04. The Show

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jenny berteriak dramatis dan menuduhku sengaja menumpahkan minuman ke gaunnya. Ia bahkan mengucapkannya dengan berlinang air mata, seolah aku perempuan jahat yang tega melakukan hal-hal konyol seperti itu.

Demi menyempurnakan aktingnya, ia memasang tampang memelas berlebihan, dan ... sesenggukan?

Tanpa bisa dicegah, adegan itu menciptakan tatapan iba dari sekian banyak orang yang ada di ruangan. Dan sudah bisa dipastikan, mereka menghakimiku.

Aku nyaris melontarkan sumpah serapah. Bagaimana mungkin Jenny melakukan hal ini padaku?

Aku masih mencoba berpikir dan mencari cara untuk membela diri ketika perempuan tinggi semampai itu beranjak, lalu berlari meninggalkan ruang jamuan dengan berderai air mata.

Yang benar saja. Apa dia berharap Sean akan mengejarnya, membujuknya, lalu memeluknya seperti yang terjadi di drama-drama?

Sebelum terlibat drama murahan ini lebih jauh, aku cepat mengambil keputusan.
Bangkit dari tempat duduk, aku harus mengalihkan perhatian semua orang di ruang jamuan, termasuk Sean.
Jika tidak, Jenny akan menang telak. Semua orang akan terus-terusan perhatian padanya, iba padanya.

"Aku tidak sengaja melakukannya," ucapku segera.

Dan usahaku berhasil. Tatapan mereka yang awalnya tertuju pada kepergian Jenny kini beralih padaku.

Sempat merasa jijik, tapi toh akhirnya aku melakukan cara yang sama seperti yang dilakukan Jenny.

Memasang muka memelas dan ketakutan. Aku bahkan siap mengeluarkan air mata jika itu dibutuhkan.

"A-aku tak sengaja melakukannya, sungguh." Bibirku bergetar, gugup.

"Aku tadi hanya ingin meletakkan minuman itu di depannya. Tapi ...," dan air mataku menitik.

"Aku ... aku akan minta maaf padanya." Aku memohon diri dengan hormat lalu beranjak.

Membenahi bagian bawah gaunku yang nyaris tersingkap, aku berlari-lari kecil menuju pintu keluar. Sampai akhirnya aku mendengar panggilan itu.

"Hana!"

Langkah kakiku terhenti dan aku berbalik.

Sesaat aku tertegun ketika menyaksikan Sean bangkit dari kursinya lalu berlari ke arahku.

Aku mematung, bingung.

Apa yang akan ia lakukan?

Belum hilang kebingunganku, aku kembali dibuat tak mengerti ketika pria itu melepaskan jasnya lalu melingkarkannya ke pinggangku.

"Aku tak tahu pasti apa yang terjadi dengan gaunmu. Tapi ini terlalu pendek dan jujur aku tak nyaman melihatnya," ucapnya tanpa melihat ke arahku.

Tangannya sibuk mengaitkan ujung lengan jas dengan ujung yang satunya. Rupanya ia berusaha menutupi bagian bawah rokku dengan jasnya.

Kedua mataku mengerjap takjub, lalu memandangi lelaki yang hanya berjarak sekian senti dari wajahku.

"Terima kasih. Tapi aku benar-benar tidak melakukannya. Aku tidak secara sengaja menumpahkan minuman padanya." Suaraku bergetar dan air mataku kembali menitik.

Aku berusaha menyapu butiran-butiran air mata di pipiku dengan punggung tangan.

Sean mendongak dan menatapku lembut.

"Temuilah dia. Dan selesaikan masalah di antara kalian dengan baik," ucapnya sambil meremas bahuku dengan pelan. Setelah itu ia berbalik dan kembali ke kursinya.

Dan akupun kembali melangkah, kali ini dengan jas Sean yang melilit di pinggangku, menutupi sebagian pahaku yang tadinya terekspos berlebihan.

Aku baru saja keluar dari pintu ruang jamuan ketika dari arah berlawanan aku menyaksikan Kai berlari ke arahku dengan napas terengah.

"Aku membawakanmu gaun lain," ucapnya langsung ketika telah sampai di depanku.

Pemuda itu menatapku dan tampak cemas seketika.

"Hana, apa kau baru saja menangis? Apa karena masalah gaunmu?" Nada suaranya terdengar khawatir.

"Itu ...."

"Aku sudah berhasil membawakanmu gaun lain. Tadi aku menemui penata kostum dan memintanya mendapatkan gaun lagi. Dan, aku mendapatkannya. Jadi, jangan bersedih lagi ya." Ia menyodorkan sebuah tas kecil ke arahku.

Aku menerima gaun itu dengan ragu ketika tatapan Kai jatuh pada jas di pinggangku.

"Sean meminjamkan ini padaku," sahutku sebelum pria itu sempat bertanya macam-macam padaku.
Ia manggut-manggut.

"Kai, terima kasih banyak untuk gaunnya. Sekarang boleh aku ke kamarku?"

Kai tersenyum seraya menyilakanku. Dan aku bergerak tanpa membuang-buang waktu lagi.

***

Aku sampai di kamarku dan menyaksikan Jenny berdiri dengan angkuh di sana. Seolah ia sengaja menanti kedatanganku.

Dan tanpa peringatan, aku mendorong tubuhnya ke dinding. Sengaja memilih tempat yang tidak tertangkap kamera.

Perempuan itu berusaha melakukan perlawanan. Ia mengangkat tangannya dan berusaha memukul wajahku tapi aku keburu menahannya.

Dan ... plakk!

Pukulan itu mendarat terlebih dahulu ke wajahnya. Aku yang menamparnya.

Jenny melotot dan menatapku dengan nanar. Aku bergerak mendekatinya. Postur tubuh kami yang sama tinggi membuat wajah kami berhadapan dengan posisi sama.

"Dulu kau nyaris membuatku tewas, Jen. Dan waktu itu aku tak memberi perlawanan apa-apa padamu. Tapi sekarang aku Hana yang berbeda. Jika kau menyakitiku, aku takkan tinggal diam. Aku akan membalasmu," desisku.

Rahang Jenny kaku.
"Dasar perempuan jalang," umpatnya.

Aku tersenyum sinis.
"Terima kasih. Tapi kau juga," balasku.

"Mungkin kau Sang Ratu Drama. Tapi aku sudah banyak belajar darimu. Aku tahu tujuan kita mengikuti acara ini adalah sama. Popularitas dan materi. Jadi ...." Aku menatap Jenny, lurus ke manik matanya dengan lekat.

"Jika kau berusaha menggagalkanku dalam acara ini dengan cara yang tidak fair, bersiap-siaplah menerima pembalasanku. Aku tak segan-segan untuk melakukan tindakan brutal padamu, jika kau membahayakan nyawaku. Camkan itu," ancamku.

Aku mundur beberapa langkah dan mengibaskan rambutku. Lalu beranjak meninggalkan Jenny.

***

Aku sempat was-was.

Kupikir kejadian gaun Jenny yang ketumpahan minuman akan membuat riwayatku tamat.

Kupikir Sean akan mendepakku di episode pertama karena waktu itu aku menangkap tatapan menghakimi darinya.

Tapi ternyata aku salah.

Aku tidak termasuk empat gadis yang dieliminasi di episode pertama.

Jenny masih bertahan. Dua teman sekamarku, Irene dan Miranda juga aman.

Dan proses syuting pun terus berlangsung, hingga episode-episode berikutnya.

Setiap hari kami melakukan interaksi dengan peserta lain dan juga dengan si tuan rumah.

Ini seperti menjalani kehidupan sehari-hari. Kami berbagi tugas mengurus rumah, kami juga mengikuti kelas memasak, kelas bahasa asing, kelas ketrampilan, bahkan kami terbagi menjadi beberapa kelompok untuk ikut workshop tentang manajemen, secara bergantian.

Kadang aku jadi bingung, ini mau jadi istri atau asisten Sean?

Tapi kemudian aku memahami, yang memenangkan posisi satu akan menjadi nyonya konglomerat terkemuka di negara ini.

Jadi pantas saja jika Sean ingin mencari yang terbaik, berbakat, dan cerdas. Karena untuk selanjutnya, perempuan itulah yang akan menemani Sean mengurus dirinya, keluarganya sekaligus seluruh kerajaan bisnisnya.

Aku belum terlalu mengenal Sean. Kami hanya bertemu ketika acara makan dan juga bersantai di waktu luang. Aku juga jarang mengobrol dengannya.

Tapi dari yang kulihat dari interaksinya dengan begitu banyak perempuan yang tinggal serumah, ia begitu ramah dan sopan.

Ia dengan sabar menjawab semua pertanyaan remeh dari setiap peserta. Ia juga dengan sabar menghadapi beberapa peserta yang lebih agresif dan ingin dikenal olehnya lebih intens, termasuk Jenny.

Sebaliknya ia juga tak sungkan mengajak mengobrol terlebih dahulu beberapa peserta yang terlihat pendiam dan pemalu, seperti Irene misalnya.

Ketika kami berkumpul bersama, dan ketika Irene hanya bengong dan terlihat bingung untuk memulai obrolan, Sean dengan tenang menghampirinya dan mengajaknya berbicara terlebih dahulu.

Sungguh, aku salut dengan pria itu.

Aku juga kagum dengan tim editing yang mampu memberikan screen time dengan porsi waktu yang sama. Sehingga acara yang ditayangkan setiap episodenya, terlihat adil untuk semua peserta.

Oh, aku lupa bilang, aku masih bertahan hingga episode 5, babak 12 besar.

Dan dalam kurun waktu selama itu, aku tetap saja belum punya kesempatan untuk membangun chemistry yang lebih intim dengan Sean.

Kami hanya mengobrol biasa, seperti layaknya orang yang baru ken. Justru ia terlihat begitu peduli pada Irene.

Irene gadis pemalu. Tapi ia terampil, cerdas, dan pintar sekali memasak. Sikapnya begitu keibuan. Mungkin itu yang membuat Sean nyaman bersamanya.

Sean juga lumayan dekat dengan Jenny. Berkebalikan dengan Irene, Jenny lebih agresif, seperti dugaanku. Ia pintar mencari peluang untuk bisa lebih dekat dan rajin mengobrol dengannya.

Dan sungguh aku tak peduli! Aku tak berharap banyak. Setidaknya aku masih bertahan hingga episode ini.

Tapi .... tetap saja bukan ini yang kuinginkan.

Aku tak ambil pusing siapa di antara wanita itu yang kelak akan dinikahi oleh Sean. Yang kuinginkan adalah pengakuan publik, aku ingin dikenal.

Tapi apesnya, pollingku yang dipilih oleh para netizen berada di urutan paling rendah. Aku selalu saja berada di urutan terbawah.

Dan coba tebak siapa yang berada di peringkat satu? Jenny-lah orangnya.

Ya, kau sedang tidak salah info.

Nenek sihir itu rajin bertengger di posisi satu!

Terkadang aku bingung dengan netizen? Bagaimana mungkin perempuan itu berada di sana? Apa yang disukai publik pada dirinya?

Karena dia cantik, terlihat ramah, manis, ceria, dan tampak baik hati, begitu? Itu kan hanya di depan kamera.

Hah, seandainya netizen tahu sifat Jenny yang sebenarnya, aku pastikan mereka bakal gantung diri!

Sementara itu, Irene dan Miranda rajin nangkring di posisi dua dan tiga. Kalau yang ini, jujur aku tak keberatan.
Dua perempuan ini juga terkenal cantik. Kecantikan mereka begitu kalem dan elegan. Mereka baik hati dan sahabat yang menyenangkan buatku.

Miranda juga lumayan dekat dengan Sean. Kadang aku berharap, lebih baik salah satu di antara dua perempuan ini saja yang dipilih oleh Sean.

Asal bukan Jenny! 

***

"Halo, Liz. Bagaimana Lena?" Aku menyapa terlebih dahulu.

Hampir setiap hari aku rajin menelpon Lizzy untuk menanyakan keadaan Lena.

Lagipula tim produksi memberi kesempatan pada setiap peserta untuk melakukan kontak dengan keluarga mereka, asal tidak lebih dari lima menit.

"Lena baik. Dia baru saja tidur," jawab Lizzy dari seberang sana.

"Minggu depan aku diijinkan untuk berkunjung," ujarku.

"Oke, kami akan menunggumu," jawab Lizzy. "Hana, aku rajin mengecek internet. Dan pollingmu selalu saja rendah."

"Aku tahu," ucapku lemah. "Dan Si Nenek Sihir itu tetap bertengger di posisi satu." Aku gemas.

Kudengar Lizzy juga mengeram sama kesalnya.

"Hana, begini saja." Ia terdengar menahan amarah. "Kau tak punya banyak waktu, ingat. Sainganmu keren-keren. Dan sepertinya sulit bagimu untuk bertahan hingga beberapa episode yang akan datang.

"Jadi, kau hanya punya dua pilihan. Dapatkan Sean sebagai suamimu, atau kau mendapat popularitas tinggi lewat acara ini, entah bagaimana caranya."

"Tapi Liz ...."

"Pollingmu kecil, Hana. Faktanya kau tidak terlalu dikenal publik, walau acara ini meraih rating tinggi. Kau cantik, tapi menurutku ... kau kurang stunning di sana. Jadi kau butuh gebrakan, atau sesuatu hal hingga publik mengenalmu dan mencintaimu. Jika Nenek Sihir itu bisa, kau juga harus bisa."

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Lizzy.

Dan dia benar. Aku harus berbuat sesuatu.

Setelah berpikir keras aku memutuskan untuk melakukannya.

***

Setiap sore biasanya beberapa peserta akan duduk-duduk di dekat kolam renang.
Tak terkecuali dengan diriku.

Kadang Sean bergabung, kadang juga tidak. 
Dan sore itu, ternyata ia tidak ada.

Awalnya aku takut Jenny-lah yang tidak berada di sana, tapi syukurlah, ia juga hadir.

Dan akhirnya drama itu kumainkan.
Menunggu momen yang tepat, menerka posisi kamera di setiap penjuru, serta dengan perencanaan pribadi yang cermat, aku berpura-pura terpeleset dan terjatuh ke dalam kolam renang.

Dan bersamaan dengan jatuhnya diriku ke kolam renang, aku menarik lengan Jenny dan membawanya bersamaku!

Dan ... byuurr!

Tubuh kami berdua meluncur terjun ke dalam air.

Aku pandai berenang, jadi buatku ini tak masalah.

Lain lagi dengan Jenny. Tubuhnya timbul tenggelam di atas permukaan air dan ia tampak megap-megap.

Awalnya aku sudah sampai di pinggir kolam renang dan naik ke permukaan. Melihat kondisi Jenny, aku kembali terjun ke dalam kolam dan menyelamatkan perempuan itu.

Setelah menariknya ke daratan, perempuan itu sudah terlalu banyak meminum air.

Dan yang kulakukan pertama kali adalah melakukan CPR padanya, dan, voila! Dia selamat!

Orang-orang yang berada di sekitar kolam renang bertepuk tangan. Memuji kemampuanku berenang, dan keahlianku melakukan CPR hingga Jenny tak mengalami kejadian fatal.

***

Dan seperti yang kuperkirakan, aksi heroikku yang menyelamatkan Jenny terekam kamera. Dan sutradara memutuskan untuk menayangkannya.

Dan ternyata langkah itu cukup efektif untuk mempromosikan diriku sendiri.

Buktinya, pollingku meningkat dan aku berada di urutan tujuh.

Tak ada yang mengira bahwa aku sengaja melakukannya.

Tak ada yang mengira bahwa sejak awal aku sudah tahu Jenny tak bisa berenang.

Lagipula aku tak berencana mencelakainya.

Aku sudah membuat perhitungan dengan cermat bahwa sebelum Jenny mengalami kejadian fatal, aku sudah harus bisa menyelamatkannya.

Dan berhasil.

Tak ada yang curiga.

Logikanya, jika aku ingin mencelakainya, maka aku takkan repot-repot menyelamatkannya.

Ya, kan?

***

"Kau sengaja melakukannya, kan?" tanya Jenny di suatu malam, sesaat setelah episode tentang insiden itu ditayangkan.

Dan lagi-lagi aku aman, aku tak tereliminasi. Jenny juga, dan dua teman sekamarku yang lain.

Miranda dan Irene sedang bergabung dengan yang lainnya di ruang tengah, jadi ia bebas membahasnya di sini.

"Menurutmu?" tanyaku santai.

Aku bersedekap dan menatapnya dengan angkuh.
Rahang Jenny tampak kaku.

"Tega sekali kau." Ia mengeram.

Bibirku berdecih.

"Tega? Kau juga nyaris membuatku celaka, apa kau pikir itu tak kalah lebih kejam? Setidaknya aku tak benar-benar ingin membunuhmu."

"Suatu saat aku akan membongkar perbuatanmu."

"Dan aku juga akan membongkar perbuatanmu agar kita impas dan kita terlempar dari acara ini!" Aku berjengit.

Kami berpandangan tajam.

"Ini peringatan terakhir dariku, Jen. You slap me, and I'll slap you back, okay?" Aku mengibaskan rambut panjangku lalu beranjak keluar kamar.

***

Aku baru sampai di lorong kamar dan berniat pergi ke ruang tengah ketika berpapasan dengan Kai.

Ia mengenakan celana jeans robek-robek favorit yang dipadu dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.

Tampan.

"Hai." Ia menyapa duluan.

Aku tersenyum lalu balas menyapanya.
Selama tinggal di sini, aku mulai menjalin persahabatan dengannya. Kami mulai akrab sekarang.

Dia pria yang menyenangkan. Sudah tak terhitung banyaknya bantuan yang ia berikan ketika aku mengalami kesulitan selama proses syuting.

"Besok kau pulang, kan?" Ia bertanya. Aku mengangguk.

"Jika tak keberatan, aku ingin mengantarkanmu. Aku penasaran sekali ingin bertemu dengan putrimu. Berkali-kali kau menceritakan betapa lucunya dia dan aku benar-benar ingin melihatnya." Ia terdengar antusias.

"Apa besok kau tak bekerja?" tanyaku.

Kai menggeleng.

"Aku sengaja mengambil hari off yang sama denganmu," ucapnya.

"Kenapa?"

"Um, sengaja ingin mengantarkanmu," jawabnya ragu.

Aku terkekeh.

"Baiklah."

"Aku sudah membelikan hadiah lucu untuknya."

"Sungguh?" Kali ini aku yang antusias.

Pria itu mengangguk.

"Apa?"

"Ada deh. Rahasia. Besok akan kukasih tahu, sekalian mengantarkanmu pulang. Oke, aku pergi dulu ya."

Dan sebelum aku sempat mengatakan apapun, ia sudah berlalu.

Aku menatap kepergiannya sambil tersenyum geli.

Sampai akhirnya aku merasakan seseorang menarik tanganku, membawaku ke lorong ruangan, lorong yang sepi dan tak terjangkau kamera maupun kru televisi, lalu mendorongku ke dinding.

Aku batal menjerit ketika menyadari seraut wajah yang kini berada di hadapanku.

Dekat.

Sean.

Pria itu menatapku intens dengan matanya yang teduh sementara lenganku masih digenggamnya erat.

Tubuh kami juga berdekatan, bahkan nyaris bersentuhan.

Entah kenapa, tiba-tiba udara di sekitarku terasa panas menghimpit.

Sesak.

"Sean?" Aku bergumam.

"Ada sesuatu?" tanyaku.

"Hana, apa kau begitu tak menyukaiku?"

"Eh?" Aku mengernyit bingung.

"Apa kau tak menyukai tempat ini? Apa kau terpaksa mengikuti acara ini?"

Lagi-lagi keningku mengerut. Aku tak mengerti maksud pembicaraannya.

"Kau mengabaikanku, Hana," lanjutnya.

"Aku berusaha mendekatimu, aku berusaha berbicara denganmu, tapi kau seolah membangun dinding di hadapanmu sehingga tak memperkenanku untuk mengenalmu lebih jauh." Suaranya yang serak dan dalam terdengar begitu seksi.

Aku menelan ludah. Hendak menjawab, tapi gagal.

Mustahil bagiku untuk mengatakan sesuatu jika posisi kami harus sedekat ini.

Wajahnya hanya berjarak beberapa senti dengan wajahku. Sementara tubuhnya yang tinggi nyaris menghimpitku ke tembok.
Bahkan semakin dia berbicara, jarak di antara kami semakin lenyap.

Aku seakan mampu merasakan panas tubuhnya di diriku.

Dan sungguh, konsentrasiku buyar.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro