05. Confession

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hana, aku berusaha mengenalmu lebih jauh, itulah tujuan dibuatnya acara ini. Tapi setiap kali aku mencoba berbicara denganmu, kau malah menghindariku, mengabaikanku. Apa kau tak menyukaiku? Apa aku membuatmu tak nyaman?"

Lagi-lagi, setiap kali Sean berbicara, jarak di antara kami semakin menghilang.

"Aku ...."

Aku kembali menelan ludah.
Memangnya aku harus menjawab apa?

Apa aku harus bilang : Sean, aku tak tertarik menjadi istrimu. Aku tak peduli siapapun yang kelak kau pilih. Yang kubutuhkan adalah popularitas, itu saja.

Begitu? Apa harus bilang seperti itu padanya? Hah, bisa-bisa aku didepak di episode selanjutnya.

"Aku ... minder." Dan akhirnya itu yang kujawab.

Sean tak melepaskan pandangannya dariku hingga membuatku jengah.

"Bisa kau jelaskan maksud perkataanmu?" titahnya.

"Oke, tapi bisakah kita berbicara dengan ... posisi lain? Ini ...." Aku berdehem.

Sean menatap ke arah tubuhku sekilas, seolah baru menyadari bahwa kami kelewat intim. Maksudku, kami kelewat dekat.

"Baiklah, ayo ke kamarku," ujarnya.

Aku melotot. "Eh?" cetusku.

"Mm, maksudku. Ayo ke tempat kerjaku." Ia buru-buru meralat kalimatnya.

Pria itu terbatuk kecil lalu melepaskan pegangan tangannya kemudian mundur beberapa langkah.

Dan aku segera menarik napas pelan sambil melemaskan otot badanku yang terasa kaku.

"Maaf, aku tak bermaksud ... begitu." Ia menyentuh tengkuknya dengan satu tangan, sementara tangan yang satunya ia letakkan di pinggang.

Sekarang terlihat sekali ia nampak canggung dan salah tingkah. Seolah ia menyadari bahwa ia baru saja keceplosan bicara.

Aku mengulum senyum. Entah kenapa tingkahnya itu malah terlihat menggemaskan.

"Ke tempat kerjamu?" Aku memastikan.
Sean menggigit bibir sambil kembali menatapku.

Dan dia mengangguk.

***

Ini untuk pertama kalinya aku memasuki ruang kerja Sean. Luas, dan rapi.

Ada begitu banyak tumpukan buku di mana-mana. Di rak dinding, di rak meja, bahkan di atas beberapa meja yang lain.

"Kau pasti sibuk sekali," ucapku. Sean hanya menjawab dengan senyuman sambil bergerak ke arah mini bar di sudut ruangan, lalu mengambilkan segelas minuman untukku.

"Aku tidak minum alkohol," jawabku ketika pria itu hendak menyodorkan gelas minuman ke arahku.

"Aku tahu. Ini hanya sirup, bukan minuman beralkohol," jawabnya.

Aku menerima gelas tersebut lalu duduk di kursi di samping mini bar, di mana Sean sudah duduk terlebih dahulu di sana. Aku batal menanyakan dari mana ia tahu bahwa aku tak minum alkohol.

Mungkin dari profil yang kukirimkan ke sini?

Tapi seingatku aku tak mencantumkan keterangan bahwa aku tak minum alkohol?

Ah, sudahlah.

"Kau bisa akrab dengan asisten sutradara itu. Tapi kenapa tidak denganku?" Sean membuka suara sambil menyesap pelan minuman dari gelasnya. Ia melirikku sekilas, sebelum kembali asyik memainkan gelas minuman di tangannya.

"Karena aku dan Kai bersahabat," jawabku.

"Lalu aku?" Sean seolah meminta kepastian.

Aku menyesap minumanku. Sirup rasa framboise, sederhana, tapi aku suka.

Apa Sean juga biasa meminum sirup ini? Tapi dia kan orang kaya?

Dan minuman rasa framboise atau raspberry bukan minuman yang ... mahal.

Maksudku, biasanya orang-orang kaya cenderung lebih suka meminum sesuatu yang lebih lux, dengan harga yang fantastis, seperti anggur misalnya.

Dan kenapa ia membahas soal Kai? Bagaimana ia bisa tahu bahwa aku dan Kai dekat? Apa selama ini ia diam-diam mengawasi kami?

Iseng, aku melirik sekilas gelas di tangan Sean, dan aku tahu itu bukan minuman yang sama seperti yang ia berikan padaku. Itu anggur.

"Jadi, aku bagaimana?" Lelaki itu berdehem hingga membuyarkan rasa ingin tahuku akan minuman di gelasnya.

"Kupikir ... kita juga bersahabat, kan?" Aku seperti memastikan.

"Tapi kau menghindariku. Aku bisa merasakannya. Setiap kali kita beradu pandang, kau buru-buru memutus kontak mata denganku. Dan jujur saja, itu menyakitkan buatku. Maksudku, jika kau menolak membangun hubungan yang lebih jauh denganku, tidak bisakah kita akrab seperti sahabat?"

Kami sempat berpandangan, sebelum aku buru-buru membuang tatapanku ke gelas minuman di hadapanku.

"Nah, kau melakukannya lagi, kan? Kau menghindariku."

"Bukan begitu ...." Aku berujar lirih. Kali ini memberanikan diri beradu pandang dengan lelaki itu.

"Lalu?"

"Aku tak percaya diri untuk berdekatan denganmu karena .... aku tak ada apa-apanya dibandingkan peserta lain. Mereka cantik, mereka berbakat. Sementara aku tidak."

"Kau cantik." Pria itu memotong.

"Tapi aku tak berbakat."

"Kau bisa menghajar orang."

"Tapi aku satu-satunya peserta yang punya anak," ujarku lagi.

Hening.

Sean tak mencoba mendebatku lagi.

Pria itu merubah posisi duduknya hingga menghadap ke arahku.

"Hana, aku sendirilah yang meloloskanmu dalam audisi. Aku sendiri. Itu artinya, aku ingin mengenalmu. Kelak, perlahan-lahan, semoga kau mau berbagi cerita tentang kehidupanmu. Tentang putrimu, tentang ayah kandung dari putrimu, tentang---"

"Dia pergi," potongku.

"Lelaki itu pergi begitu saja, meninggalkanku. Ia tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya." Dan aku memutuskan memberikan sekelumit cerita.

Sean menatapku dengan iba.

"Aku tak bermaksud menarik perhatianmu dengan kisah kelam kehidupanku. Tapi memang seperti itu adanya. Waktu itu kami masih sama-sama muda, kami melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, dan ... begitulah. Sisanya kau sendiri."

"Pasti berat untukmu."

Aku tersenyum kecut.

"Aku sudah melupakannya. Aku sudah sepakat dengan diriku sendiri untuk membuka lembaran hidup baru, move on. Demi putriku." Aku menyesap sirup dari gelasku.

"Lalu untuk apa kau ikut acara ini?" tanya Sean lagi.

Aku sempat berpikir bahwa ini semacam test. Jadi, sedikit membual tak apa-apa, kan?

"Untuk memenangkan hatimu," jawabku.

Tak ada ekspresi berlebih pada wajah Sean. Ia tidak terlihat kaget, tidak pula terlihat gembira. Yang ada malah raut muka datar minim ekspresi.

Dia bahkan mengalihkan perhatian pada gelas anggur di tangannya, lalu kembali menyesapnya pelan.

What?

Kenapa sikapnya seperti itu?

Kenapa dia cuek begitu?

Setidaknya kan ia baru saja mendengar bahwa aku mengakui perasaanku.

Tidak bisakah dia berakting?

Berpura-pura kaget kek, senang kek, atau apalah gitu?

Namun sekian detik kemudian aku ingat, ah, pasti para peserta lain juga melakukan ini. Melakukan bualan picisan dengan mengatakan bahwa ia mencintai Sean setulus hati, dan mengharap ia memilih dirinya.

Cih, tiba-tiba aku teringat Jenny.

Nenek Sihir itu pasti melakukan hal ini berulang-ulang, mendekati Sean lalu mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya pria yang ia cinta.

Aku menunduk malu, menggigit bibirku lalu bergidik jijik.

Sean pasti mengira aku adalah perempuan murahan yang mencoba merayunya.
Haiisss, tanpa sadar aku mengumpat lirih.

Fu*king  b*tch.

"Astaga. Hana, apa kau baru saja mengumpat?" Kalimat Sean terdengar kaget.

Aku mendongak dan kami saling tatap.
Melihat ekspresinya yang kaget, aku juga ikut kaget.

"Apa kau tak pernah mengumpat?" Aku bertanya balik.

"Tidak." Ia menjawab cepat.

Aku melotot. "Serius?"

Ia mengangguk.

"Seumur hidupmu?" tanyaku tak percaya, dan dia kembali mengangguk.

"Oh.My.God." Aku nyaris tertawa hingga membuat pria itu mengerucutkan bibirnya lucu.

"Hei, aku orang yang berpembawaan tenang. Dan aku tidak mudah terbawa suasana menyebalkan yang membuatku mengatakan sesuatu tak perlu. Mengumpat itu sesuatu yang tak perlu, Hana." Terlihat ia mencoba melakukan pembelaan.

"Lagipula, orang tuaku tak pernah mengajariku untuk mengumpat."

Dan seketika tawaku pecah tanpa bisa kubendung.

"Tunggu, kenapa kau tertawa? Apa kau pikir ini lucu? Apa kau pikir aku anak-anak yang ...."

"Kau memang lebih mirip anak-anak daripada pria dewasa," jawabku, tetap dengan disertai tawa.

"Hanya karena aku tak pernah mengumpat?"

"Tapi ini keren kok." Dan aku tetap saja terkikik.

"Keren? Tunggu, ini penghinaan?" Sean menggeser kursinya mendekatiku. "Atau pujian?"

Gelak tawaku tak berhenti.
"Ini bukan penghinaan. Ini keren dan... lucu. Sungguh," jawabku.

"Jangan mengatakan lucu, kata lucu identik dengan anak-anak. Dan secara tidak langsung kau mengataiku seperti anak-anak." Ia terlihat kesal.

Bukannya takut, tawaku malah kembali pecah.

Dan tawa itu baru berhenti ketika kurasakan sebuah toyoran di bahu. Sean mendaratkan toyoran padaku dengan kepalan tangannya.

"Aw, kau meninjuku?" protesku, sambil mengusap pelan lenganku.

"Itu bukan tinju. Itu hanya toyoran kecil." Ia menjawab santai.

"Kau meninjuku." Dan akhirnya aku membalas memberikan toyoran pada lengannya, lebih keras.

"Nah, yang ini namanya pukulan." Ia protes.

"Aku hanya membalasmu."

"Tapi ini terlalu keras. Kau kan mahir taekwondo." Ia balas mendorong bahuku.

"Kenapa kau malah mendorongku?"

"Aku hanya sekadar membalas," jawabnya.

"Tapi aku kan perempuan." Aku ganti mendorong bahunya lebih keras.

"Nah, sekarang siapa yang kekanak-kanakan." Lagi-lagi ia mendorongku.

"Kau yang kekanak-kanakkan," ucapku.

Dan akhirnya kami saling dorong, seperti anak kecil. Dan kegiatan itu terhenti ketika pada akhirnya Sean berhasil mendorong bahuku, membuatku kehilangan keseimbangan dan aku nyaris terjatuh dari kursiku.

Sean berusaha menarik lenganku agar aku tak sampai terjatuh. Tapi terlambat, tubuhku keburu oleng. Namun begitu, reflek aku masih sempat menarik baju Sean hingga tak ayal ... bruukkk!!

Kami berdua terjatuh dari kursi masing-masing. Untung ia jatuh menyamping hingga tubuhnya yang jangkung tak menghantam diriku.

Sempat sama-sama mengaduh, dan ... terdengar kancing bertebaran.

Dan akhirnya aku sadar, aksiku menarik baju Sean menyebabkan beberapa kancing kemejanya terlepas.

Dan tanganku masih berada di salah satu bagian kemejanya ketika aku menyaksikan kemeja itu terbuka dari atas hingga bawah.
Dari dada, hingga nyaris ke pusar.

Dan aku bisa melihat kulitnya yang telanjang.

Aku ternganga, bergantian menatap ke arah wajah Sean, lalu ke arah dadanya yang terbuka.

Dada dan perutnya, seksi. Aku gagal untuk tidak mengagumi.

Sean juga melakukan hal yang sama. Sempat merasa syok, ia menatap bergantian ke arahku dan juga ke arah bagian tubuhnya yang terbuka.

"Wow." Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya.

Bukannya marah, tawanya malah menggelegak.

Dan aku pun ikut tertawa. Kami sama-sama menertawakan tingkah kami yang kekanak-kanakan.

***

Kai mengantarkanku pulang ke rumah. Sesuai janjinya, ia membawakan sebuah boneka teddy bear lucu untuk Lena.

Reaksi Lizzy ketika melihat kedatangan Kai, ah, dia seperti mayat hidup.
Kedua matanya terbuka lebar nyaris tak berkedip dan mulutnya ternganga.

"Helloooo, Liz??" Aku menggerak-gerakkan tanganku di depan wajahnya.

Perempuan itu tergagap.
"Astaga, Hana." Perempuan itu buru-buru menarikku ke balik pintu dapur ketika Kai tengah asyik bermain dengan Lena di ruang tengah. Lena tampak tersenyum ceria dengan tingkah lucu yang dikemukakan Kai.

"Ada apa?" Aku mengeram bingung.

"Bagaimana kau mengenalnya? Astaga, dia tampan sekali. Dia seperti bintang drama? Apakah dia memang artis?"

"Bukan." Aku menjawab lirih, melupakan semua antusiasme Lizzy yang sedikit berlebihan.

"Namanya Kyle, kau bisa memanggilnya Kai. Dia asisten sutradara. Aku mengenalnya selama karantina," lanjutku.

"Dia tampan sekali, Hana. Dan aku yakin ia juga pemuda yang baik. Jika kelak kau tak mendapatka Sean, dapatkan dia saja tak apa-apa."

Aku menatapnya kesal seraya membekap mulut perempuan itu sebelum ia ngoceh terlalu jauh.

Dari balik jendela dapur, aku sempat melirik ke arah Kai dan Lena berada.
Entah karena perasaanku saja atau memang Kai pandai berinteraksi dengan anak kecil, tapi Lena cepat sekali akrab dengannya.

***

Kunjunganku ke rumah tidak berlangsung lama. Hanya sekitar setengah jam.

Setelah itu Kai kembali mengantarkanku ke Sweet Home sebelum ia melanjutkan hari liburnya.

"Terima kasih, Kai. Kunjunganmu ke rumahku tadi sangat berarti. Kau membuat Lena senang dan tertawa ceria," ucapku tulus, sesaat setelah kami baru saja turun dari mobil.

Halaman tempat parkir di rumah Sean terlihat cukup lengang karena sebagian kru sedang sibuk di lantai dua, menyiapkan rekaman untuk beberapa peserta yang lain.

"Jangan sungkan-sungkan meminta bantuanku, oke?" ujarnya tulus.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Hana, aku tak peduli dengan reaksimu. Tapi aku akan tetap mengatakan ini," ucap pria itu tiba-tiba.

"Ada apa?"

"Aku ... mencintaimu."

Aku menatap Kai nyaris tak berkedip. Merasa tak terlalu percaya dengan apa yang kudengar.

"Aku tak peduli konsekuensi yang menimpaku, jadi aku akan tetap mengatakannya. Aku mencintaimu, Hana. Sejak pertama kali aku melihatmu,  turun dari taksi dan membantuku membawa map. Kau benar-benar telah memikat hatiku." Ia melanjutkan.

"Aku tak tahu tujuan utamamu ikut acara ini. Tapi dari yang kuamati, kau tak ingin berada di sini. Kau tak ingin menjadi istri Sean. Kau terpaksa, kan?"

Aku tak menjawab.

"Aku memang tidak kaya raya, Hana. Tapi aku punya karir yang bagus, dan penghasilanku lebih dari cukup. Selain itu, aku mencintaimu dengan tulus, tanpa pamrih. Aku bersedia menerimamu apa adanya, menerima putrimu. Jadi jika kau memang tak ingin berada di sini, berhentilah, dan beri kesempatan padaku untuk mendapatkan hatimu."

Serangkaian kalimat yang meluncur dari mulut Kai malah membuatku bingung.

"Berhenti dari acara ini?" gumamku.

Kai mengangguk.

"Ada peraturan yang tidak kau ketahui. Bahwa peserta boleh mengundurkan diri sebelum memasuki babak 5 besar. Karena jika sudah memasuki babak 5 besar, kau harus menyelesaikan acara ini sampai final."

Aku seperti orang linglung.

"Karena itu, pikirkanlah baik-baik, Hana. Jika kau tak sanggup, berhentilah. Dan kau bisa menghabiskan waktu lagi bersama putrimu. Dan akulah yang akan kemudian menjagamu."

Dan aku benar-benar takjub dengan semua kalimatnya.

Jujur, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa bimbang.

***

Aku memasuki rumah Sean dari pintu samping dengan perasaan berkecamuk.

Tiba-tiba saja aku berubah tak tahu dengan tujuanku ikut acara ini.

Aku masih berjalan sambil melamun ketika tiba-tiba saja sebuah tangan mencengkeram lenganku, menarikku ke lorong ruangan lalu mendorongku ke dinding.

Aku mengerang.

"Ah, Sean. Bisakah kau menghentikan ini? Aku tidak kaget lagi sekarang," protesku.

Ini untuk ke sekian kalinya lelaki itu melakukan hal ini.

Entah kenapa sekarang dia suka sekali muncul secara tiba-tiba di sisiku, lalu secara sembunyi-sembunyi menarikku ke lorong ruangan yang sepi, kemudian mendorongku ke dinding. Dan setelah itu ia akan menertawakan ekspresi kekagetanku.

Dan yang kulakukan hanyalah memukul-mukul pundaknya dengan kesal.

Jujur, hubungan kami juga lebih dekat sekarang. Lebih kepada... hubungan persahabatan, mungkin.

"Jadi asisten sutradara itu mengantarkanmu pulang?" Ia bertanya langsung. Entah kenapa raut mukanya terlihat kesal.

Aku mengangguk.

"Aku tadi mendengar pembicaraan kalian."

Aku melotot. "Yang mana?" tanyaku was-was.

"Tentang pemutusan kontrak," jawabnya.

Aku menarik napas lega. Untung bukan tentang pengakuan cinta Kai. Jika iya, pasti akan merepotkan sekali. Selain itu, aku khawatir itu justru mengancam karir Kai sendiri.

"Kau tidak akan bisa berhenti dari acara ini, Hana. Kau harus menyelesaikan acara ini sampai selesai," ucapnya lagi.

"Tapi Kai bilang, sebelum masuk 5 besar, dan dengan alasan tertentu, peserta boleh...."

"Peraturan sudah berubah. Apapun yang terjadi, peserta harus mengikuti acara sampai selesai. Hingga episode terakhir."

Aku menggigit bibir.

"Sejak kapan peraturannya berubah?" tanyaku lagi.

"Sejak detik ini. Sejak aku mengatakannya."

Sean masih menatapku dengan jengkel. Kemudian ia menyentakkan tanganku dengan kasar, lalu beranjak meninggalkanku.

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Bingung dengan sikapnya barusan.

Orang ini kenapa?

***

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro