itu...," Hyesung menggaruk belakang kepalanya dengan gugup. "Ya, begitu...."

Jihoon tertawa. Ia meraih sebelah tangan Hyesung yang terulur di atas meja. Pria itu meremasnya pelan.

"Aku akan menunggumu hingga kau siap membuka hati. Jangan terburu-buru."

Hyesung mengangkat pandangannya. Ia menemukan kesungguhan di manik mata gelap milik Jihoon.

"Tapi, kalau menungguku... itu bisa sangat lama," Hyesung tersenyum sedih. "Kau pasti iri melihat bagaimana bahagianya Jeonghan dan Nari bisa bersama. Belum lagi kini mereka akan dikaruniai seorang anak yang akan menambah manis keluarga kecil mereka."

Jihoon mengangkat alisnya heran. Ia tidak melepaskan genggaman tangannya. "Aku tidak menyesal. Mimpiku adalah membangun keluarga bersamamu. Tidak dengan yang lainnya."

Kedua mata Hyesung berkaca-kaca mendengar balasan Jihoon. Jujur saja, ia merasa sangat bersalah. Sudah empat tahun ia meninggalkan pria di hadapannya tanpa kabar. Ia tidak tega jika harus membuat Jihoon terlalu lama menunggunya lagi. Hyesung mengutuk dirinya sendiri yang tidak becus menghadapi kegundahan hati tentang membangun komitmen dalam hubungan serius bersama lawan jenis.

"Uljima," ucap Jihoon menenangkan. Pria itu bergeser hingga kini duduk di samping Hyesung. Ia menarik gadis itu masuk ke dalam pelukannya. "Maaf kalau aku membuatmu sakit hati."

Hyesung menggeleng. Ia menyeka beberapa tetes air mata yang berhasil lolos dari sarangnya. "Oppa tidak salah. Aku yang seharusnya meminta maaf."

"Tenanglah," Jihoon mengusap lembut punggung gadis itu. "Tidak ada yang salah. Kita hadapi semuanya bersama, arrasseo?" Hyesung mengangguk. "Aku akan membuatmu kembali jatuh dalam pesona seorang Lee Jihoon. Jadi jangan salahkan dirimu sendiri."

"Ya!" Hyesung memukul pelan lengan Jihoon. Senyuman kecil terukir di wajahnya. "Bisa-bisanya oppa terlalu percaya diri di saat seperti ini."

"Tentu saja aku harus percaya diri," ucap Jihoon sedikit sombong. "Kalau tidak. Bagaimana bisa aku membuatmu percaya pada niatku?"

Hyesung termenung. Ia tidak dapat membalas kata-kata Jihoon. Keduanya hanya diam saling tatap selama beberapa menit. Hening. Namun tidak menyesakkan.

Hyesung menyadari sesuatu. Perasaan ini. Ketika mereka berdua sama-sama nyaman dengan kehadiran satu sama lain tanpa perlu melakukan apapun. Ketika keheningan mampu menghantarkan getaran perasaan masing-masing. Hyesung mengerjapkan matanya. Ia mampu mencintai Jihoon dengan segala kesederhanaan yang ada padanya. Kasih sayang yang simpel, tidak menuntut.

Jihoon tersenyum. Ia melepaskan tangan Hyesung yang masih berada di dalam genggamannya. Ada sedikit rasa kehilangan ketika Jihoon melakukan hal itu di dalam benak Hyesung.

"Habiskan makananmu," perintah Jihoon sambil mengedikkan dagu ke arah piring Hyesung yang masih terisi sepertiga makanan. "Aku akan mengantarmu pulang. Besok pagi kau sudah harus kembali bekerja."

Hyesung meraih sumpit dan membawa sepotong daging sapi ke depan mulut. Gadis itu tampak ragu. Tangannya kemudian turun.

"Hm," Hyesung tampak menimbang-nimbang. "Apa oppa mau menginap malam ini?"

Jihoon membulatkan kedua mata. "Ya! Kau sudah tertular virus mesum Seungcheol hyung!"

"Bukan begitu!" protes Hyesung. Ia menutupi wajahnya yang sudah pasti memerah karena malu. "Aku ingin kembali terbiasa dengan kehadiran Oppa. Kita bisa melakukan hal-hal manis seperti dulu. Itu pun kalau Oppa tidak keberatan." Hyesung menunggu respon Jihoon. "Ah, tapi kalau Oppa sibuk, lupakan saja ucapanku tadi. Maaf karena sudah...."

"Tenang saja, aku akan menemanimu hingga terlelap," Jihoon menunjukkan senyuman manis. Tangannya terulur menepuk puncak kepala gadis itu. "Sekarang habiskan makananmu."

Hyesung membalas senyum Jihoon tak kalah tulus. Ia mengangguk mantap. Dengan semangat gadis itu menghabiskan makanan di atas piringnya.

--

Di cerita ini, Hyesung cahayanya sedang redup. Dia masih skeptis sama yang namanya komitmen akibat traumanya atas perceraian kedua orangtua Hyesung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro